[caption id="attachment_305829" align="aligncenter" width="560" caption="Taman Makam Pahlawan Seribu Serpong. Meski tertulis kata Seribu, tapi bukan berarti ada 1.000 jasad para pahlawan yang disemayamkan di TMP ini. (Foto: Dokpri)"][/caption]
Berlokasi di Jalan Raya Puspiptek atau Jalan Raya Taman Makam Pahlawan (TMP) Seribu, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), dan tak jauh dari Taman Tekno di BSD City, TMP SERIBU SERPONG menjadi saksi bisu perjuangan heroik masyarakat Banten melawan penjajah kolonial Belanda.
Meski namanya “Seribu Serpong”, bukan berarti ada 1.000 makam pahlawan yang ada di TMP yang memiliki luas 9.835 m2 ini. Hanya ada 238 makam pahlawan yang ada di sini, ditambah dua makam lagi, sehingga total semuanya adalah 240 makam. Seluruh makam seperti berseragam, di-cat warna putih dengan sedikit warna merah pada bagian atas kayu nisan, sebagai perlambang bendera merah putih. Dwiwarna yang gagah berani mereka perjuangkan hingga titik darah penghabisan!
“Makna dari kata ‘Seribu’ itu bukan berarti ada seribu makam pahlawan yang ada di sini. Seribu itu diambil dari teriakan kalimat penggelora semangat perjuangan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yaitu, dari kata ‘Serbu’. Tapi, ada juga yang menyatakan, ‘Seribu’ itu menjadi pilihan kata yang paling tepat, untuk menggambarkan secara simbolis betapa banyak jumlah warga masyarakat Banten yang ikut berjuang melawan penjajahan Belanda pada waktu itu. Termasuk, banyak pula yang gugur di medan peperangan tersebut,” tutur Sirojuddin, salah seorang petugas TMP di ruang kerjanya kepada penulis, Kamis (28 November 2013) lalu.
Selain Sirojuddin, ada pula Junaedi, dan Ilham, yang ditugaskan oleh Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Pemkot Tangsel di TMP ini. “Alhamdulillah, kalau dulu upah kami hanya Rp 300.000-an per bulan, kini sudah mencapai lebih dari Rp 1 juta per bulan per orang,” aku Junaedi seraya bersiap untuk pekerjaan rutinitasnya yakni membersihkan area taman di lingkungan kompleks TMP.
[caption id="attachment_305830" align="aligncenter" width="560" caption="Sirojuddin berpose di hadapan monumen daftar nama-nama pahlawan yang dimakamkan di TMP Seribu Serpong. (Foto: Dokpri)"]
Di monumen daftar nama-nama para pahlawan di TMP ini, terdapat 151 nama pahlawan, dan sisanya, sebanyak 87 makam tertulis sebagai Pahlawan Tak Dikenal. Adapun tambahan 2 makam ‘baru’, posisinya saling berdampingan, dan terletak di sebelah kiri monumen segitiga yang bentuknya mirip ujung senjata tombak. Kedua makam itu atas nama almarhum H E Mugni Sastradipura bin H Asnawi (wafat pada 31 Januari 2000) --- seorang personil militer yang pangkat terakhirnya adalah Kolonel (purnawirawan) --- , dan di sebelahnya persis adalah makam almarhumah Hj Ratnaningsih Mugni binti Samsuri Parta Supadma (wafat pada 7 April 2003). Makam pasangan suami istri ini, tak lain adalah merupakan makam orang tua dari Wakil Walikota Tangsel periode 2011-2016, H Benyamin Davnie.
Di atas daftar nama para pahlawan pada monumen itu tertulis kalimat: Disinilah Peristirahatan Kami Terakhir Setelah Menunaikan Dharma Bhakti Pada Tanggal 26 Mei 1946. Sementara dibawah nama-nama pahlawan tersebut dipasang prasasti peresmian TMP Seribu Serpong yang ditandatangani oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, R. Nuriana, tertanggal 22 Agustus 1996.
Ya, seperti dimuat blog Humas Kabupaten Pandeglang (humaspdg.wordpress.com), pada tahun 1946, banyak terjadi pertempuran antara Pasukan Banten melawan Pasukan Belanda di daerah garis demarkasi yang memakan banyak jatuh korban dari kedua belah pihak. Masing-masing pihak mempunyai kelebihan. Tentara Belanda unggul dalam persenjataan, sedangkan laskar Banten unggul dalam jumlah personel dan semangat. Dari sekian banyak pertempuran yang paling banyak memakan korban di pihak pasukan Belanda adalah pertempuran di Serpong.
Pertempuran di Serpong pada akhir bulan Mei 1946 terjadi karena serangan laskar-laskar dari Banten terhadap tentara Belanda. Serangan itu terjadi karena Banten merasa terancam dengan didudukinya Serpong oleh Belanda. Beberapa hari setelah Serpong diduduki oleh Belanda, tanggal 23 Mei 1946 pasukan laskar dari Desa Sampeureun, Kecamatan Maja, suatu tempat yang dekat dengan garis demarkasi, berjalan menuju Serpong. Pasukan berkekuatan 400 orang dibawah pimpinan KH Ibrahim. Sesampai di Tenjo pasukan bergabung dengan pasukan laskar dari Tenjo yang dipimpin oleh KH Harun, seorang ulama yang terkenal sebagai Abuya Tenjo. Laskar Tenjo berjumlah sekitar 300 orang.
[caption id="attachment_305831" align="aligncenter" width="560" caption="Tugu segitiga lancip mirip ujung senjata tombak di TMP Seribu Serpong. (Foto: Dokpri)"]
Pada tanggal 25 Mei 1946 kedua pasukan tersebut dengan menggunakan senjata tajam terus berjalan kaki menuju Parungpanjang, suatu tempat disebelah barat Serpong. Disepanjang perjalanan menuju sasaran pasukan bertambah terus di antaranya dari Pasukan dari Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, pasukan dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim dan Pasukan Laskar pimpinan Nafsirin Hadi dan E.Mohammad Mansyur.
Pada tanggal 25 Mei 1946 malam, para pimpinan pasukan berunding untuk mengatur siasat pertempuran. Esok harinya, tanggal 26 Mei 1946 Serpong di serang. Pasukan Pimpinan KH Harun menyerang dari belakang sedangkan Pasukan Pimpinan KH Ibrahim, pasukan pimpinan Mama Hasyim dan pasukan pimpinan E.Mohammad Masyur menyerang dari depan dengan melalui jalan raya Serpong. Dalam gerakan menuju sasaran pasukan mengumandangkan takbir “Allahu Akbar”. Suara takbir itu membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi ditempat-tempat yang strategis. Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandakan takbir dan Pasukan Belanda gencar menembaknya sehingga korban berjatuhan. Suara Takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi dan pasukan Banten sekitar 200 orang gugur, termasuk KH Ibrahim dan Jaro Tiking.
Untuk mengurus dan memakamkan jenazah para korban, Nafsirin Hadi berhasil menemui Pimpinan tentara Belanda, seorang Letnan KNIL. Permintaannya dikabulkan dengan mengatakan: “Saya diharuskan memberikan Tuan izin untuk menguburkan jenazah-jenazah itu, tetapi hanya oleh empat orang dari Pasukan Tuan. Dan pukul 06.00 sore, Tuan harus sudah meninggalkan tempat ini”. Atas persetujuan pimpinan tentara Belanda para korban itu pada tanggal 27 Mei 21946 siang dikubur secara masal dalam tiga lubang besar. Namun tempat pemakaman itu kemudian diberi nama “MAKAM PAHLAWAN SERIBU” yang terletak di Kampung Pariang, Serpong.
[caption id="attachment_305832" align="aligncenter" width="560" caption="Di belakang tugu berwarna merah itulah bersemayam jasad para pahlawan yang gugur pada saat Pertempuran Seribu di Serpong. (Foto: Dokpri)"]
Sebenarnya, jasad para pahlawan yang ada di TMP Seribu Serpong ini, sebelumnya telah dikebumikan di titik lokasi pertempuran, yaitu di pertigaan Kecamatan Cisauk (atau lebih dikenal dengan Pasar Lebak, Tangerang. Di lokasi tersebut, dibangun juga monumen pahlawan. Tapi, seiring pesatnya perkembangan wilayah, membuat makam para pahlawan itu seolah ‘terpinggirkan’ oleh kesibukan perniagaan komersial, tambah lagi, pertigaan Cisauk memang kondang akan kemacetan lalu-lintasnya. Alhasil, TMP di lokasi titik pertempuran Pahlawan Seribu itu pun dipindahkan ke tempatnya yang sekarang.
Pemindahan ini tak urung menimbulkan kontroversi. Salah satunya, seperti dituturkan salah seorang saksi mata sekaligus pelaku sejarah pertempuran Pahlawan Seribu yaitu Pak Mahadi bin Bantoet (akrab disapa Pak Oyot) yang terlahir pada 20 Februari 1917. “Untuk peristiwa Pahlawan Seribu, titik pertempuran terjadi tepat di kawasan pertigaan Cisauk. TKR atau Tentara Keamanan Rakyat belum ada, jadi perlawanan yang dilakukan bersifat semangat kedaerahan dan lokal. Pada umumnya laskar atau kelompok perlawanan rakyat yang datang menyerbu Belanda di daerah ini datang dari Banten yang berasal dari daerah Madja, Tejo dan sekitar Rangkas Bitung,” urai Pak Oyot seperti pernah dimuat SerpongKita.com.
Pada malam harinya, lanjut Pak Oyot, setelah pertempuran yang berlangsung selama satu hari dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam itu, Serpong benar-benar sepi dan sunyi. Warga banyak yang pergi karena ketakutan. “Tapi, saya dan almarhum Jaro Arsyad mulai mengumpulkan dan mengubur jenazah. Jenazah berjumlah 147. Dan dimakamkan ke dalam tiga liang lahat. Kemudian 3 jenazah dimakamkan terpisah oleh warga,” tuturnya sembari menambahkan bahwa setelah keadaan kembali normal, para warga membuat sebuah tugu peringatan yang dibangun secara swadaya. “Tapi saya prihatin. Tugu tersebut saat ini semakin tertutup diantara para pedagang yang berjajar di pertigaan Cisauk”.
[caption id="attachment_305833" align="aligncenter" width="560" caption="TMP Seribu Serpong kini semakin terawat dengan baik, seiring dengan telah dibangunnya pagar tembok yang mengelilingi lokasi pemakaman ini. (Foto: Dokpri)"]
[caption id="attachment_305834" align="aligncenter" width="560" caption="Tak ada keterangan nama di papan kayu nisan, tanpa dilengkapi topi baja, tak ada simbol kepahlawanan seperti misalnya bambu runcing dan lainnya, tapi makam di TMP Seribu Serpong ini tetap terlihat suci, gagah dan sederhana. (Foto: Dokpri)"]
[caption id="attachment_305836" align="aligncenter" width="560" caption="Pagar bangunan lain di luar sisi kiri tembok pembatas makam milik orang lain, nampak terlihat sudah dalam kondisi yang miring. (Foto: Dokpri)"]
[caption id="attachment_305839" align="aligncenter" width="560" caption="Disinilah bersemayam jasad para pahlawan Pertempuran Seribu, sekaligus menjadi saksi atas perlawanan rakyat Banten terhadap penjajah kolonial Belanda. (Foto: Dokpri)"]
o o o O o o o
Masih di seputaran Tangerang Selatan, click tulisan sebelumnya:
Wajah-Wajah Tegar Dari Hutan Kota 2 BSD City
http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/29/wajah-wajah-tegar-dari-hutan-kota-2-bsd-city-612250.html
Pesan Dari Situ Gintung untuk HUT ke-5 Kota Tangsel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H