Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kompasianers Berselimut Kabut di Candi Ceto

24 Juni 2014   05:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_344409" align="aligncenter" width="614" caption="DI CANDI CETO. Sebagian rombongan Kompasianers berfoto dulu di Candi Ceto. Kiri ke kanan: Joshua Limyadi, Dwi Suparno, Adian Saputra, Ika Pramono (Agency), Tubagus Encep, Shulhan Rumaru (Admin Kompasiana), Gapey Sandy, Thamrin Sonata, Agatha Nirbanawati (Deltomed). (Dokpri. Fotografer: Pendi Kuntoro)"][/caption]

Pasca penjurian blog competition Kuldon Sariawan sesi kedua di Kompasiana, terdapat sepuluh Kompasianers yang berhak memenuhi undangan khusus dari dan untuk berkunjung langsung ke pabrik PT Deltomed Laboratories di Wonogiri, Jawa Tengah. Perjalanan selama dua hari ini diawali dengan terbang menggunakan Lion Air JT 536 pada (Jumat, 13 Juni 2014), dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Bandara Adi Soemarmo, Solo (Surakarta). Lalu keesokan malamnya (Sabtu, 14 Juni 2014), bergerak dari Stasiun Solo Balapan, Kompasianers kembali ke Stasiun Gambir, Jakarta, dengan menumpang Kereta Api Eksekutif Argo Dwipangga.

Kesepuluh Kompasianers tersebut adalah Adian Saputra, Dzulfikar Al-A’la, Dwi Suparno alias Nfkaafi, Vita Sophia Dhini, Ngesti Setyo Moerni, Tubagus Encep, Thamrin Sonata, Ben Baharuddin Nur, Joshua Limyadi, dan penulis sendiri, Gapey Sandy. Sedangkan dua admin Kompasiana yang memimpin rombongan adalah Pendi Kuntoro dan Shulhan Rumaru.

[caption id="attachment_344410" align="aligncenter" width="614" caption="PABRIK DELTOMED. Menimba wawasan dan keilmuan produk herbal. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403533702221139406
1403533702221139406
[/caption]

Ibarat menimba ilmu dan menambah wawasan baru, selama berada di pabrik Deltomed, banyak hal yang dapat ditelaah Kompasianers. Terutama mengenai proses pembuatan produk obat herbal yang bahan bakunya berasal dari beraneka tanaman obat yang dikeringkan (simplisia) untuk kemudian diekstak, dan diproses sesuai persyaratan teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) hingga pengemasan. Selain itu, Kompasianers juga menyaksikan secara langsung, bagaimana proses Quality Control yang senantiasa dilakukan pada setiap tahapan proses di pabrik Deltomed, sehingga produk jadi yang dihasilkannya benar-benar higienis dan bermutu tinggi.

Reportase lengkap selama Kompasianers melakukan factory visit tersebut dapat dibaca melalui dua tulisan bersambung: Kompasianers Kunjungi Pabrik Deltomed di Wonogiri (1) dan (2). Atau, melalui komputer, silakan click tayangan VIDEO-nya melalui link ini: http://www.youtube.com/watch?v=H3y8pL5TAM0&feature=youtu.be

[caption id="attachment_344411" align="aligncenter" width="378" caption="ES MARUK JENAR. Primadona minuman pilihan pendamping makan malam. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035338891296512762
14035338891296512762
[/caption]

[caption id="attachment_344412" align="aligncenter" width="606" caption="MAKAN MALAM DI GOELA KLAPA. Kompasianers menikmati santap malam lengkap dengan minuman segar Es Maruk Jenar di kawasan Manahan, Solo. Kiri ke kanan: Ben Baharuddin Nur, Thamrin Sonata, Adian Saputra, dan, Pendi Kuntoro (Admin Kompasiana). (Foto: Gapey Sandy)"]

14035340091512388608
14035340091512388608
[/caption]

Malam harinya, usai beristirahat sejenak di penginapan, Griya Teratai Luxury Guesthouse & Spa yang berlokasi di bilangan Mangkubumen, Solo, Kompasianers menuju Goela Klapa, sebuah restoran yang antara lain mengusung filosofi kudapan Authentic Indonesia Cuisine dan berada di kawasan Manahan, Solo. Dilihat dari luar, restoran yang diresmikan oleh Walikota Surakarta Ir H Joko Widodo pada 2 Oktober 2009 ini bak rumah mewah pada umumnya, lengkap dengan space lobby dan air mancur berukuran medium di halaman depan. Hampir tidak berkesan seperti rumah makan. Tapi, begitu Kompasianers masuk ke dalam, suasana cozy langsung terasa, ditingkahi denting sendok yang beradu dengan piring di setiap sudut ruangan. Sejumlah tamu tampak tengah asyik menikmati santap malamnya.

Khusus menjamu rombongan Kompasianers ini, rupanya Mbak Agatha Nirbanawati dan Mbak Ika Pramono selaku Group Head dari salah satu agency terkemuka nasional, telah memesan ruang khusus, lengkap dengan menu spesial sate ayam, sate seafood, capcay, ikan gurame goreng yang crunchy, lengkap dengan semangkuk fresh chicken soup. Yang menarik, kebanyakan Kompasianers sepakat untuk sama-sama memesan minuman dengan nama lokal yang paling membuat kepo. Apalagi, kalau bukan Es Maruk Jenar, yang sebenarnya merupakan perpaduan antara madu, jus jeruk, dan air soda. “Enggak salah pilih, ini mantap rasanya,” ujar Adian Saputra, Kompasianer asal Lampung, sembari menyeruput Es Maruk Jenar.

[caption id="attachment_344413" align="aligncenter" width="614" caption="KOPI DARAT DI SOLO. Kompasianers asal Solo berdatangan, bersilaturahim, kopi darat di lobby tempat penginapan Griya Teratai. Maturnuwun sanget. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035342331492083101
14035342331492083101
[/caption]

Sebenarnya, masih banyak minuman lain yang namanya cukup asing di telinga. Sebut saja misalnya, Mesem Dremboko (beras kencur, gula asam, dan sedikit garam), Es Goela Asem Koriwetan (asam dan gula kelapa), dan Tape Jeruk Gandhek Tangen (jus jeruk dengan tape fermentasi). Mungkin juga, karena tampilan Es Maruk Jenar yang paling mencolok bak primadona, lengkap dengan satu butir buah cherry merah di bibir gelas, tak salah kalau sebagian besar Kompasianers sepakat untuk memesannya.

Gandheng sampun tuwuk (lantaran sudah kenyang), tak ada alasan bagi Kompasianers untuk berlama-lama di lokasi dinner. Rombongan sepakat untuk segera kembali ke penginapan. Apalagi, sejak siang hari sudah tersiar kabar, kalau sejumlah Kompasianers yang bermukim di Solo, akan berjumpa wajah, kopi darat. Sesampainya di penginapan, benar saja, sejumlah Kompasianers lokal Solo sudah menunggu. Ada Mbak Niken Satyawati, Mas Stefanus Toni alias Tante Paku, Mbak Sugiastuti Sri, dan lainnya. Suasana gayeng (senang, gembira) terpancar dalam pertemuan malam itu di lobby penginapan. Foto bersama pun, tidak ketinggalan, ceklik! Alhamdulillah, senang sekali bisa kopdar dan berjabat tangan erat bersama Kompasianers asal Solo. Semoga persahabatan ini lestari adanya.

[caption id="attachment_344414" align="aligncenter" width="614" caption="SOLO BARU. Salah satu area di kawasan Soba, alias Solo Baru. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035344121824398643
14035344121824398643
[/caption]

Keesokan pagi, usai sarapan ala kadarnya, rombongan bersiap menuju Candi Ceto di Karanganyar. Dua kendaraan mini bus tanggung, dan satu city car berangkat beriringan. Sepanjang perjalanan, tak ada kemacetan sama sekali. Pembangunan fisik kota batik ini memang cukup bergeliat, ada fly over yang belum kelar pembuatannya, banyak tugu/patung dibangun sebagai tenger (penanda) area, pusat perbelanjaan bonafide bermunculan, ruko-ruko semakin berjajar, lengkap dengan tempat-tempat makan dan lokasi-lokasi hiburannya. Pemandangan seperti ini, utamanya terlihat di kawasan Solo Baru (Soba). Kalau coba dibayangkan, Soba dikembangkan mirip-mirip dengan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) City di Kota Tangerang Selatan, Banten.

Tak hanya itu, bahkan Soba juga mengusung tagline sebagai Kawasan Mandiri atau Kota Satelit, yang sudah barang tentu memanjakan seluruh warganya dengan beragam fasilitas. Mulai dari dealer kendaraan bermotor, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hotel, tempat rekreasi, sekolah, perkantoran dan perbankan, juga kuliner. Dengan kelengkapan fasilitas seperti ini, pihak pengembang Soba tentu saja menawarkan pula bermacam pilihan tempat hunian.

[caption id="attachment_344415" align="aligncenter" width="614" caption="KEBUN TEH. Pemandangan seperti ini mendominasi perjalanan mendaki ke Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035345052069275483
14035345052069275483
[/caption]

Seperti yang termuat dalam situs solobaru.com, sejumlah perumahan yang dimaksud misalnya, Olive Residence (yang terdiri dari tipe bangunan dua lantai dengan luas bangunan 165 m2, 235 m2, dan 295 m2), Brooklyn Residence, New Orchid, Jasmine, dan Cendana Square (yang disebut-sebut sebagai Malioboro-nya Solo). Soba sendiri dibangun di areal seluas 200 hingga 250 hektar, dan ke depan, pengembangan Soba akan semakin menarik karena telah terdapat rencana pengembangan Solo Raya yang akan menyambungkan antara Kota Solo dengan kota-kota lain di sekelilingnya dalam satu kesatuan.

Usai melintasi Kawasan Mandiri Solo Baru, tepatnya di Jalan Ir Soekarno (Jalan Solo Wonogiri), rombongan terus menuju ke arah Karanganyar dengan melintasi kawasan Palur, Karangpandan, Jalan Lawu, Terminal Wisata Ngargoyoso, dan selanjutnya mendaki jalan beraspal di kaki dan lereng Gunung Lawu. Kalau ditilik dari googlemap, jarak dari lokasi penginapan Griya Teratai di Mangkubumen (Solo), ke Candi Ceto (Karanganyar) adalah kurang dari 60 km, atau bila menggunakan mobil, perjalanan hanya membutuhkan waktu satu jam lebih sembilan menit. Tapi nyatanya, karena medan perjalanan mendaki kaki dan lereng Barat Gunung Lawu cukup ekstrem dengan kelokannya yang mengular tajam, dan sudut kemiringan yang curam, rasanya perjalanan menjadi lebih lama lagi.

[caption id="attachment_344416" align="aligncenter" width="538" caption="DUSUN CETO. Kabut yang menggelayuti Dusun Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035345701715015725
14035345701715015725
[/caption]

Di kiri kanan perjalanan menuju Candi Ceto, Karanganyar, kebun-kebun teh menghampar bak karpet alam dengan gradasi warna hijau muda kepada hijau tua. Saat melintas dapat dijumpai pula lahan perkebunan milik warga. Aneka tanaman sayur terlihat subur, seperti lobak, cabai, tomat, dan bawang. Sesekali nampak para wanita pemetik daun teh yang tengah bekerja dengan tangan terampilnya di balik rerimbunan pohon teh yang kerdil. “Perjalanan mendaki terus, sedangkan suhu udara di luar sudah terasa sejuk. Lebih baik AC mobil dimatikan saja, jendela dibuka, sekaligus untuk menambah power mobilnya karena jalanan makin menanjak,” saran Thamrin Sonata, Kompasianer yang punya banyak pengalaman dan cerita mengenai Solo beserta gemerlapnya.

Butuh skill yang memadai bagi sang supir untuk mendaki lereng Gunung Lawu menuju Candi Ceto. Meskipun, begitu sampai pada ujung pendakian, hati terasa plong, lega. Mobil mini bus kedua, yang berisi rombongan di belakang kami pun menyusul tiba di pelataran parkir yang letaknya tak jauh dari loket penjualan tiket masuk dan gapura Candi Ceto. TAPI, KEMANA MOBIL WARNA PUTIH YANG MEMBAWA ROMBONGAN KAMI LAINNYA? Butuh waktu juga untuk menunggu rombongan ini sampai di ujung puncak pendakian ini. Apa yang terjadi?

[caption id="attachment_344417" align="aligncenter" width="614" caption="MENEMBUS KABUT. Komunitas bikers sukses menembus kabut dan mencapai ujung pendakian Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035346411707738998
14035346411707738998
[/caption]

[caption id="attachment_344418" align="aligncenter" width="410" caption="BIRU NAN GAGAH. Kompasianer Ngesti Setyo Moerni tak mau kalah, menjajal medan terjal dari atas jok sepeda motor. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403534682460266490
1403534682460266490
[/caption]

Jawaban belum kunjung kami peroleh. Malah serombongan komunitas penggemar sepeda motor yang justru tiba di akhir pendakian bagi kendaraan bermotor. Para bikers ini mengendarai sepeda motor berukuran besar, dengan lampu besar yang menyala terang guna menembus kabut di lereng Gunung Lawu yang terus menebal.

Syukurlah, tak berapa lama kemudian, rombongan ketiga yang menumpang mobil putih ini sampai juga ke tempat kami menunggu di dekat loket penjualan tiket masuk. Tapi yang mengherankan, nampak anggota rombongan ini yaitu Mbak Ika Pramono selaku group head di sebuah agency terkemuka nasional, dan Mbak Agatha Nirbanawati sebagai Asisten Direktur PT Deltomed Laboratories justru terlihat berjalan kaki, dan nampak bernapas agak tersengal, lantaran harus mendaki. TERUS, KEMANA MOBILNYA? Jawaban meluncur dari Mbak Ika sambil ngos-ngosan, “Mobilnya enggak kuat nanjak. Terpaksa, untuk ngurangi beban, kita-kita turun dari mobil, dan jalan kaki”.

[caption id="attachment_344419" align="aligncenter" width="614" caption="LHO, MOBILNYA MANA? Karena mobilnya tak kuat menanjak, terpaksa Mbak Ika dan Mbak Agatha turun dari mobil dan melanjutkan pendakian, menembus kabut dengan berjalan kaki, tentu saja sambil ngos-ngosan. Nasiiibbbb ... (Foto: Gapey Sandy)"]

14035349081223258124
14035349081223258124
[/caption]

Meski akhirnya mobil berwarna putih itu sampai juga ke ujung pendakian, untuk kemudian parkir bersama dua minibus yang sudah lebih dahulu tiba, tapi salah seorang supir minibus rombongan kami memang mengatakan, mobil dengan tipe transmisi automatic kurang dapat diandalkan untuk melakukan perjalanan mendaki dengan tanjakan yang berkelok tajam dan curam, seperti pendakian menuju ke Candi Ceto ini.

Setelah rombongan lengkap, tiket masuk pun diborong Mbak Agatha. Di kaca layanan tiket tertera harga Rp 3.000 untuk pengunjung asal domestik, dan Rp 10.000 bagi pengunjung asal mancanegara. Rombongan kemudian mulai mendaki anak tangga menuju gapura Candi Ceto yang menjulang dan terbuat dari susunan serta pahatan batu hitam. Cukup tinggi juga tangga pada undakan awal ini, meski begitu, semangat untuk melihat apa saja yang ada di ‘atas’, tepatnya di dalam area Candi Ceto mampu mengalahkan lelah dan pegalnya kedua kaki.

[caption id="attachment_344420" align="aligncenter" width="614" caption="BERSELIMUT KABUT. Informasi sekaligus papan peringatan bahwa Candi Ceto adalah Cagar Budaya yang dilindungi. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403534969532521173
1403534969532521173
[/caption]

[caption id="attachment_344421" align="aligncenter" width="410" caption="MAGNET WISATA. Sepasang turis mancanegara didampingi guide menaiki anak tangga melewati gapura Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035350901228495691
14035350901228495691
[/caption]

Menjelang masuk gapura, di sisi kiri terdapat papan peringatan bagi pengunjung. Tepatnya, informasi sekaligus peringatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, yang intinya menegaskan bahwa, Candi Ceto adalah salah satu cagar budaya yang dilindungi. Sehingga, berdasarkan UU RI No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, “Setiap orang dilarang untuk merusak, mencuri, memindahkan dan / atau memisahkan Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya dari kesatuan, kelompok dan / atau letak asal (pasal 66 dan 67). Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana penjara dan / atau denda (pasal 105, 106 107, dan 108)”.

[caption id="attachment_344422" align="aligncenter" width="426" caption="SAAT PENGGALIAN. Beginilah kondisi saat penggalian Candi Ceto pada tahun 1928. (Repro: Papan informasi di Candi Ceto)"]

1403535151876897813
1403535151876897813
[/caption]

[caption id="attachment_344423" align="aligncenter" width="614" caption="SAAT INI. Simbol Phallus, ditafsirkan sebagai simbol penciptaan manusia. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035351982142986707
14035351982142986707
[/caption]

Candi Ceto, menurut literatur dan foto-foto yang terpampang pada sisi sebelah kanan gapura, disebut sebagai candi bercorak agama Hindu, dan pembangunannya diprediksi pada masa-masa akhir era Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu, pada ketinggian 1.496 m di atas permukaan laut, tepatnya secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Biasanya, candi ini selalu digunakan oleh penduduk sekitar dan peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan, juga tempat bersemedi bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa, Kejawen.

[caption id="attachment_344424" align="aligncenter" width="614" caption="DI ATAS PERMUKAAN TANAH. Batu-batu yang tertata mirip seperti burung yang tengah mengepakkan sayap. Pada batu tersebut, banyak terpahat simbol binatang, sang surya Majapahit, dan sebagainya. (Foto: Gapey Sandy)"]

140353526570610708
140353526570610708
[/caption]

[caption id="attachment_344425" align="aligncenter" width="614" caption="SUKA GAJAH. Aku suka gajah, kata Mbak Agatha Nirbanawati sambil berpose dekat patung kecil berbentuk gajah itu. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035354421577109905
14035354421577109905
[/caption]

Adalah van de Vlies, pada tahun 1824, yang pertama kali melaporkan secara ilmiah mengenai Candi Ceto. Lalu A.J.Bernet Kempers, kemudian juga melakukan penelitian. Akhirnya, pada 1928, Dinas Purbakala Hindia Belanda melakukan proses penggalian demi merekonstruksi dan menemukan lebih banyak lagi obyek-obyek yang terpendam.

[caption id="attachment_344426" align="aligncenter" width="614" caption="KURA-KURA. Simbol kura-kura ini, konon melambangkan penciptaan alam semesta. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035355662126213705
14035355662126213705
[/caption]

[caption id="attachment_344427" align="aligncenter" width="614" caption="SURYA MAJAPAHIT. Diduga kuat, inilah lambang Kerajaan Majapahit. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035356611369507915
14035356611369507915
[/caption]

Saat ini, kompleks Candi Ceto terdiri atas sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura yang berbentuk candi bentar, dan mirip tanduk besar, dapat dijumpai dua pasang arca penjaga. Aras (teras) pertama sesudah gapura masuk (yakni teras ketiga) adalah halaman candi. Teras kedua masih berupa halaman, dan pada teras ketiga terdapat petilasan leluhur masyarakat Dusun Ceto, Ki Ageng Krincingwesi.

[caption id="attachment_344437" align="aligncenter" width="410" caption="MEMPELAJARI SEJARAH. Arca tanpa kepala, dan Kompasianer Tubagus Encep yang gemar mempelajari lekukan pahatan batu arca. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403536494940068465
1403536494940068465
[/caption]

[caption id="attachment_344438" align="aligncenter" width="614" caption="DUA ARCA. Kompasianer Thamrin Sonata diantara dua arca. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035366831538047596
14035366831538047596
[/caption]

[caption id="attachment_344439" align="aligncenter" width="614" caption="KABUT. Diantara patung dan arca, serta kabut Candi Ceto yang selalu membuat kangen. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403536764708042301
1403536764708042301
[/caption]

Pada teras ketujuh, tepatnya di dindin kanangapura terdapat tulisan pada batu dengan aksara Jawa Kuno yang bertuliskan pelling padamel irikang buku tirtasurya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397. Penafsiran dari inskripsi ini adalah fungsi candi sebagai tempat menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yakni 1397 Saka atau 1475 Masehi.

[caption id="attachment_344429" align="aligncenter" width="614" caption="RELIEF. Salah satu relief unik dengan gambar orang terbalik. Kenapa terbalik ya? (Foto: Gapey Sandy)"]

140353577732291406
140353577732291406
[/caption]

[caption id="attachment_344440" align="aligncenter" width="614" caption="RELIEF. Pada jajaran batu terdapat relief yang berkisah. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403537382624712770
1403537382624712770
[/caption]

Di teras ketujuh ini juga terdapat banyak sekali batu-batu yang ditata mendatar di atas permukaan tanah, dan menggambarkan kura-kura raksasa. Ada juga batu yang dipahat menyerupai surya Majapahit – ada yang menafsirkan sebagai lambang Kerajaan Majapahit --, simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang dua meter lengkap dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Phallus, ditafsirkan sebagai simbol penciptaan manusia. Adapun kura-kura dianggap sebagai lambang penciptaan alam semesta. Selain itu, ada pula pahatan batu berbentuk simbol-simbol hewan, seperi katak, ketam dan lainnya. Simbol-simbol hewan yang ada ini, dapat dimaknai sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 Masehi.

[caption id="attachment_344430" align="aligncenter" width="614" caption="JAGA KESOPANAN. Himbauan untuk berlaku sopan dan tidak mencorat-coret batu maupun kayu di Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403535875482196515
1403535875482196515
[/caption]

[caption id="attachment_344431" align="aligncenter" width="614" caption="TANGAN JAHIL. Meski rambu agar pengunjung menjaga kesopanan dan dilarang mencorat-coret sudah dipasang, namun coretan di kayu yang ada di Candi Ceto tetap saja dilakukan oleh tangan jahil. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403535955677467295
1403535955677467295
[/caption]

Di teras selanjutnya, dijumpai jajaran batu pada dua sisi yang bersebelahan. Batu berpahat ini memuat relief cuplikan kisah Sudamala. Kisah ini cukup populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Nah, dua teras berikutnya berbeda dengan suasana di teras bawah, karena terdapat bangunan-bangunan pendopo yang mengapit jalan masuk candi. Pendopo-pendopo ini masih difungsikan manakala berlangsung upacara keagamaan. Sayangnya, meski sudah ada peringatan untuk bebicara dan berlaku sopan, serta tidak mencorat-coret batu maupun kayu yang ada di area candi, namun masih saja ada tangan jahil yang melakukannya.

[caption id="attachment_344432" align="aligncenter" width="410" caption="POSE JOSHUA. Kompasianer Joshua Limyadi menjadi foto model dadakan. (Foto: Gapey Sandy)"]

1403536097802954410
1403536097802954410
[/caption]

[caption id="attachment_344433" align="aligncenter" width="614" caption="HENING. Gapura dan keheningan di Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035361901609413345
14035361901609413345
[/caption]

Teras ke sembilan adalah yang paling tinggi, dan menjadi tempat untuk memanjatkan doa-doa. Di sini terlihat bangunan batu berupa kubus yang terlilit bendera merah putih. Merinding juga melihatnya, tepat di pucuk warisan leluhur di lereng Barat Gunung Lawu, merah putih gagah terpasang, membanggakan!

[caption id="attachment_344434" align="aligncenter" width="614" caption="TERTINGGI. Area bangunan candi di teras tertinggi. (Foto: Gapey Sandy) "]

1403536279529139173
1403536279529139173
[/caption]

[caption id="attachment_344435" align="aligncenter" width="614" caption="MERAH PUTIH. Bangunan kubus di puncak tertinggi candi dibalut bendera Merah Putih. (Foto: Gapey Sandy)"]

14035363611125275721
14035363611125275721
[/caption]

Puas menjelajahi Candi Ceto hingga ke teras paling tinggi, sebagian rombongan memutuskan untuk segera kembali turun dan menuju kendaraan. Sembari menanti Kompasianers lainnya turun, di warung kecil dekat mobil terparkir, saya memesan segelas kopi susu. Lantaran hawa dingin yang menerpa, baru saja kopi susu panas terhidang di meja kayu, dalam tempo sangat singkat, langsung berubah menjadi dingin. Srupuuuttttt ... aaahhhhh, pancen yummy!

***********************************************************************

VIDEO Kompasianers Berselimut Kabut di Candi Ceto, click: http://youtu.be/puYj4OkRv-0

***********************************************************************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun