Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Squee, Berbagi ‘Jalan Tikus’ di Social Media (1)

28 Juli 2015   06:02 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:47 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu cepatnya laju urbanisasi Jakarta menimbulkan berbagai tantangan, terutama kemacetan dan mobilitas. Awal tahun kemarin, Jakarta dinobatkan menduduki peringkat pertama sebagai kota termacet dari 78 kota-kota lain di dunia.

Nah, guna membantu Jakarta menghadapi tantangan-tantangan tersebut, New Cities Foundation dan Connect4Climate telah meluncurkan Jakarta Urban Challenge (JUC), yang merupakan sebuah kompetisi dengan total hadiah sebesar US$ 20.000 untuk generasi muda Indonesia, yang mampu memberikan solusi terbaik bagi permasalahan mobilitas Jakarta. Puncak dari kompetisi ini digelar berbarengan dengan penyelenggaraan New Cities Summit 2015, pada 9 - 11 Juni kemarin, di Ciputra Artpreneur, Jakarta.

Siapa juaranya? Adalah tiga finalis terbaik yang kemudian berhasil ditetapkan oleh panel juri yang beranggotakan tokoh-tokoh ternama. Mulai dari Ke Fang, Spesialis Transportasi Perkotaan, World Bank Group; Sarwo Handayani, Kepala Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan Kota Jakarta; John Rossant, Kepala New Cities Foundation; Soetanto Soehodho, Deputi Gubernur Bidang Industri Perdagangan dan Transportasi DKI; Neli Triana, Senior Editor/Wakil Kepala Bagian Metropolitan Harian Kompas; dan, Muhammad Yunus, Pemenang Nobel Perdamaian dan Pendiri Grameen Bank.

Finalis terbaik diraih oleh Tim Squee yang menyajikan ide Squee Mobile App (SMA). “SMA ini adalah social media app berbasis komunitas yang ditujukan khusus untuk pejalan kaki dan pesepeda, yang digunakan sebagai sebuah tool atau alat untuk travelling bersama, dan saling bertukar informasi dengan memanfaatkan rute-rute ‘jalan tikus’ atau jalan sekunder,” jelas Arlene Nathania, yang bersama tiga rekannya menjadi penggagas SMA.

Ilustrasi tampilan Squee Mobile App pada smartphone. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Melalui Squee, kata alumnus S1 dan S2 di Universitas Tarumanagara, Jakarta ini, pihaknya ingin memperkenalkan konsep mobilitas baru yang bersifat sosial yakni ‘Berbagi jalan tikus atau ratwalksharing’. “Fitur utamanya ada tiga: Social media yang menyatukan komunitas transportasi aktif; Berbagi informasi rute, tips, dan navigasi jalan yang walkable atau bikeable dengan metode crowdsourcing dan teknologi geo-lokasi; dan, memberikan informasi mengenai lokasi tempat-tempat menarik di Jakarta yang terletak di sepanjang ‘jalan-jalan tikus’ tersebut,” tutur Arlene yang kini tengah menyelesaikan PhD Candidate di HafenCity Universität (HCU), Hamburg, Jerman.

Ketika penulis menanyakan tanggal lahirnya, Arlene memilih untuk merahasiakan. Tapi, untuk menjawab serangkaian pertanyaan tentang apa dan bagaimana aplikasi SMA, wanita kelahiran Jakarta ini sangat terbuka.

Berikut, wawancara penulis dengan Arlene Nathania, yang dilakukan secara tertulis melalui surat elektronik. Selengkapnya:

o o o O o o o

Bagaimana cerita awalnya sampai Arlene mengikuti Jakarta Urban Challenge itu?

Karena background pendidikan dan profesi saya Urban Planning, saya sebenarnya dari dulu punya cita-cita untuk membuat satu proyek yang bertema urban yang bisa membuat Jakarta menjadi lebih livable. Sebelumnya, dengan rekan-rekan --- yang akhirnya jadi co-founders di Squee ini --- suka brainstorming bareng sambil lalu untuk gali potensi Jakarta. Sampai suatu saat, adik saya mengirim link tentang Jakarta Urban Challenge (JUC) yang merupakan kolaborasi antara New Cities Foundation, Connet4Climate dan PemProv DKI Jakarta ini. Akhirnya, kita memutuskan untuk coba ikutan.

Arlene Nathania, salah seorang dari empat penggagas Squee Mobile App. (Foto: Facebook Arlene Nathania)

Bagaimana membentuk teamwork-nya, siapa saja dan latar belakangnya apa saja?

Tim Squee terdiri dari empat orang, saya yang punya latar belakang Arsitek, Urban and Real Estate Planner, Edy Haryono (Web-App Developer), Dicke Nazzary Akbar (Arsitek, designer, Urbanist), dan Marissa Pudjiadi (Dokter anak, co-founder Yayasan Mitra Anak Indonesia). Background kita berbeda-beda, tapi justru di situlah kekuatan tim kita, bisa saling melengkapi. Tiga partner saya ini memang sering kerja bareng dan dekat dengan saya. Kebetulan Marissa dan saya memang teman dari kecil, kalau Edy dan Dicke saya kenal di Jerman.

Bagaimana muncul ide membuat Squee Mobile App?

Kita tahu, kalau sebenarnya Jakarta sudah ada plan jangka panjang untuk membuat kota yang berbasis TOD (transit oriented development). Sistem transportasi umum Jakarta di masa depan didesain untuk menjadi transit system, di mana berjalan dan bersepeda atau transportasi aktif merupakan core dari system ini. Kita ingin sekali masyarakat di Jakarta mulai mengadopsi budaya transportasi aktif, justru sebelum sistemnya 100% jadi. Menurut kami harus ada pergeseran paradigma yang memandang jalan kaki dan bersepeda itu merupakan moda transportasi yang paling flexible, bisa di-combine dengan moda transportasi apa pun, dan malah bisa digunakan untuk escape dari macet, selama di-combine dengan transportasi umum.

Akhirnya, tercetus ide untuk membuat aplikasi Squee yang dapat mempermudah aktivitas dan meningkatkan aksesibilitas para pejalan kaki/pesepeda di Jakarta, melalui ‘jalan tikus’ atau jalan-jalan sekunder, yang relatif terpisah dari jalur kendaraan bermotor, supaya mereka dapat mencari informasi mengenai jalur-jalur pedestrian dan bersepeda yang relatif aman dan nyaman, serta memandu mereka untuk meng-explore Jakarta dengan kacamata yang berbeda, dan ada alternatif untuk berjalan bersama-sama sebagai satu komunitas. Sebuah kota, mau kota mana pun, kalau dijalani dengan jalan kaki, bersepeda, naik angkot atau naik mobil itu, rasa atau experience-nya bisa berbeda.

Berapa lama persiapan penggodokan ide Squee Mobile App?

Kira-kira mulainya dari bulan Maret 2015.

Arlene Nathania ketika menyampaikan gagasan mengenai Squee Mobile App dalam Jakarta Urban Challenge pada acara New Cities Summit 2015 di Jakarta. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Sebenarnya Squee Mobile App itu apa dan bagaimana?

Squee adalah social media app berbasis komunitas yang ditujukan khusus untuk pejalan kaki dan pesepeda, yang digunakan sebagai sebuah tool atau alat untuk travelling bersama, dan saling bertukar informasi dengan memanfaatkan rute-rute ‘jalan tikus’. User kami, nanti disebut Squeeian.

Lewat Squee, kita mau memperkenalkan konsep mobilitas baru yang bersifat sosial yakni ‘Berbagi jalan tikus atau ratwalksharing’. Fitur utamanya ada tiga: (1) Social media yang menyatukan komunitas transportasi aktif, sekaligus bisa membuat grup jalan atau bersepeda bareng. Intinya memotivasi untuk travelling bersama. (2) Berbagi informasi rute, tips, dan navigasi jalan yang walkable atau bikeable dengan metode crowdsourcing dan teknologi geo-lokasi di antara komunitas pengguna. (3) Memberikan informasi mengenai lokasi tempat-tempat menarik di Jakarta yang terletak di sepanjang ‘jalan-jalan tikus’ tersebut, sehingga setiap orang dapat mengeksplorasi rute-rute jalan kaki atau sepeda yang seru-seru. Fungsi ketiga ini bisa memotivasi orang untuk jalan kaki atau bersepeda dalam kota, yang sifatnya lebih rekreatif.

Tujuan kami, ingin membuat suatu social tool yang sekaligus berguna untuk memetakan jalan untuk pesepeda dan pejalan kaki. Selain itu ada fungsi panic button, yakni Squeak! Button, yang berguna kalau ada kejadian darurat, misalnya kecelakaan, sakit, atau kriminalitas, baik dialami oleh si Squeeian maupun non-Squeeian yang kebetulan terjadi di jalur yang dilalui mereka. Fungsi ini dapat mengirim notifikasi ke Squeeians lainnya yang berada dalam radius tertentu, misalnya maksimum 5 menit jalan kaki misalnya, untuk meminta bantuan.

Ketika terpilih sebagai finalis terbaik di Jakarta Urban Challenge dengan juri-juri yang merupakan para tokoh global itu, bagaimana perasaannya?

Campur aduk, dalam arti yang positif ya. Hahaha ... senang, bangga, deg-degan, sempat panik juga soalnya harus reschedule ulang jadwal pesawat ke Jakarta dan siapin ini-itu. Tapi yang jelas, bisa menjadi finalis JUC merupakan pengalaman berharga yang seru sekali.

Hadiah apa dan berapa nilainya yang diperoleh sebagai finalis terbaik?

Kami menerima dana proyek untuk memulai realisasi Squee mobile app sebesar US$ 10.000. Tapi, hadiah paling utama sebenarnya adalah pengalaman, dukungan, dan networking value selama acara Summit itu. Bisa menyampaikan ide kami pada panel juri dan audience berkelas internasional, sekaligus mendapat respon yang amat sangat positif dari mereka merupakan suatu milestone penting yang dapat membuka banyak kesempatan besar lainnya untuk pengembangan Squee di kemudian hari.

Squee Mobile App itu sendiri, saat ini pengembangannya bagaimana?

Kita sudah masuk tahap planning, design, dan basic prototyping untuk Squee versi Beta.

Tim Squee ketika menerima hadiah sebesar US$ 10.000 setelah menjadi finalis terbaik peringkat pertama dalam Jakarta Urban Challenge di acara New Cities Summit 2015 di Jakarta. Arlene Nathania, nomor dua dari kanan. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Sebagai gambaran, bila seseorang mempergunakan Squee Mobile App (melalui gadget-nya) itu nantinya akan seperti apa praktiknya?

Secara umum ada dua kasus penggunaan. Pertama, ratwalk-sharing by appointment. Kedua, ratwalk-sharing based on destination and selected route. Sistemnya sama tapi pendekatannya berbeda. Pada intinya, seperti social media lainnya, para Squeeians bisa saling berteman, punya halaman profile, bisa saling interaksi secara public untuk mengirimkan ikon like, comment pada newsfeed, maupun private melalui private message.

Kalau pendekatan pertama itu by appointment, sesama pedestrian atau pesepeda bisa membuat janji untuk travelling bersama atau membuat grup, lalu baru menentukan ke mana, kapan dan lewat mana. Jadi, grup ini biasanya untuk yang sudah pernah ada interaksi atau kontak sebelumnya, entah memang teman atau kenalan lewat Squee app.

Pendekatan kedua yakni berdasarkan destinasi dan rute terpilih, masing-masing Squeeian bisa membuat rute berjalan atau bersepeda pribadi, lalu di-publish secara public di newsfeed. Nanti kalau ada orang yang kebetulan punya rencana perjalanan yang sama pada waktu yang sama, boleh bergabung, di luar mereka saling kenal secara pribadi maupun asing sama lain. Jadi user Squee bisa memperluas network mereka dan bersosialisasi dengan pedestrian maupun pesepeda lainnya.

Squee Mobile App itu apa harus diunduh lebih dulu?

Betul, bisa lewat Apple Store, Google play, website atau landing page kita yakni squee.io. Tergantung calon user akan menggunakan mobile phone apa.

Apa keuntungan yang akan diperoleh seseorang bila menggunakan Squee Mobile App?

Bisa macam-macam. Karena feature-feature-nya akan berkembang seiring dengan waktu. Tapi secara umum memiliki keuntungan yang bersifat fungsional, sosial, sekaligus rekreatif. Fungsional, untuk mengetahui rute-rute di daerah yang belum pernah dilewati, misalnya. Sosial untuk menambah teman baru, dan mempererat interaksi manusia yang tidak bersifat maya, karena harus benar-benar ketemu untuk jalan bareng. Rekreatif, bisa menemukan spot-spot baru yang menarik di sepanjang rute jalan tikus yang dilalui, seperti misalnya tukang bakso enak, toko buku bekas, butik unik, taman kecil, rumah historis, atau bahkan event-event lokal semacam Pasar ‘Kaget’, yang selama ini orang tidak pernah tahu karena tidak pernah jalan kaki atau bersepeda lewat situ. Meskipun pernah lewat, tapi kalau jalan dengan speed mobil, feeling dan pengamatan, di antara kita pasti akan menemukan hasil yang berbeda.

Squee dirancang supaya semua Squeeians dapat menemukan pengalaman baru setiap kali berjalan, entah melihat lingkungan baru, bertemu teman baru, jalan bareng dengan teman lama, atau menemukan spot baru di kota, sehingga jalan kaki maupun bersepeda menjadi lebih digemari sebagai alternatif mobilitas dan kita berharap ada pergeseran paradigm ke arah transportasi aktif. Dengan berjalan bareng teman, plus dilengkapi dengan Squeak! Button, berjalan kaki menjadi relatif lebih aman dibandingkan bepergian sendirian.

Salah satu sudut kampung Jakarta yang ada di kawasan Central Business District dan menjadi obyek lintasan perjalanan dalam layanan Squee Mobile App. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Informasi apa saja yang akan tersedia di Squee Mobile App?

Kita siap menyuguhkan, satu, mapping dan informasi sehubungan dengan rute pejalan kaki atau pesepeda yang ada di Jakarta, termasuk fungsi navigasi dan lokasi-lokasi tempat unik yang menunjukkan sisi kehidupan kota yang sifatnya ‘Jakarta Banget’ di rute tersebut. Dua, social media-related information: profile si user, jadwal appointment pribadi atau public event untuk nge-Squee bareng, status maupun experience update berupa text, image, video yang di-share oleh Squeeian saat atau sesudah nge-Squee.

Prinsipnya, Squee adalah mobility social media yang berbasis komunitas dan crowdsourced data juga information. Jadi, apa pun yang di-share oleh satu Squeeian, dapat membantu Squeeian lain untuk merencanakan rute perjalanannya. Semakin banyak user yang aktif meng-input informasi ke Squee, sekaligus dikonfirmasi oleh sesama Squeeians lainnya, mapping dan informasi sehubungan dengan rute pejalan kaki maupun pesepeda yang ada di Jakarta dalam Squee tentu akan semakin lengkap dan akurat

Saat ini, ‘jalan-jalan tikus’ di Jakarta itu sebenarnya bagaimana, baik jumlah maupun pemanfaatannya, menurut pandangan Arlene dan penggagas Squee Mobile App?

‘Jalan tikus’ di Jakarta menurut kami sangat unik, merupakan peninggalan kota tua Jakarta yang sudah ada dari jaman Belanda dulu. Layer pertama dari struktur kota Jakarta pada dasarnya nyaman untuk pedestrian dan pesepeda, baik jalan utama maupun sekunder. Di tengah-tengah jaringan jalan raya, biasanya terdapat kantung-kantung lokal yang sekarang kita kenal sebagai kampung kota. Seiring dengan waktu, kampung-kampung ini ada yang beralih fungsi menjadi kampung modern seperti bangunan permanen, padat, malah bisa sampai empat lantai, kompleks real estate untuk hunian, kos-kosan, kompleks komersial seperti ruko, superblock yang mixed-use, meski ada juga yang tetap bertahan sebagai kampung kota.

Tapi, kantung-kantung ini secara umum masih memiliki sifat dari tipologi asalnya, yakni memiliki struktur jalan yang organik, skala jalan yang lebih sempit untuk pejalan kaki atau sepeda, lebih teduh dan hijau, relatif bebas polusi udara dan bising karena lebih sedikit kendaraan bermotor yang lewat, serta tentunya lewat dengan laju kecepatan rendah karena jalannya yang sempit. Otomatis, lewat jalan yang slow-pace dan less motorized ini mengurangi risiko kecelakan pejalan kaki maupun pesepeda, sehingga jauh lebih aman. Bahkan kalau sudah berubah jadi superblock pun, banyak akses pejalan kaki yang masih bersifat public atau tembus mall, misalnya.

Salah satu ruas ‘jalan tikus’ di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang dapat dimanfaatkan dalam Squee Mobile App. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Nah, ini khas orang Jakarta banget sebenarnya, semua orang Jakarta rata-rata tahu atau pernah memanfaatkan ‘jalan tikus’ untuk mengurangi jarak tempuh --- berguna sekali kalau lagi jalan kaki ---, daripada harus muter sana sini di samping jalan raya. Sayangnya, sebagian besar jalur-jalur ini belum terpetakan dengan sempurna, padahal di sekitar ‘jalan tikus’ ini banyak manusia lalu lalang. Kadang-kadang kita suka takut atau merasa vulnerable kalau lagi jalan kaki tembus-tembus jalan yang kita enggak tahu medannya, apalagi kalau sendirian. Bisa saja kita lihat pakai Google Map, tapi ternyata di lapangan, jalannya ditutup. Atau, yang harusnya enggak ada jalan di peta, ternyata ada jalan tembus. Yang kenal daerah ini hanya penduduk setempat atau orang yang sering lewat. Nah, kalau orang-orang ini menjadi Squeeians, melalui cara identifikasi geo-location si user, Squee dapat memetakan jalur-jalur ini secara akurat. Jadi, kalau ada Squeeian mau coba lewat, dia sudah ada bayangan bakal ketemu apa di sana dan enggak perlu takut nyasar. Menurut kami, kalau ‘jalan tikus’ ini dikembangkan secara integrative ke arah sistem transportasi aktif, penduduk Jakarta bisa berjalan maupun bersepeda tembus sana-sini, exposure para komuter aktif pada jalur kendaraan bermotor dapat dikurangi.

Bisa diberi contoh beberapa ‘jalan-jalan tikus’ yang dapat dimanfaatkan guna mengurangi kemacetan di Jakarta?

Begini rute andalan saya dulu. Dari rumah, kalau mau ke kampus --- saya dulu S1 dan S2 di Universitas Tarumanagara ---, saya pergi ke stasiun busway terdekat. Saya paling malas kalau naik mobil lewat rute jalan raya, meskipun bisa nebeng orang lain, soalnya minimal bisa makan waktu setengah jam, itu pun kalau tidak macet tentunya. Padahal, kalau jalan kaki, tembus daerah kos-kosan belakang rumah saya, paling-paling 10 menit sampai. Plus, sambil jalan bisa mampir dulu ke warung fotokopi kalau harus menjilid sesuatu, beli jajanan, beli majalah, kadang-kadang mampir ke toko pulsa dulu yang ada di Grogol, tinggal belok-belok dikit. Praktis dan flexible sekali. Yang punya usaha di sana juga senang, kalau banyak orang yang lewat.

Saya juga dulu suka bertukar informasi, tapi secara verbal ya, tentang mana stasiun busway yang paling praktis exit-nya, soalnya banyak yang muter-muter juga, jembatan busway pun kadang panjang sekali. Dulu, saya pernah cobain keluar di stasiun Blok M, tapi menurut saya, exit pejalan kaki ke jalan rayanya panjang sekali, sempat nyasar pula, risikonya ya telat. Akhirnya, saya cobain turun di Stasiun Senayan supaya langsung keluar ke jalan raya, terus janjian sama teman naik taxi atau nebeng mobil teman dari situ menuju ke tempat tujuan. Tips-tips seperti ini praktis sekali kalau buat yang sehari-hari jalan kaki.

Tim Squee ketika dinobatkan sebagai finalis terbaik peringkat pertama dalam Jakarta Urban Challenge di acara New Cities Summit 2015 di Jakarta. Arlene Nathania, nomor dua dari kanan. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Selama kita tahu harus lewat mana untuk bersepeda maupun berjalan kaki, terus di-combine dengan busway, MRT atau taxi --- sebagai catatan: kalau di Jerman, biasanya sepeda boleh masuk kereta juga, ada space-nya ---, kalau Jakarta preseden MRT-nya ikut MRT Singapura, bisa jadi regulasi dan desainnya tidak mengutamakan sepeda, padahal sebenarnya sistem transit lebih efisien dan nyaman, karena bisa menclok sana-sini. Kalau tidak menggunakan fasilitas mobil atau motor pribadi untuk rute sehari-hari, tentunya kita otomatis mengurangi volume lalu lintas di jalan, mengurangi friksi unit kendaraan, makin tinggi traffic-nya, makin ruwet karena banyak friksi antar pengemudi yang gaya berkendara dan speed-nya beda-beda, dan mengurangi kemacetan juga. (*)

- Foto#1: Ilustrasi tampilan Squee Mobile App. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

o o o O o o o

Bagaimana pandangan Arlene Nathania terhadap ‘jalan-jalan tikus’ di Jakarta?

Bagaimana kegalauan Arlene yang menggambarkan pedestrian di Eropa?

Bagaimana respon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama terhadap ide Squee Mobile App ini?

Kapan Squee Mobile App akan diluncurkan?

Apa kata Arlene tentang Jakarta dari sudut pandang arsitektur?

(*) Baca sambungannya: Squee, Berbagi 'Jalan Tikus' di Social Media (2)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun