Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Jurus Ahok Atasi Macet Jakarta

29 Juni 2015   12:36 Diperbarui: 29 Juni 2015   12:36 16037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta dan kemacetan lalu-lintas seperti dua sejoli. Malah ada yang berkelakar, “Kalau tidak macet, bukan Jakarta namanya”. Ya, kemacetan memang coba terus diurai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Soal kemacetan, Jakarta memang tiada duanya. Hasil penelitian bertajuk Castrol’s Magnatec Stop-Start Index yang dilakukan perusahaan oli motor, Castrol, baru-baru ini menyebutkan, Jakarta menempati peringkat teratas sebagai kota termacet di antara 78 kota lainnya di dunia. Dampaknya, rata-rata kendaraan di Ibu Kota harus berhenti dan berjalan lagi dalam satu tahun (stop-start per car per year) adalah sebanyak 33.240 kali. Bandingkan dengan Brisbane (Australia) yang mencapai 6.960 kali, Antwerp (Belgia) dengan catatan 7.080 kali, Paris (Perancis) 18.000 kali, dan Buenos Aires (Argentina) dengan indeks stop-start mobil per tahun menyundul angka 23.760 kali.

Ya, semua pasti setuju, problem kemacetan di usia Jakarta yang sudah 488 tahun ini memang menyebalkan. Sejumlah luapan hati warga terkait derita kemacetan, terbaca di bawah ini.

Blogger Asita DK menghitung kerugian waktu sebagai efek terjebak macet. “Yang rumahnya di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, setiap hari berangkat dan pulang kerja, rata-rata memerlukan waktu dua jam. Jadi pulang-pergi ke tempat kerja, empat jam terbuang waktu di jalan. Bekerja 8 jam, waktu di jalan 4 jam. Total meninggalkan rumah, 12 jam. Kebahagiaan buat warga Jakarta hanya sederhana. Kalau sedang pergi keluar rumah tidak macet dan tidak antri kalau sedang beraktivitas”.

Hal yang hampir senada disampaikan blogger Ign Joko Dwiatmoko. Dalam tulisannya dia berpendapat, “Sekarang keluar dari rumah rasanya menjadi siksaan luar biasa. Saya yang hidup di perkampungan padat penduduk di Kapuk Cengkareng merasakan, betapa populasi kendaraan bermotor telah mencapai titik jenuh. Ngabuburit yang harusnya nyaman dilakukan menjelang buka puasa, menikmati suasana sambil menunggu datangnya senja, terasa menyakitkan karena jalan-jalan sudah penuh dengan kendaraan. Bahkan saat terjebak kemacetan, emosi bisa-bisa meluap karena setiap pengendara tidak mau mengalah, dan terus merangsek ke depan. Tidak banyak orang mau mengalah untuk membuka jalan demi tertibnya lalu lintas”.

Kemacetan di Jakarta tidak saja terjadi pada jam-jam sibuk. (Foto: rmol.com)

Pernyataan bijak meluncur dari Tjiptadinata Effendi. Penulis blog kelahiran Padang, 21 Mei 1943 ini mengatakan, “Di negeri kita, orang boleh datang dan pergi sesuka hati, asal jangan melanggar aturan setempat. Namun, kalau memang kita sudah bertekad mau tinggal dan menjadi penduduk DKI, tentu harus menerima dengan segala konsekuensinya. Setidaknya, sudah mau menerima, bahwa banjir dan kemacetan adalah bagian yang tak terpisahkan di Jakarta. Menerima, berarti diam. Tidak perlu sumpah serapah berkepanjangan: ”Jakarta banjir, Jakarta macet, Jakarta begini-begitu ...” Bagi yang mau dan sudah memutuskan tinggal di Jakarta, tentu dengan resiko, menerima kenyataan, bahwa ya begitulah Jakarta itu”.

Tak hanya mengakibatkan kicau masyarakat di media sosial, kemacetan Jakarta ternyata juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Arie Setiadi Moerwanto, angka kerugiannya mencapai Rp 65 triliun per tahun. “Tidak hanya dari sisi pemborosan waktu dan BBM, tapi juga efek psikologis dan kesehatan warga Ibu Kota,” ujarnya baru-baru ini.

Kerugian ekonomi akibat kemacetan Jakarta memang sudah beberapa kali disigi. Pada 2005, Yayasan Pelangi menyebut angka Rp 12,8 triliun per tahun, yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar, dan kesehatan. Sebelumnya, menurut SITRAMP II tahun 2004 disebutkan, bila sampai 2020 tidak ada perbaikan, maka taksiran kerugian ekonomi melesat hingga Rp 65 triliun per tahun.

Efek domino kemacetan berimbas pada berkurangnya mobilitas warga. Mobilitas yang lemot berakibat pada produktivitas warga ikut merosot.

Sejumlah kebijakan telah dan sedang dilaksanakan. PERTAMA, tentu masih ingat ketika Polda Metro Jaya memberlakukan larangan melintas bagi sepeda motor di jalan protokol (Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat). Setelah berlangsung sekian waktu, hasil evaluasi membuktikan kebijakan ini mampu mengurangi simpul-simpul kemacetan di jalan protokol hingga 30 persen. Sudah tentu, pelanggaran lalu-lintas menjadi berkurang sehingga dampak positifnya lagi, jumlah kecelakaan di jalan raya pun dapat ditekan. Penurunan angka laka-lantas sepanjang 2013 – 2014 mencapai 8,9% di seluruh wilayah hukum Polda Metro Jaya.

Proyek pembangunan MRT jenis Heavy Rail Transit berbasis rel. (Foto: Antara)

KEDUA, yang proyeknya kini tengah dikerjakan, yaitu moda MRT (Mass Rapid Transit) atau angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat. Jenis yang dibangun oleh PT MRT Jakarta ini adalah Heavy Rail Transit yakni MRT berbasis rel. Taksirannya, MRT akan memberi kontribusi meningkatkan kapasitas transportasi publik dengan daya angkut 412 ribu per hari.

MRT yang didanai dari Pemerintah Pusat, Pemda DKI Jakarta, dan Pemerintah Jepang melalui JICA (Japan International Corporation Agency) ini, diyakini juga bakal memangkas waktu tempuh dan memacu mobilitas warga. Misalnya saja, rute MRT dari Lebak Bulus ke Bunderan Hotel Indonesia, yang hanya membutuhkan waktu 30 menit. Sedangkan dari Lebak Bulus ke Kampung Bandan, target waktu tempuhnya 52,5 menit. Dengan mobilitas warga yang terpacu, hasil akhirnya adalah kondisi perekonomian kota jadi makin menggeliat, berikut kualitas hidup warganya.

Keunggulan MRT yang akan dioperasikan mulai jam 05.00 pagi hingga tengah malam ini juga akan membawa dampak perbaikan pada tingkat polusi udara Jakarta. Karena, seperti dimuat situs jakartamrt.com, sebanyak 93.553 ton per tahun, atau 0,7% dari total emisi karbondioksida berbahaya akan berhasil dilenyapkan. Selain itu, MRT juga dapat mendorong restorasi tata ruang kota, dimana harapannya integrasi transit-urban sanggup mendorong pertumbuhan ekonomi pada area sekitar stasiun.

Segenap warga Jakarta tentu berharap MRT mewujudkan semua keunggulannya. Apalagi, kini warga sudah rela bermacet-macet ria akibat dampak pembangunan MRT yang ‘memakan’ sebagian lahan jalan raya.

KETIGA, Kereta Rel Listrik (KRL) commuter line yang terbukti terus meraih pengguna jasa dan efektif mengurangi kemacetan ibukota. Dioperasikan PT KAI Commuter Jabodetabek, untuk tahun ini misalnya, jadwal perjalanan ditingkatkan 115 perjalanan, menjadi 872 perjalanan KRL per hari. Untuk lintas Bogor ditambah 34 perjalanan menjadi 391 perjalanan, lintas Bekasi dari 126 menjadi 153 perjalanan, lintas Serpong – Parung – Maja dari 118 menjadi 148 perjalanan, dan lintas Tangerang dari 74 menjadi 88 perjalanan. Sedangkan target penumpang yang diangkut, sekitar 800 ribu orang per hari. Kelak, pada 2018, target penumpang diharapkan menjadi 1,2 juta orang per hari.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mencoba naik KRL Commuter Line bertema HUT Jakarta ke-488 tahun. (Foto: itoday.com)

Bayangkan bila tidak ada KRL commuter line? Para penglaju dari kota-kota penyangga ibukota dipastikan akan tumplek blek memadati jalan-jalan raya dari berbagai arah, terutama pada jam-jam sibuk. Akibatnya, kemacetan semakin kronis dan sulit terurai. Ambil contoh misalnya, para penglaju dari Tangerang Selatan (dan Tangerang), Banten. Tanpa kehadiran KRL commuter line yang diakses antara lain melalui stasiun-stasiun seperti Rawa Buntu, Serpong, Pondok Ranji, dan Sudimara, maka dapat dipastikan jalan-jalan raya menuju Ciputat - Lebak Bulus – Pondok Indah – Kebayoran Lama – Radio Dalam – Blok A – Blok M – Senayan dan sekitarnya, akan sangat memadat, stuck! Karena akses ini memang umum menjadi rute tumpuan menuju tempat beraktivitas di Jakarta. Tak dapat dielakkan, mobilitas dan produktivitas warga menjadi terancam, perekonomian ibarat terbonsai alias tak mengalami pertumbuhan.

Hanya saja, pekerjaan rumah menanti PT KAI Commuter Jabodetabek, Pemda DKI dan pemda kota-kota penyangga sekitar, untuk bersama-sama memecahkan persoalan mengenai pintu perlintasan KRL agar tidak mengakibatkan dampak kemacetan (baru) lantaran terus bertambahnya jadwal perjalanan KRL. Membangun pintu perlintasan KRL sebidang, membangun jalan flyover, maupun underpass menjadi solusi alternatif dan keharusan. Harus! Karena, kalau sebelumnya pintu perlintasan menutup setiap 10 menit, maka dengan penambahan jadwal perjalanan ulang-alik KRL, durasi menutup lebih cepat lagi, menjadi setiap 3 hingga 5 menit. Efeknya? Antrian panjang kendaraan bermotor pada tiap-tiap titik pintu perlintasan.

KEEMPAT, selain MRT, yang juga tengah diselesaikan adalah pembangunan jalan layang non tol (JLNT), melintas dari Ciledug menuju Blok M dan berakhir di Jalan Kapten Tendean. Jalan sepanjang 9,4 kilometer dan lebar 9 meter ini merupakan proyek jalan layang bus TransJakarta koridor XIII. Menariknya, proyek senilai Rp 2,5 triliun ini akan terintegrasi dengan MRT, misalnya di halte Jalan Sisingamangaraja. JLNT dua arah ini, tentu saja sangat diharapkan mampu menuntaskan nestapa warga Ciledug yang sudah lama kenyang dengan kemacetan, apabila hendak menuju ke jantung ibukota. Begitu pula sebaliknya. Harapan lain, begitu JLNT ini selesai pada 2016, warga beralih menggunakan bus TransJakarta yang sudah terintegrasi MRT. Alhasil limpahan jumlah kendaraan dapat berkurang. Siiip, kaaan … ?

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menjajal layanan Bus Kota Terintegrasi Busway. (Foto: Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha)

KELIMA, tentu saja moda angkutan TransJakarta-nya itu sendiri. Terlepas dari sorotan mengenai kualitas bus dan lainnya, kini PT TransJakarta semakin melebarkan sayap, dengan keberhasilannya mengajak Koperasi Angkutan Jakarta (Kopaja) bergabung. Armada bus berukuran sedang ini kemudian melakukan perubahan secara fisik, seperti melengkapi AC, pintu otomatis lengkap dengan sensor sehingga tidak akan ada penumpang terjepit, dan bentuk dek untuk naik dan turun penumpang yang tinggi, seperti pada bus TransJakarta.

Sukses mengajak Kopaja bergabung, Ahok menyatakan secara terbuka, untuk mengajak MetroMini turut bergabung seperti langkah Kopaja. “MetroMini saya lagi tawarin nih. Mau pindah ‘partai’ apa enggak?” tukasnya belum lama ini.

KEENAM, tak tanggung-tanggung, Ahok juga berusaha merangkul layanan transportasi ojek sepeda motor, Go-Jek. Ya, armada ojek motor berseragam hijau dan hitam ini, kehadirannya memang fenomenal. Media massa termasuk media sosial ramai dengan puja-puji terhadap layanan inovasi socialpreneur yang didirikan pengusaha muda, Nadiem Makarim.

Menurut Wardah Fajri, salah seorang staf admin kompasiana.com, dirinya beruntung bila menggunakan jasa Go-Jek. Ada selisih uang transport yang bisa dialihkan untuk berbagai kebutuhan, apalagi semasa pemberlakuan tarif promo.

“Sebagai gambaran, saya biasanya pakai jasa ojek atau Gojek harga normal, dari rumah di kawasan Cipadu Raya ke Palmerah Jakarta Barat, dikenakan biaya Rp 30.000 - 45.000. Dengan Promo Ceban Gojek saya hanya bayar Rp 10.000. Buat ibu bekerja yang mengurus rumah tangga, penghematan ini sangat berarti. Saya bisa menggunakan selisih uang dari biaya ojek untuk makan dua kali di kantor. Lalu uang makan bisa disimpan untuk beli diapers, susu, kebutuhan lainnya. Menyenangkan bukan? Jujur, hati saya sangat senang. Biasanya saya lebih memilih naik taksi ketimbang ojek karena biayanya tak jauh beda, lebih mahal taksi tapi lebih nyaman dengan selisih biaya Rp 10.000- 20.000. Soal macet dan waktu tempuh yang lebih lama, ya sudahlah risiko berkendara di Jakarta. Tapi dengan Promo Ceban Gojek, saya dibikin senang bukan kepalang,” urainya dalam sebuah tulisan opini di Kompasiana, blog sosial milik kelompok Kompas Gramedia.

Moda transportasi ojek sepeda motor, Go-Jek, yang fenomenal. (Foto: Dok. Go-Jek)

Sementara itu, Iskandar Zulkarnaen yang juga admin Kompasiana mengakui keandalan layanan Go-Jek. “Bagaimana tidak. Go-Jek memberikan layanan nyaris sempurna: Penumpang bisa mendapatkan tukang ojek dengan cepat dan pasti. Harganya pas dan bersaing dengan ojek konvensional. Tukang ojeknya pun ramah dan wangi. Penumpang juga tidak perlu memikirkan perlengkapan helm, masker, penutup kepala ataupun jas hujan,” ungkapnya dalam tulisan berjudul Menebak Masa Depan Go-Jek.

Berdasarkan informasi yang diserap Mas Isjet, begitu ia akrab disapa, hingga awal Juni 2015, Go-Jek sudah memiliki 10 ribu armada di Jakarta, Bali, Bandung dan Surabaya. Ini berarti sebuah pertumbuhan yang pesat, dari hanya 1.000 armada di tahun 2014, lalu naik jadi 3.000 per April 2015. Kehadirannya di kota-kota besar lain pun tinggal menunggu waktu, demi melihat pesatnya pengguna Go-Jek yang jumlah pengunggah aplikasi Go-Jek sudah mencapai 100 ribu orang.

Terlepas masih adanya aroma persaingan dengan ojek konvensional di lapangan, namun, mencermati pendapat sebagian masyarakat yang mengaku memperoleh berkah lantaran kehadiran Go-Jek, maka tak ada alasan lagi bagi Ahok, untuk menolak rumusan kerjasama sistem transportasi yang integratif, antara Go-Jek dengan PT TransJakarta. Malah, Go-Jek digadang-gadang bakal menjadi feeder (pengumpan) bagi TransJakarta. “Iya, kita minta supaya Go-Jek jadi salah satu feeder, kita ingin yang naik Go-Jek bisa baca. Kita ingin bisa kelihatan, bus TransJakarta sampai jam berapa, jadi kita bisa hitung,” ujar Ahok.

Bila draft Nota Kesepahaman (MoU) dengan Go-Jek disetujui, maka nantinya akan ada aplikasi Go-Busway pada aplikasi Go-Jek.

Kopaja yang berubah penampilan setelah bergabung dengan TransJakarta. (Foto: merdeka.com)

Tiga Ide Inovatif Terbaru untuk Urai Kemacetan

Selain sejumlah kebijakan yang telah dipaparkan di atas, kini Ahok memiliki tiga ide inovatif dari warga masyarakat yang urun-rembug memecahkan persoalan kemacetan di ibukota. Minimal, mengurangi parahnya stadium kemacetan tersebut.

Dari mana tiga ide tersebut bersumber?

Adalah Jakarta Urban Challenge (JUC) yang Mei kemarin usai membuat sayembara demi mencari solusi masalah mobilitas dan kemacetan Jakarta. Dari 226 proposal yang diterima panitia gelaran New City Summit 2015, maka panel juri memutuskan tiga finalis terbaik.

Panel juri JUC, terdiri dari Ke Fang, Spesialis Transportasi Perkotaan, World Bank Group; Sarwo Handayani, Kepala Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan Kota Jakarta; John Rossant, Kepala New Cities Foundation; Soetanto Soehodho, Deputi Gubernur Bidang Industri Perdagangan dan Transportasi DKI; Neli Triana, Senior Editor/Wakil Kepala Bagian Metropolitan Harian Kompas; dan, Muhammad Yunus, Pemenang Nobel Perdamaian dan Pendiri Grameen Bank.

Finalis terbaik diraih oleh Squee Mobile App (SMA), sebuah aplikasi yang menyatukan pejalan kaki dan pengendara sepeda untuk berpergian bersama lewat rute yang lebih singkat, aman, dan bebas kendaraan bermotor melewati kampung-kampung di perkotaan Jakarta.

Bersama sejumlah rekannya, penggagas SMA, yakni Arlene Nathania mengungkapkan, aplikasinya menggabungkan pejalan kaki dan pesepeda bepergian bersama melewati rute yang lebih singkat atau sering disebut rute jalan tikus, dan bebas kendaraan bermotor. Tentu saja, rute ini melewati kampung-kampung perkotaan Jakarta. “Dengan begitu aksesibilitas, kebebasan bergerak, dan nilai sosial dalam mobilitas dapat tercipta,” yakin Arlene.

Materi tentang Cyclist Urban System (CUS) dipresentasikan oleh Khairunnisa Kautsar. (Foto: Facebook CUS)

Peraih runner up yaitu, Jalan Aman (Safe Passage), satu aplikasi mobile yang fokus pada keamanaan komuter wanita. Memungkinkan pengguna untuk saling berbagi lokasi, melaporkan kejadian pelecehan, dan mengakses informasi mengenai pilihan transportasi yang lebih aman kepada pengguna lain.

Menurut Paulista Surjadi mewakili rekan-rekannya dari ‘Jalan Aman’, proposal yang diajukan timnya berdasarkan pengalaman pribadi para anggota---yang melulu wanita---ketika bepergian di jalan-jalan Jakarta yang menantang dan kadang menakutkan. “Kami sangat senang ide kami dapat berkontribusi kepada perbaikan mobilitas dengan memberikan solusi yang tepat sasaran yaitu kelompok commuter yang paling terkena dampak,” tuturnya.

Sedangkan finalis terbaik ketiga adalah Cyclist Urban System (CUS), yakni rencana untuk menciptakan “Pusat Pengendara Sepeda” yang terdedikasi, dimana pengendara sepeda dapat memarkir sepeda mereka, berganti pakaian, membeli minuman, memperbaiki sepeda mereka, mendapatkan pertolongan pertama dan informasi rute dan menyewa sepeda.

Dalam wawancara per telepon dengan penulis, salah seorang penggagas CUS yakni Khairunnisa Kautsar menyatakan, kalau tidak ada halangan, pada 2016 nanti, satu prototype shelter CUS sudah dapat diluncurkan, tentu setelah melalui feedback dan probation selama tiga bulan. “Proyek kita ini kan berupa fasilitas, yang diantaranya bekerjasama dengan beberapa spot bike sharing. Saat ini kita terus mencari lokasi potensial untuk shelter CUS, misalnya dengan saling berkomunikasi bersama komunitas Bike to Work (B2W) dan pihak bike sharing atau sistem sewa sepeda bersama. Lokasi idealnya, di dekat-dekat stasiun KRL, atau di dekat kawasan perkantoran, misalnya di kawasan Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman itu,” tutur Ucha, panggilan akrabnya.

Arlene Nathania (paling kiri), dan Khairunnisa Kautsar mengenakan jilbab merah jambu, berpose bersama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. (Foto: Facebook CUS)

Kenapa lokasinya di dekat stasiun dan perkantoran? Ya, karena di shelter CUS---yang bentuknya bisa terbuat dari kontainer---, para pengguna sepeda yang berkeringat dapat menikmati berbagai fasilitas dan layanan. Mulai dari mandi, toilet, loker menaruh barang, charging baterai gawai, membeli makan-minum dengan vending machine, bengkel sepeda, P3K, hingga kongkow bareng pesepeda lainnya. Tentu ada juga tempat parkir sepeda. “Nantinya, pengelolaan usaha shelter CUS ini akan menjadi waralaba dan terbuka bagi peminat usaha. Sedangkan bagi pengguna CUS, biaya yang dikenakan untuk menikmati layanan di shelter CUS dapat dipastikan lebih murah dari beli BBM, dan lebih murah bila dibandingkan dengan cost naik motor. Pengguna CUS dapat menjadi member, dan berhak memiliki kartu anggota yang berfungsi juga sebagai e-money,” terang Ucha selaku CEO and Co-Founder CUS.

Alumnus Universitas Trisakti jurusan Arsitektur ini juga menegaskan, target utama dengan pembuatan proyek shelter CUS ini adalah, membuat warga Jakarta berganti moda transportasi. “Karena kita sudah terlalu bergantung dengan kendaraan bermotor, khususnya mobil. Begitu juga dengan motor, kondisinya pun saat ini sudah ruwet. Inilah yang menjadi tugas utama kami yakni mengubah lifestyle dan mindset warga Jakarta terhadap transportasi. Jadi, kita beralih ke non-motorize vehicle atau kendaraan tidak bermotor. Kalau lifestyle dan mindset warga Jakarta sudah bisa berubah, akibatnya secara langsung akan menjadikan emisi gas buangan kendaraan bermotor menjadi nol. Dampak positif lainnya, jelas-jelas akan mengurangi kemacetan lalu-lintas di Jakarta juga ‘toh,” terang Ucha.

Tambahan informasi, komunitas B2W Indonesia berdiri sejak 27 Agustus 2005. Kepada penulis, salah seorang anggota B2W, Widhie Nugroho mengatakan, jumlah anggota B2W dulu pernah mencapai 10 ribu orang. “Ini didukung oleh banyak chapter yang ada. Misalnya, chapter Robek untuk Rombongan Bekasi, atau Ranger yang merupakan Rombongan Tangerang,” ujarnya.

Ketika masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo juga mengkampanyekan moda transportasi sepeda. (Foto: Antara/Wahyu Putro)

Bagaimana respon dari Gubernur DKI Jakarta sendiri? Ketika berkesempatan menyerahkan penghargaan kepada para finalis terbaik JUC, Ahok berjanji akan menelaah tiga ide inovatif ini. Bila dapat diterapkan dan terbukti efektif, Ahok siap untuk merealisasikannya demi membantu publik Jakarta.

Melalui ide bernas melalui proposalnya, ketiga finalis sebenarnya sama-sama memiliki benang merah pada hasil atau tujuan akhir ide inovatifnya. Yaitu, membuat warga tidak sering-sering mengendarai kendaraan pribadi untuk pergi beraktivitas. Lalu, cukup menggunakan moda transportasi yang sudah terintegrasi, termasuk bersepeda. Dari situ, dapat mengurangi kadar polusi udara akibat asap kendaraan bermotor, yang merupakan penyumbang terbesar pencemaran udara di Jakarta.

Mau tahu, sudah berapa parah polusi udara itu?

Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud indikator kualitas udara bersih adalah apabila partikel debu maksimal 60 mikrogram per meter kubik. “Sedangkan kondisi udara di Jakarta sejak 2012 lalu, sudah jauh melampaui ambang batas hingga mencapai 150 mikrogram per meter kubik,’ ungkap Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Syafrudin seperti dikutip greeners.com.

Lebih ketat lagi, WHO memberi standar, batas kandungan partikel debu justru harus maksimal 20 mikrogram per meter kubik. Ini belum termasuk indikator kandungan sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan hydro karbon yang biasa ditemukan di daerah polusi tinggi. “Tidak berlebihan bila penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada 2010 mencatat, sebanyak 57,8 persen, atau setara dengan sekitar lima juta penduduk Indonesia, mengalami penyakit akibat polusi udara,” prihatin Ahmad.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama juga gemar bersepeda. (Foto: merdeka.com)

Akhirnya, menjadi tantangan berikutnya bagi Ahok, untuk tidak hanya mendulang sukses dengan memainkan jurus ciamiknya mengatasi kemacetan. Tetapi juga, meminimalkan angka polusi udara di Jakarta yang sudah sedemikian meracuni publik Jakarta.

Oh ya, pada 29 Juni 2015 ini, saya sekaligus mengucapkan: “Selamat ulang tahun ke-49, Pak Basuki Tjahaja Purnama. Semoga tetap sukses, sabar dan amanah dalam memimpin DKI Jakarta ini”.

Wujudkan Jakarta Baru!

Dirgahayu 488 Tahun Jakarta: Kreatif, Modern dan Berbudaya.

 

* * * * *

 

Keterangan foto#1 Kemacetan di salah satu ruas jalan di Jakarta, usai diguyur hujan lebat. (Foto: ea/EA/bd-Antara)

 

Baca juga: Menanti Nyanyi Ceria Pepohonan di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun