PERTAMA, sikap Pemerintah yang mulai melunak dan responsif.
Ya, ini adalah sebuah keberuntungan bagi pengusaha dan pekerja. Karena, Pemerintah mulai menunjukkan sikap melunak---kalau tidak mau disebut plintat-plintut---, dengan berniat kembali memberi peluang ekspor bauksit. Alasannya? “Kondisinya saat ini, banyak perusahaan yang sedang bagun smelter, yang proses pembangunannya sudah mencapai 50% terhenti, karena tidak punya uang lagi untuk melanjutkan pembangunan smelter,” ungkap Ketua Tim Pengembangan dan Percepatan Pembangunan Smelter Nasional, Kementerian ESDM, Said Didu di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 18, Jakarta Pusat, Senin (23/3/2015).
Said mengatakan, perusahaan-perusahaan tambang bauksit yang sedang bangun smelter terancam bangkrut, karena tak ada lagi pemasukan dana dari aktivitas tambangnya. Pasalnya, pemerintah telah melarang bauksit diekspor. “Kalau dibiarkan target pemerintah ada pembangunan smelter dan terjadi hilirisasi di bauksit tidak tercapai,” ucapnya.
(Ekspor bauksit Indonesia periode 2000 - 2013. Sumber: BPS)
Ia mengungkapkan, untuk mencari jalan keluar dari masalah ini, pemerintah berencana memperbolehkan ekspor bauksit kembali, tapi khusus perusahaan tambang bauksit yang sedang membangun smelter.
Said yakin, kebijakan ini tidak akan melanggar UU No.4/2009 tentang Mineral dan Baru Bara, khususnya terkait aturan penolahan dan pemurnian mineral. “Ini tidak melanggar aturan. Karena dalam peraturan tidak ditentukan kadar berapa persen pengolahan dan pemurnian mineral. Sanksinya bila melanggar pun tidak ada sanksi pidana, yang ada hanya sanksi administrasi. Jadi pemerintah bolehkan ekspor bauksit tapi kena sanksi bea keluar,” katanya sembari berharap perusahaan bauksit yang sedang bangun smelter memiliki pemasukan dana, sehingga bisa melanjutkan dan menyelesaikan pembangunan smelter-nya.
KEDUA, hikmah dari kegaduhan ekspor bauksit belakangan ini, hendaknya dijadikan momentum untuk menjadikan tambang sebagai pilar kemandirian dan kesejahteraan rakyat. Nandang Sudrajat dalam bukunya Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia (Pustaka Yustisia, 2013) menyebutkan, makna UU No.4/2009 pasal 33 ayat 3 dalam konteks ekonomi bukan hanya bermakna langsung, yaitu bahan galian untuk kesejahteraan rakyat semata, dengan cara dijual langsung guna memperoleh manfaat secara ekonomis, tetapi harus diartikan dalam konteks yang lebih luas, yaitu untuk membangun kemandirian bangsa.
Melalui bahan galian atau bahan tambang yang dimiliki bangsa Indonesia, sebagai industri dasar, benar-benar dapat mendorong dan mewujudkan kemandirian bangsa. Bagaimana tidak? Karena semua jenis bahan galian ada dan terdapat di Indonesia, yang kemudian bisa dijadikan berbagai macam kebutuhan industri. Contoh, untuk membangun industri otomotif atau mobil, Indonesia tidak perlu mendatangkan bahan baku dari luar, tetapi dapat dicukupi oleh kebutuhan bahan baku yang ada di Indonesia. Tentunya, setelah mengalami pengolahan terlebih dahulu.
Nah, sesungguhnya disinilah makna pengolahan dan pemberian nilai tambah dari bahan mentah bijih mineral tersebut, dapat dimaknai secara utuh dan meluas.
Ketika penulis bersama rombongan member Kompasiana berkesempatan melakukan kunjungan ke Pabrik Mesin milik PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) di Toyota Sunter 1 Plant, Jakarta Utara, pada 10 Juni 2015 kemarin, hal ini juga termasuk yang dikemukakan petinggi manajemen.