Siapa sangka, ternyata Pabrik Toyota yang mendunia itu, dulunya adalah Pabrik Tenun. Bagaimana ceritanya?
Adalah tiga orang penting yang menciptakan sejarah TOYOTA PRODUCTION SYSTEM (TPS). Ketiganya adalah Sakichi Toyoda (1867 – 1930, seorang industrialis Jepang), Kiichiro Toyoda (1854 – 1952, dan merupakan putra dari Sakichi Toyoda), dan Taiichi Ohno (1912 – 1990) yang merupakan seorang Production Engineer dan Businessman.
TPS bermula dari temuan Sakichi Toyoda terhadap mesin tenun miliknya. Sederhana temuannya. Yaitu, ketika terjadi suatu masalah pada mesin tenun, dampaknya akan selalu mengakibatkan produk gagal atau No Good Product/Reject Product.
Dihantui produk gagal, membuat Sakichi Toyoda berpikir keras untuk menghindarinya. Caranya? Jitu!
Ia memasang sensor otomatis pada mesin tenunnya. Dengan begitu, ketika terjadi proses produksi yang tidak normal, abnormality, maka mesin tenun akan berhenti secara otomatis. Hasilnya? Jelas luar biasa! Karena, tidak ada lagi produk gagal. Ya, bagaimana mau gagal, lantaran setiap terjadi abnormality, mesin tenun akan terhenti. Mesin tenun akan kembali dioperasikan, setelah keadaan tidak normal seperti misalnya benang putus, benang kusut, bandul jatuh, berhasil diperbaiki.
Temuan Sakichi Toyoda yang pada 1902 melakukan otonomisasi mesin atau proses produksi yang berhenti bila terjadi abnormality inilah yang dinamakan konsep JIDOKA.
Secara lengkap, JIDOKA dalam TPS adalah suatu alat atau sistem yang dipergunakan untuk mengetahui atau mendeteksi ketidaknormalan (abnormality) proses. Sistem atau alat ini kemudian diberi wewenang untuk menghentikan proses produksi dengan alasan adanya ketidakberesan. Contoh, pada lini produksi yang menggunakan conveyor, operator dianjurkan untuk menarik tuas ‘line stop’ untuk menghentikan produksi, hingga leader datang mengecek dan mengurai abnormality menjadi normal kembali.
Sebagai industrialis yang nasionalis dan visioner, Sakichi Toyoda tidak memaksakan namanya ditabalkan sebagai brand produk otomotifnya. Ia justru legowo mengubah TOYODA menjadi TOYOTA. Keputusan ini ternyata menjadi strategi pemasaran yang hebring. Betapa tidak? Publik, ternyata lebih mudah menyebut Toyota ketimbang Toyoda. Nilai lebih lainnya, penulisan dalam aksara Jepang juga jadi mudah karena menghilangkan tanda apostrop (“), yang mirip tanda kutip. Itu artinya, membuat proses pencetakan huruf bertuliskan Toyota---baik di kendaraan, aksesoris, maupun komponen---dalam aksara Jepang menjadi lebih simple.
Lantas, bagaimana sumbangsih Kiichiro Toyoda? Ternyata, sama luar biasanya dengan sang ayah.
Pada 1930, ketika Toyota Group baru meninggalkan industri tenun dan berfokus ke bisnis otomotif, sang ayah, Sakichi Toyoda, mengutus Kiichiro Toyoda ke Amerika Serikat. Tujuannya tak lain untuk mempelajari seluk-beluk produksi dan bisnis perusahaan otomotif milik Henry Ford (1863 – 1947). Kala itu, perusahaan sang juragan merupakan perusahaan otomotif terbesar dengan meluncurkan mobil bermerek, Ford.