Saat ini, ‘jalan-jalan tikus’ di Jakarta itu sebenarnya bagaimana, baik jumlah maupun pemanfaatannya, menurut pandangan Arlene dan penggagas Squee Mobile App?
‘Jalan tikus’ di Jakarta menurut kami sangat unik, merupakan peninggalan kota tua Jakarta yang sudah ada dari jaman Belanda dulu. Layer pertama dari struktur kota Jakarta pada dasarnya nyaman untuk pedestrian dan pesepeda, baik jalan utama maupun sekunder. Di tengah-tengah jaringan jalan raya, biasanya terdapat kantung-kantung lokal yang sekarang kita kenal sebagai kampung kota. Seiring dengan waktu, kampung-kampung ini ada yang beralih fungsi menjadi kampung modern seperti bangunan permanen, padat, malah bisa sampai empat lantai, kompleks real estate untuk hunian, kos-kosan, kompleks komersial seperti ruko, superblock yang mixed-use, meski ada juga yang tetap bertahan sebagai kampung kota.
Tapi, kantung-kantung ini secara umum masih memiliki sifat dari tipologi asalnya, yakni memiliki struktur jalan yang organik, skala jalan yang lebih sempit untuk pejalan kaki atau sepeda, lebih teduh dan hijau, relatif bebas polusi udara dan bising karena lebih sedikit kendaraan bermotor yang lewat, serta tentunya lewat dengan laju kecepatan rendah karena jalannya yang sempit. Otomatis, lewat jalan yang slow-pace dan less motorized ini mengurangi risiko kecelakan pejalan kaki maupun pesepeda, sehingga jauh lebih aman. Bahkan kalau sudah berubah jadi superblock pun, banyak akses pejalan kaki yang masih bersifat public atau tembus mall, misalnya.
Nah, ini khas orang Jakarta banget sebenarnya, semua orang Jakarta rata-rata tahu atau pernah memanfaatkan ‘jalan tikus’ untuk mengurangi jarak tempuh --- berguna sekali kalau lagi jalan kaki ---, daripada harus muter sana sini di samping jalan raya. Sayangnya, sebagian besar jalur-jalur ini belum terpetakan dengan sempurna, padahal di sekitar ‘jalan tikus’ ini banyak manusia lalu lalang. Kadang-kadang kita suka takut atau merasa vulnerable kalau lagi jalan kaki tembus-tembus jalan yang kita enggak tahu medannya, apalagi kalau sendirian. Bisa saja kita lihat pakai Google Map, tapi ternyata di lapangan, jalannya ditutup. Atau, yang harusnya enggak ada jalan di peta, ternyata ada jalan tembus. Yang kenal daerah ini hanya penduduk setempat atau orang yang sering lewat. Nah, kalau orang-orang ini menjadi Squeeians, melalui cara identifikasi geo-location si user, Squee dapat memetakan jalur-jalur ini secara akurat. Jadi, kalau ada Squeeian mau coba lewat, dia sudah ada bayangan bakal ketemu apa di sana dan enggak perlu takut nyasar. Menurut kami, kalau ‘jalan tikus’ ini dikembangkan secara integrative ke arah sistem transportasi aktif, penduduk Jakarta bisa berjalan maupun bersepeda tembus sana-sini, exposure para komuter aktif pada jalur kendaraan bermotor dapat dikurangi.
Bisa diberi contoh beberapa ‘jalan-jalan tikus’ yang dapat dimanfaatkan guna mengurangi kemacetan di Jakarta?
Begini rute andalan saya dulu. Dari rumah, kalau mau ke kampus --- saya dulu S1 dan S2 di Universitas Tarumanagara ---, saya pergi ke stasiun busway terdekat. Saya paling malas kalau naik mobil lewat rute jalan raya, meskipun bisa nebeng orang lain, soalnya minimal bisa makan waktu setengah jam, itu pun kalau tidak macet tentunya. Padahal, kalau jalan kaki, tembus daerah kos-kosan belakang rumah saya, paling-paling 10 menit sampai. Plus, sambil jalan bisa mampir dulu ke warung fotokopi kalau harus menjilid sesuatu, beli jajanan, beli majalah, kadang-kadang mampir ke toko pulsa dulu yang ada di Grogol, tinggal belok-belok dikit. Praktis dan flexible sekali. Yang punya usaha di sana juga senang, kalau banyak orang yang lewat.
Saya juga dulu suka bertukar informasi, tapi secara verbal ya, tentang mana stasiun busway yang paling praktis exit-nya, soalnya banyak yang muter-muter juga, jembatan busway pun kadang panjang sekali. Dulu, saya pernah cobain keluar di stasiun Blok M, tapi menurut saya, exit pejalan kaki ke jalan rayanya panjang sekali, sempat nyasar pula, risikonya ya telat. Akhirnya, saya cobain turun di Stasiun Senayan supaya langsung keluar ke jalan raya, terus janjian sama teman naik taxi atau nebeng mobil teman dari situ menuju ke tempat tujuan. Tips-tips seperti ini praktis sekali kalau buat yang sehari-hari jalan kaki.
Selama kita tahu harus lewat mana untuk bersepeda maupun berjalan kaki, terus di-combine dengan busway, MRT atau taxi --- sebagai catatan: kalau di Jerman, biasanya sepeda boleh masuk kereta juga, ada space-nya ---, kalau Jakarta preseden MRT-nya ikut MRT Singapura, bisa jadi regulasi dan desainnya tidak mengutamakan sepeda, padahal sebenarnya sistem transit lebih efisien dan nyaman, karena bisa menclok sana-sini. Kalau tidak menggunakan fasilitas mobil atau motor pribadi untuk rute sehari-hari, tentunya kita otomatis mengurangi volume lalu lintas di jalan, mengurangi friksi unit kendaraan, makin tinggi traffic-nya, makin ruwet karena banyak friksi antar pengemudi yang gaya berkendara dan speed-nya beda-beda, dan mengurangi kemacetan juga. (*)
- Foto#1: Ilustrasi tampilan Squee Mobile App. (Foto: Arlene Nathania/Squee)