Silang sengkarut ekspor bauksit dan pendirian smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian ) alumina terjadi. Kegaduhan ini berbuah pahit, ekspor mandeg, pembangunan smelter stop. Izin Usaha Pertambangan (IUP) bauksit saying goodbye karena memang tidak diperbolehkan lagi. Akibatnya mudah ditebak. Pengusaha pertambangan meradang. Sekitar 40 ribu pekerja kehilangan mata pencaharian. Potensi devisa negara yang sudah di depan mata sebesar Rp 17,60 triliun per tahun ikut raib. Belum lagi, penerimaan pajak negara yang ditaksir bisa mencapai Rp Rp 4,09 triliun juga lenyap. Penerimaan negara bukan pajak senilai Rp 595 miliar, juga gagal masuk kantong pemerintah.
Pendek kata, semua buntung. Ya pengusaha, masyarakat, termasuk negara.
Bagi yang bertanya mengapa semua bisa terjadi? Semua ini merupakan dampak atas penerbitan Permen ESDM No.1/2014 tanggal 12 Januari 2014 tentang Kriteria Peningkatan Nilai Tambah Mineral. Selain itu, Pemerintah juga mengeluarkan PP No.1/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral. Kedua peraturan ini merupakan turunan---sekaligus untuk mendukung pelaksanaan---dari produk hukum UU Minerba No.4/2009 yang mulai berlaku sejak 12 Januari 2014.
PP No.1/2014 berfungsi mengatur kegiatan usaha pertambangan melalui pengolahan dan dapat diekspor. Sedangkan Permen ESDM No.1/2014 menegaskan larangan ekspor bijih mineral kecuali sudah memenuhi jumlah (tertentu) batasan minimum konsentratnya.
Sebelumnya, telah diterbitkan juga Permen ESDM No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Mengapa?
Menurut siaran pers Kementerian ESDM tertanggal 4 Mei 2012, Permen ESDM diterbitkan karena dalam tiga tahun terakhir setelah UU No. 4/2009 diluncurkan, telah terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran, seperti ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%.
Oleh karena itu, guna menjamin ketersediaan bahan baku untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan, maka mutlak diperlukan adanya pengendalian ekspor bijih mineral.
Kala itu pemerintah menilai, sejak diterbitkannya UU No 4 tahun 2009, belum tercermin suatu rencana yang komprehensif dari pemegang IUP Mineral untuk melaksanakan undang-undang dimaksud, khususnya dalam pembangunan fasilitas smelter, dan/atau bentuk kerja sama pengolahan serta pemurnian mineral di dalam negeri.
Ya, inilah dalih Pemerintah. Kilah bahwa pelarangan ekspor bijih besi mineral yang belum memenuhi standar konsentrat memang sengaja diberlakukan, demi menaikkan nilai tambah mineral. Sesuai ruh UU Minerba No.4/2009. Sementara di sisi lain, justru menggegerkan industri pertambangan.
Sebenarnya, tidak cuma dalam negeri saja yang heboh. Dunia internasional pun merasakan imbasnya. Mereka, terutama China, Jepang dan Amerika Serikat, menyatakan tidak suka dengan pelarangan ekspor mineral mentah, termasuk bauksit. Maklum, industri dalam negeri kedua negara ini memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dari ekspor bijih mineral mentah Indonesia. Seperti kita tahu, bauksit merupakan bahan baku aluminium. Tambang bauksit banyak terdapat di Pulau Bintan (Riau), Singkawang (Kalimantan Barat), dan Kalimantan Tengah. Bisa dipahami, mengapa ketiga negara pengimpor tadi mencak-mencak akibat Indonesia melarang ekspor bauksit.
Khusus untuk China, begini gambaran yang disampaikan Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA). Sepanjang 2011 lalu misalnya, Indonesia telah mengekspor 33 juta ton metrik bijih nikel, dan 40 juta ton bauksit. Dari jumlah ini, sebanyak 80% ekspor nikel, dan 53% bauksit dikapalkan menuju China.
Tak kurang, Sidney Morning Herald edisi 13 Januari 2014 bahkan mengutip pernyataan Chairman Alcoa, Klaus Kleinfeld yang mengatakan, larangan ekspor yang dilakukan Indonesia berdampak pada kapasitas produksi dan refinery China. “China kelihatan gugup dengan kebijakan Indonesia itu. Anda bisa melihat dengan aksi mereka,” tulis koran terbesar di Australia itu. Alcoa adalah perusahan Amerika Serikat yang memproduksi aluminium, dan menempati posisi terbesar ketiga di dunia, setelah Rio Tinto dan Rusal.
Nah, dengan gonjang-ganjing yang berlangsung di Indonesia, tak salah kalau kemudian China mulai bermain mata dengan industri pertambangan bijih mineral mentah, termasuk bauksit ke Filipina.
Sebenarnya, dengan mengekspor mineral olahan---tidak hanya ekspor bijih (raw material atau ore)--, para pengusaha memiliki peluang untuk mengerek pendapatannya. Misalnya, seperti yang diungkapkan Ketua Working Grup Kebijakan Pertambangan Perhapi, Budi Santoso, tentang produk bauksit olahan yang dinamakan wash bauxite. Meskipun dianggap tidak bisa dikategorikan sebagai hasil olahan, karena hanya melewati serangkaian proses sederhana tanpa menghasilkan peningkatan nilai tambah mineral, wash bauxite cukup mendatangkan ‘Apel Washington’ alias dolar.
Sebelum washing, kadar bauksit 2% dan harganya sekitar US$ 10 per ton. Sesudah dilakukan washing, kadarnya naik jadi 15%, sedangkan harganya juga bertambah jadi US$ 23 dolar per ton. “Washing secara konsep termasuk proses tetapi seharusnya tidak dianggap sebagai peningkatan nilai tambah, karena masih kadar bauksitnya saja yang meningkat, dan harganya memang meningkat tetapi linier terhadap kandungan bauksitnya. Kenaikan harga sama dengan kenaikan kadarnya. Ini sih sama saja dengan, bukan nilai tambah. Tapi cuma menyiasati aturan,” tegasnya seperti dikutip pmeindonesia.com.
Kemelut dan Jerit Bauksit
Secara kasat mata, kisruh ekspor Bauksit yang terjadi belakangan kemarin, cukup menegangkan. Empunya kebijakan dan pendukung larangan ekspor barang mentah berdalih---bahkan dengan nada tinggi---, bahwa hal itu sama saja seperti menjual tanah air. Sikap ketidaksetujuan ini mengacu pada UU No.4/2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara. Diantara yang menyatakan dukungan atas penolakan ekspor barang mentah, terutama yang terkait dengan mineral dan batubara (Minerba) adalah Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan.
Selain itu, Zulkifli tegas menyatakan, sesuai dengan semangat UU No.4/2009, maka diharuskan untuk dibangun smelter di tanah air yang dapat menghasilkan nilai tambah, sekaligus menyerap tenaga kerja. “Untuk jangka pendek, pembangunan smelter tentu tidak memberikan hasil seketika, tapi untuk jangka panjang, jelas hal ini sangat menguntungkan,” katanya.
Guliran kehebohan makin menjadi-jadi, manakala ada semacam tudingan, bahwa dibalik pelarangan ekspor bauksit, justru tercium aroma tak sedap berupa ‘tekanan’ asing yang pandai mengambil keuntungan. Hal ini terutama dilontarkan Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri, yang tanpa tedeng aling-aling menyebut mantan Menko Perekonomian, Hatta Radjasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini.
Berbicara dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema “Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia”, di Jakarta, Senin (25/5/2015), Faisal mengungkapkan bahwa pada awal 2014 lalu, peranan Hatta Radjasa melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit sangat besar. Berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas di Kantor Menko Perekonomian secara lintas kementerian. Akhirnya, terbitlah Permen ESDM No.1/2014 tertanggal 12 Januari 2014 yang bikin heboh itu.
“Akibat pelarangan ekspor bauksit itu, pasokan sebanyak 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk mancanegara menghilang. Dampaknya, harga saham alumina Rusal, perusahaan milik Rusia, mengalami lonjakan. Mereka untung ratusan juta dolar,” tukas Faisal Basri.
Pandangan Faisal Basri mengenai pertambangan juga dapat disimak melalui tulisan pada blog pribadinya: Sesat Pikir Tambang: Sedemikian Bodohkah Kita?
Dalam seminar yang banyak diliput kalangan blogger dan media ini, turut berbicara Ir Simon f Sembiring selaku mantan Dirjen Minerba yang kini menjadi pengamat pertambangan Minerba. Diantara pernyataannya, Simon menyayangkan kebijakan Pemerintah yang terbilang lunak apabila menghadapi perusahaan pertambangan asing, terbukti dengan mereka masih diberi kompensasi untuk melanjutkan ekspor mineral, sembari berharap dapat membangun smelter.
“Sementara perusahaan pertambangan dalam negeri yang justru sedang membangun smelter malah tidak diperhatikan. Sebut saja misalnya, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery milik Harita Group di Ketapang, Kalimantan Barat. Padahal, pembangunan smelter mereka sudah mencapai lebih dari 40%, tapi sayangnya harus terhenti karena tidak adanya pendapatan dari hasil eksplorasi dan penjualan bauksit. Bandingkan hal ini dengan perusahaan asing seperti PT Newmont dan PT Freeport, yang masih berencana membangun smelter, dan bahkan belum melakukan uji kelayakan, tapi sudah diberi relaksasi ekspor bahan mentah sementara sambil membangun smelter,” urai Simon.
Sementara itu, karena namanya turut disangkut-pautkan, Hatta Radjasa kontan membantah sinyalemen negatif yang diprasangkakan Faisal Basri. Ia menyatakan, ketentuan pelarangan ekspor barang mentah yang efektif berlaku sejak awal Januari 2014, murni pelaksanaan dari amanat UU No.4/2009. “Jadi tidak benar karena Rusia. Kita tidak bisa diatur, dan didikte oleh siapapun,” tegas Hatta yang juga membantah telah melakukan intervensi untuk mengubah substansi rancangan PP No.1/2014 yang kemudian menjadi payung hukum pelarangan ekspor mineral.
Bagaimana dari sisi pengusaha?
Ini lebih ‘lucu’ lagi. Ibaratnya, para pengusaha bauksit ini sudah jatuh, masih juga tertimpa tangga. Gimana enggak? Lha wong aktivitas ekspor saja sudah dilarang, tapi praktiknya di lapangan, mereka masih saja merasakan ketidakadilan karena tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah yang ditambang serta land rent, masih tetap diberlakukan. Hal ini disuarakan Erry Sofyan yang merupakan perwakilan pengusaha bauksit.
Meski demikian, Erry mengakui, pajak yang ditagih pemerintah tak sebesar ketika perusahaan masih diperbolehkan melakukan ekspor. Tapi, alangkah baiknya, jika Pemerintah mempertimbangkan hal tersebut. “Ya, kan sudah enggak beroperasi, tapi cicilan pajak tetap ditagih juga,” herannya.
Tatap Masa Depan dengan Galian Minerba
Silang sengkarut industri Minerba, khususnya bauksit, akhirnya membelalakkan mata banyak pihak untuk mulai berpikir, bagaimana mengelola industri pertambangan Minerba ini sehingga menjadi berdayaguna untuk tanah air tercinta.
Sejumlah harapan kemudian mulai dapat membangkitkan optimisme.
PERTAMA, sikap Pemerintah yang mulai melunak dan responsif.
Ya, ini adalah sebuah keberuntungan bagi pengusaha dan pekerja. Karena, Pemerintah mulai menunjukkan sikap melunak---kalau tidak mau disebut plintat-plintut---, dengan berniat kembali memberi peluang ekspor bauksit. Alasannya? “Kondisinya saat ini, banyak perusahaan yang sedang bagun smelter, yang proses pembangunannya sudah mencapai 50% terhenti, karena tidak punya uang lagi untuk melanjutkan pembangunan smelter,” ungkap Ketua Tim Pengembangan dan Percepatan Pembangunan Smelter Nasional, Kementerian ESDM, Said Didu di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 18, Jakarta Pusat, Senin (23/3/2015).
Said mengatakan, perusahaan-perusahaan tambang bauksit yang sedang bangun smelter terancam bangkrut, karena tak ada lagi pemasukan dana dari aktivitas tambangnya. Pasalnya, pemerintah telah melarang bauksit diekspor. “Kalau dibiarkan target pemerintah ada pembangunan smelter dan terjadi hilirisasi di bauksit tidak tercapai,” ucapnya.
(Ekspor bauksit Indonesia periode 2000 - 2013. Sumber: BPS)
Ia mengungkapkan, untuk mencari jalan keluar dari masalah ini, pemerintah berencana memperbolehkan ekspor bauksit kembali, tapi khusus perusahaan tambang bauksit yang sedang membangun smelter.
Said yakin, kebijakan ini tidak akan melanggar UU No.4/2009 tentang Mineral dan Baru Bara, khususnya terkait aturan penolahan dan pemurnian mineral. “Ini tidak melanggar aturan. Karena dalam peraturan tidak ditentukan kadar berapa persen pengolahan dan pemurnian mineral. Sanksinya bila melanggar pun tidak ada sanksi pidana, yang ada hanya sanksi administrasi. Jadi pemerintah bolehkan ekspor bauksit tapi kena sanksi bea keluar,” katanya sembari berharap perusahaan bauksit yang sedang bangun smelter memiliki pemasukan dana, sehingga bisa melanjutkan dan menyelesaikan pembangunan smelter-nya.
KEDUA, hikmah dari kegaduhan ekspor bauksit belakangan ini, hendaknya dijadikan momentum untuk menjadikan tambang sebagai pilar kemandirian dan kesejahteraan rakyat. Nandang Sudrajat dalam bukunya Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia (Pustaka Yustisia, 2013) menyebutkan, makna UU No.4/2009 pasal 33 ayat 3 dalam konteks ekonomi bukan hanya bermakna langsung, yaitu bahan galian untuk kesejahteraan rakyat semata, dengan cara dijual langsung guna memperoleh manfaat secara ekonomis, tetapi harus diartikan dalam konteks yang lebih luas, yaitu untuk membangun kemandirian bangsa.
Melalui bahan galian atau bahan tambang yang dimiliki bangsa Indonesia, sebagai industri dasar, benar-benar dapat mendorong dan mewujudkan kemandirian bangsa. Bagaimana tidak? Karena semua jenis bahan galian ada dan terdapat di Indonesia, yang kemudian bisa dijadikan berbagai macam kebutuhan industri. Contoh, untuk membangun industri otomotif atau mobil, Indonesia tidak perlu mendatangkan bahan baku dari luar, tetapi dapat dicukupi oleh kebutuhan bahan baku yang ada di Indonesia. Tentunya, setelah mengalami pengolahan terlebih dahulu.
Nah, sesungguhnya disinilah makna pengolahan dan pemberian nilai tambah dari bahan mentah bijih mineral tersebut, dapat dimaknai secara utuh dan meluas.
Ketika penulis bersama rombongan member Kompasiana berkesempatan melakukan kunjungan ke Pabrik Mesin milik PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) di Toyota Sunter 1 Plant, Jakarta Utara, pada 10 Juni 2015 kemarin, hal ini juga termasuk yang dikemukakan petinggi manajemen.
Menurut Turmudi S selaku Executive General Manager PT TMMIN, Indonesia sebenarnya bisa mengembangkan industri otomotif seperti yang dilakukan produsen otomotif terkemuka di dunia Toyota Motor Corporation (TMC). Alasannya? Bahan baku pembuatan komponen dan kendaraan bermotor sangat berlimpah di dalam negeri. Hal ini jelas sangat mendukung industri strategis seperti otomotif ini. “Jepang yang sempat terpukul pada Perang Dunia II, mampu bangkit dengan cepat dari keterpurukan bangsanya. Begitu juga dengan industri otomotif mereka, termasuk Toyota itu. Nah, Indonesia mustinya bisa melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Jepang itu,” ujarnya. (Baca: ’Menimba Ilmu ‘Monozukuri’, Melihat Langsung ‘Toyota Way)
Adapun sejumlah komponen kendaraan dan bahan bakunya (Nandang Sudrajat, hal.12), dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Jenis Komponen (JK): Sasis dan rangka kendaraan, yaitu berbagai jenis baja berbentuk batangan dan bulat. Bahan Baku (BB): berasal dari Baja tahan karat, dengan bahan baku dasar adalah logam besi (Fe), logam nikel (Ni), Aluminium (Al). Dan, Keterdapatan di Alam (KA): berupa bijih besi, bijih nikel laterit, dan BAUKSIT.
- JK: Body kendaraan. BB: bahan baku baja lembaran tahan karat. KA: berupa bijih besi, bijih nikel laterit, dan BAUKSIT.
- JK: Komponen busi. BB: isolator bersuhu tinggi. KA: Kaolin, Feldspar, Ball Clay, dan berbagai jenis logam.
- JK: Kaca kendaraan. BB: bahan kaca tembus pandang. KA: silika berkualitas tinggi.
- JK: Lampu kendaraan. BB: kawat dan kaca. KA: silika, wallfram, tembaga, krom.
- JK: Shell accu. BB: lempengan timah hitam (Pb) dan antimony (Sb). KA: Galena (PbS), Logam antimony.
- JK: Cat mobil. BB: berbagai jenis cat. KA: Oker dan Kaolin.
- Jenis Komponen: Ban dan seal karet. Bahan Baku: karet jadi. Keterdapatan di Alam: perkebunan karet tumbuh subur di Indonesia.
(Komponen mesin mobil Toyota yaitu Cylinder Head yang dibuat di Toyota Sunter 1 Plant, Jakarta Utara. Foto: Kompasiana/Santo)
KETIGA, sambil berjalan membangun industri Minerba, utamanya bauksit, Pemerintah dapat melakukan perbaikan terhadap segala ketentuan, payung hukum, dan bantuan terhadap para pemain di industri ini. Semua dilaksanakan secara transparan, dimana kebijakannya ditentukan secara bersama, demi menghindari pat gulipat, tekanan maupun pengaruh pihak asing yang hanya ingin mencaplok keuntungan misalnya dengan melakukan kolusi tingkat tinggi.
Hal-hal yang perlu dibenahi sambil jalan adalah penetapan kandungan konsentrat yang menjadi acuan minimum, dan yang juga penting adalah, menjabarkan pengolahan bahan mentah bijih mineral untuk menjadi bahan galian bernilai tambah itu. Pendek kata, jangan sampai ada multi-tafsir dalam penetapan kebijakannya. Apalagi, ketimpangan perlakukan, misalnya ya kemudahan izin atau melakukan relaksasi kepada perusahaan asing, sementara perusahaan anak-anak bangsa sendiri seolah jadi ‘anak tiri’.
Kalau kemudian Pemerintah mulai melunak dengan memberi izin pembukaan keran ekspor bauksit, asal perusahaan yang bersangkutan mengajukan proposal rencana pendirian smelter, tentu harus dibentuk tim verifikasi yang kuat atas (kebenaran) pembangunan smelter-nya itu sendiri.
Lho, kenapa?
Seperti diungkapkan Nandang Sudrajat, dalam implementasinya, ternyata proposal pembangunan smelter ada yang tidak lebih dari sekadar formalitas belaka, dengan berbagai bumbu dan aroma KKN. Berdasarkan pengamatan di lapangan, minimal ada dua penyelewengan yang sifatnya mendasar dalam melaksanakan implementasi Permen No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Bahan Galian di Indonesia.
- Proposal smelter bodong atau abal-abal. Alias benar-benar hanya sekadar proposal, dan bukan rencana pembangunan pabrik, sebab tujuan utamanya adalah bagaimana memperoleh legalitas berupa resgister Ekspor Terdaftar (ET) dan Surat Pengenal Ekspor (SPE) sehingga masih tetap dapat melakukan ‘curi-curi’ ekspor bahan mentah mineral ke berbagai negara tujuan.
- Program hilirisasi telah mengalami pergeseran dari maksud dan tujuannya, sehingga tidak heran kalau kemudian dokumen ET dan SPE menjadi ajang KKN dan gratifikasi, karena untuk memperoleh kuota ekspor raw material bahan tambang tertentu, peminat harus merogoh kocek hingga ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk satu jenis komoditas mineral. Wowwwww … ‘Apel Malang’ yang banyak sekali nilainya.
Beruntung, Pemerintah sudah punya standar penerapan. Seperti disampaikan Ketua Tim Pengembangan dan Percepatan Pembangunan Smelter Nasional, Kementerian ESDM, Said Didu, perusahaan yang diizinkan ekspor bauksit khusus perusahaan yang sedang membangun smelter. “Perusahaan yang bangun smelter juga harus yang benar-benar serius, bukan perusahaan abal-abal yang hanya modal kertas proposal,” ujarnya.
Ia mengatakan lagi, dasar perusahaan yang serius membangun smelter bauksit ini adalah telah memiliki 30% dana dari perusahaan sendiri untuk pembangunan smelternya. “Biasanya dalam pembangunan smelter dananya 30% dari perusahaan, sisanya 70% dari pinjam dari bank,” kata Said.
Selain itu, perusahaan yang hendak melakukan ekspor bauksit akan dikenakan bea keluar yang cukup tinggi. “Pasti kena bea keluar, seperti Freeport dan Newmont yang dikenakan bea keluar,” ucapnya seraya menyebutkan bahwa pemerintah juga akan membatasi volume bauksit yang diekspor, dan batas volume tersebut disesuaikan dengan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan smelter bauksit.
Semacam guidance melegakan, namun semoga ampuh penerapannya di lapangan.
KEEMPAT, Pemerintah hendaknya melibatkan lebih banyak lagi masyarakat untuk menghindari tuduhan kongkalikong dibalik lahirnya sebuah kebijakan, apalagi pada akhirnya menyeret-nyeret keterlibatan pihak asing. Saat ini, tak bisa lagi main ‘sembunyi-sembunyian’ apalagi main mata untuk urusan yang menyangkut harkat dan martabat aset bangsa. Sekecil apapun yang dilakukan, pasti semerbak aroma busuknya akan tercium pemerhati, praktisi, pakar, dan masyarakat luas.
Dalam konteks ini Abrar Saleng dalam tulisan disertasinya berjudul Hukum Pertambangan mengungkapkan, bahwa diketahui ada dua tipe investor asing dalam bidang pertambangan, berkaitan dengan aspek pengaturan pengusahaan bahan galian, yaitu:
- Tidak mau tahu Indonesia. Maksudnya, hukum harus ditegakkan seperti di negara asalnya. Kelompok ini sering mengalami hambatan birokrasi yang menyebabkan kegiatan usahanya tertunda bahkan gagal.
- Sangat tahu Indonesia. Artinya, mereka mengikuti budaya hukum Indonesia. Kelompok ini mengakui tidak ada hambatan yang berarti dalam menjalankan usahanya, tetapi mereka harus menyediakan dana ekstra (khusus)---mungkin istilah kerennya, dana non budgeter---yang jumlahnya tidak sedikit untuk mewujudkan keinginannya.
KELIMA, meski berada pada harapan nomor buncit, tapi asa ini termasuk yang penting, yaitu bagaimana galian-galian tambang Minerba tidak merusak lingkungan hidup hayati. Jangan sampai terjadi lagi cerita seperti dua tahun lalu, ketika aparat berwajib melakukan inspeksi mendadak di Sei Enam, Kecamatan Bintan Timur, dan hasilnya, menemukan sejumlah alat berat lengkap dengan pengerukan bauksit. Pengelola eksplorasi bauksit ini tanpa izin, dan ironisnya, telah melahap hutan yang ada nyaris gundul. Padahal, hutan ini termasuk kawasan terlarang untuk pertambangan.
Tak salah kalau kemudian Nandang Sudrajat (hal. 154) mengemukakan pentingnya mendorong lahirnya konsep integratif yang konsisten, antara perencanaan tambang dengan konsep pengelolaan lingkungan. Mulai dari:
- Dilakukan sejak tahap konstruksi pada pekerjaan persiapan.
- Selama berlangsungnya proses eksploitasi.
- Pada tahap pengolahan serta pemurnian bahan galian.
- Sampai dengan konsep model pengelolaan dan reklamasi lahan pasca tambang.
Konsep ini diperkenalkan sebagai good and green practice mining!
Begitulah, daripada terus gaduh tak berujung, lebih baik segera melakukan pembenahan secara selaras. Tidak asal melarang ini-itu tanpa solusi. Tidak sembarang mengeluarkan kebijakan tanpa turunan penjelasan yang jelas. Dan mulai berpikir maju, bahwa Indonesia harus bangkit, mandiri, dan digjaya dengan galian bahan tambangnya, termasuk bauksit, dan Minerba lainnya.
Semoga …
* * * * *
Keterangan: (Foto 1 Pekerja tengah melakukan pengecoran logam. Foto: mlmagz.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H