[caption id="attachment_341972" align="aligncenter" width="614" caption="THEATRE. Beginilah ruangan bioskop mini di Museum of Marketing 3.0, Ubud, Bali. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]
“Silakan Pak, ada tombol merah di sisi kiri dekat pintu masuk bioskopnya, tekan saja tombolnya, dan nikmati tayangan filmnya,” ujar salah seorang staf penerima tamu kepada saya dengan nada ramah, Kamis siang, 5 Juni kemarin.
Tombol merah? Nonton bioskop? Tekan sendiri? Weleh-weleeeh, bioskop apa ini? Asyik juga kayaknya ...
Saya pun melaksanakan titah tersebut. Tombol merah, saya tekan. Sekejap kemudian, film tertayang di layar besar. Tak hanya tombol merah untuk menayangkan film yang saya pencet, bahkan saklar putar untuk meredupkan lampu ruangan bioskop pun, saya putar posisinya sedemikian rupa. Sempurna! Film mulai tayang, lampu sudah redup, penyejuk ruangan berfungsi maksimal. Saya pun menikmati tayangan film berdurasi sekitar 15 menit ini. Meski tempat duduknya yang ‘hanya’ terbuat dari bilah potongan kayu gelondongan besar dan kurang nyaman diduduki, lengkap tanpa sandaran punggung dan tanpa sandaran lengan, tapi hal ini tak mampu mengurangi kekhusyukan saya memelototi adegan demi adegan filmnya.
Uniknya, selama tayangan film ini diputar, saya tak perlu bersusah-payah membaca teks terjemahan conversation seperti biasa, karena di kanan dan kiri layar lebar, ada dua orang pemandu film, laki dan perempuan mengenakan busana tradisional, yang memberi penjelasan mengenai alur tayangan dan kandungan inti materi. Tapi, sepasang pemandu film ini tidak tampil secara nyata, keduanya hanya muncul dalam layar yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan layar lebar utama. Duuh, senangnya nonton film ‘didampingi’ kedua pemandu ini.
[caption id="attachment_341974" align="aligncenter" width="614" caption="MUSEUM OF MARKETING 3.0. Inilah Museum Puri Lukisan di Ubud, Bali, tempat dimana Museum of Marketing 3.0 berada, persisi di sisi kiri, atau gedung beratap hijau muda kekuningan itu. (Foto: Gapey Sandy)"]
Lantas apa sih cerita filmnya?
Sebuah pertanyaan penasaran yang menarik. Film pendek ini mengetengahkan sejumlah contoh kampanye pemasaran atau periklanan yang meraih sukses di mancanegara. Sebut saja misalnya, iklan televisi Coke (1971), dan Apple Macintosh (1984), serta kampanye periklanan program RED yang mengumpulkan dana dari para relawan melalui Global Fund untuk memerangi wabah penyakit HIV/AIDS di berbagai negara seperti Ghana, Kenya, Lesotho, Rwanda, Afrika Selatan, Swaziland, Tanzania, dan Zambia.
Iklan televisi Coke berjudul I’d Like to Buy the World a Coke and Keep It Company pertama kali ditayangkan di Eropa. Mendapat sambutan hangat, lalu iklan televisi ini mulai merambah Amerika Serikat pada Juli 1971. Hasilnya? Luar biasa! Hanya dalam tempo lima bulan, produsen Coca-Cola telah menerima kiriman lebih dari seratus ribu surat dari publik yang mengapresiasi iklan tersebut. Bahkan sejumlah stasiun radio, diminta oleh para pendengarnya untuk memutar berulang kali jingle iklan Coke. Tak pelak, jitunya tayangan iklan dan strategi pemasaran yang mumpuni, telah menggugah dunia untuk ber-’Coke’. Iklan yang diproduksi oleh Billy Davis ini pun dianggap sebagai iklan terbaik sepanjang masa dengan popularitas yang abadi.
Berdasarkan permintaan publik, jingle iklan Coke ini kemudian dirilis ulang tanpa mereferensikan produk Coke. Dan hasilnya? Sudah bisa ditebak, single lagu ini kemudian laris di tanggal-tangga lagu hits mancanegara. Bahkan pada tahun 1971 itu pula, single ini sukses menduduki tangga pertama di Britania Raya, dan posisi ketujuh di Amerika Serikat. Hebatnya lagi, Coca-Cola Company menolak untuk menerima pemberian royalti atas lagu ini, dan sebaliknya, mereka malah menyumbangkan dana sebesar US$ 80.000 kepada UNICEF.
[caption id="attachment_341975" align="aligncenter" width="614" caption="HUMAN SPIRIT. Suasana di dalam Museum of Marketing 3.0. Kampanye pemasaran yang sukses atas sejumlah brand produk dan bertalian dengan aspek human spirit, dapat disaksikan di museum yang terletak di Ubud, Bali ini. (Foto: Gapey Sandy)"]