[caption id="attachment_349664" align="aligncenter" width="567" caption="Dari kiri ke kanan: Arief Hartawan (Bank Indonesia), Sartono (Kemenko Perekonomian), Heru Margianto (Moderator), Widodo Sigit Pudjianto (Kemendagri), dan Ferry Irawan (Kemenkeu). (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]
Pada H-4 menjelang Hari Raya Idul Fitri 1435 H ini, tayangan berita siang MetroTV sempat menampilkan reportase langsung dari salah satu pasar di ibukota. Wartawati televisi ini yang mengenakan kemeja biru berlogo burung elang, mewawancarai seorang ibu yang baru saja berbelanja. Liputan langsung model vox pop ini mengusung tema, melambungnya harga sejumlah bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat di pasar. Dengan lancar, si ibu yang menjadi narasumber menuturkan, harga ayam kampung yang mengalami kenaikan, dari sebelumnya Rp.65.000 menjadi Rp.80.000. Sedangkan harga kacang panjang, yang biasanya Rp.5.000 seikat, menjadi Rp.7.000. Kenaikan harga juga terjadi pada cabe, bumbu-bumbu, dan sejumlah komoditi lainnya.
Di jejaring media sosial seperti Facebook pun, kenaikan harga barang-barang pada saat bulan suci Ramadhan, dan menjelang Idul Fitri menjadi pertanyaan sebagian facebookers. Seperti misalnya, status yang ditulis oleh empunya akun Arnes Yudistira Tarek, seminggu sebelum Lebaran. Arnes menulis keheranannya, “Padahal lagi puasa … lah napa harga makanan pada naek? Padahal mau Lebaran banyak yang beli baju … lah napa harga baju banyak yang discount??” Sementara pemilik akun Facebook di Yogyakarta bernama Larastiti Melati menulis, “H-4 … blusukan di Pasar Ngasem … sing murah mung Lombok karo garam … qiqiqi …!!”
[caption id="attachment_349676" align="aligncenter" width="461" caption="Status yang mengeluhkan kenaikan harga pangan di Facebook akun Arnes Yudhistira Tarek. (Foto: Screenshot FB)"]
[caption id="attachment_349672" align="aligncenter" width="436" caption="Satu status Facebook yang menginformasikan stabilnya harga cabe dan garam di Pasar Ngasem, Yogyakarta. (Foto: Screenshot FB)"]
Fakta mengenai kenaikan harga bahan-bahan pokok menjelang Hari Raya Idul Fitri, sebenarnya sudah kurang bernilai berita (news value). Maklum, kenaikan harga pada momentum seperti saat ini, biasa terjadi setiap tahun. Malah ada guyonan yang mengatakan, “Enggak naik, enggak seru!” Sebuah guyonan bernada satire yang sebenarnya justru mengarah kepada semua pihak untuk mengoreksi rutinitas tahunan (kenaikan harga-harga) ini. Untuk Pemerintah, koreksinya adalah, mengapa bisa sampai terjadi kenaikan harga bahan-bahan pokok, yang terkadang lonjakannya hingga tak masuk akal? Sedangkan bagi pengusaha atau pedagang, sindirannya menuding secara halus, bahwa mereka “sukses memanfaatkan keadaan” untuk meraih laba lebih banyak dari biasanya. Adapun bagi kita, sebagai masyarakat konsumen—khususnya umat muslim---, kenaikan harga bahan-bahan pokok pada saat bulan suci Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, justru menimbulkan sebuah keheranan tersendiri. Pasalnya, mengapa justru di saat sedang berpuasa selama sebulan penuh, yang notabene mengurangi konsumsi makan-minum, tapi nyatanya justru kita berbelanja bahan-bahan kebutuhan pokok secara agak berlebihan dari biasanya di luar Ramadhan? Sungguh aneh, tapi nyata.
Begitulah, menjelang Lebaran, harga kebutuhan pokok berlomba-lomba untuk naik---nyaris tidak ada yang harganya turun---, dan sejalan dengan itu nilai uang dalam negeri praktis menjadi turun. Proses inilah yang dinamakan inflasi. Untuk memudahkan pengertian inflasi, simak saja penuturan salah seorang Kompasianer, pemilik akun Nur Terbit, yang mengeluhkan bahwa, sebelum bulan Ramadhan, dirinya biasa membeli mentimun di pasar dengan harga Rp.1.000 per tiga buah. “Tapi, memasuki bulan puasa, harga mentimun naik, atau Rp.1.000 cuma untuk satu mentimun,” ujar mantan wartawan pada Harian Sore Terbit ini dengan nada heran.
[caption id="attachment_349677" align="aligncenter" width="567" caption="Kompasianer, Nur Terbit, sedang mengajukan pertanyaan sekaligus mengeluhkan harga mentimun yang mengalami kenaikan. (Foto: Gapey Sandy)"]
Nur Terbit menyampaikan keluhan soal kenaikan harga mentimun ini pada acara Nangkring Bareng Kompasiana dan Bank Indonesia (BI) yang bertajuk Ramadhan & Lebaran Harga Stabil, pada Jumat, 11 Juli kemarin, di ruang press conference BI, Jalan MH Thamrin No.2, Jakarta Pusat. Ada empat pembicara pada acara yang diakhiri dengan berbuka puasa bersama ini. Mereka adalah, Arief Hartawan (Kepala Divisi Assesment Inflasi Departemen Kebijakan Moneter BI), Sartono (Asisten Deputi Urusan Ekonomi dan Keuangan Daerah Kementerian Koordinator Perekonomian), Widodo Sigit Pudjianto (Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri), dan Ferry Irawan (Kepala Bidang Analisis Moneter dan Lembaga Keuangan dari Kementerian Keuangan). Bertindak selaku moderator, Heru Margianto alias Embong (Wakil Redaktur Pelaksana kompas.com).
Inflasi, Antara Good News dan Shock
Menjadi pembicara pertama pada acara tersebut, Arief Hartawan menyampaikan kabar gembira mengenai angka inflasi. “Good news-nya, sampai dengan enam bulan berjalan--- Januari hingga Juni 2014---, angka inflasi kita baru 1,99%, atau kurang dari 2%. Kenapa ini merupakan kabar baik? Karena kalau kita melihat tahun 2013 kemarin, angka inflasi mencapai di atas 8%. Bahkan, kalau kita melihat lebih jauh lagi, sejak 10 tahun terakhir, good news-nya lagi adalah, angka inflasi kita trend-nya sudah turun,” tuturnya.
[caption id="attachment_349678" align="aligncenter" width="630" caption="Tabel Inflasi dan IHK Indonesia 2004-2009 Menurut Bulan. (Sumber: www.bps.go.id)"]
[caption id="attachment_349679" align="aligncenter" width="630" caption="(Sumber: www.bps.go.id)"]
Arief mengungkapkan, sejak sepuluh tahun terakhir, angka inflasi telah berkisar pada angka 5% hingga 6%. “Kalau pada masa Presiden sebelumnya, saya tidak perlu menyebutkan siapa namanya, angka inflasi kita biasanya sebesar 7 – 8%, maka dalam beberapa periode terakhir, angka inflasi kita sudah mencapai level 5 - 6%. Kecuali, pada tahun 2013 kemarin, yang memang terjadi episode kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM),” ujarnya.
Ciri khas atau karakteristik dari inflasi kita, lanjut Arief, selalu terdapat kejutan (shock). “Kalau shock, seperti misalnya akibat dari tekanan kenaikan harga BBM, ada shock dari pangan dan lainnya, maka langsung inflasi bergejolak. Nah, untuk tahun ini, alhamdulillah selama enam bulan pertama, relatif sepi shock-nya itu. Sehingga angka inflasi sangat rendah,” jelasnya penuh syukur.
Tetapi yang harus diwaspadai, tukas Arief, kalau dipertanyakan: Bagaimana angka inflasi pada tahun ini? “Maka, jawabannya adalah, resiko angka inflasi tersebut ada pada semester atau paruh kedua 2014 ini. Yaitu, pada saat ada kebijakan-kebijakan mengenai penyesuaian tarif dasar listrik dilakukan, juga kemungkinan dampak badai El Nino, persiapan menjelang bulan Agustus, dan lain sebagainya. Jadi, setiap kali ada shock, apakah itu dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah, atau pun dari pangan, seperti biasa, inflasi ini akan terpicu naik,” paparnya.
[caption id="attachment_349680" align="aligncenter" width="567" caption="Kiri: Arief Hartawan (Kepala Divisi Assesment Inflasi Departemen Kebijakan Moneter BI). Kanan: Sartono (Asisten Deputi Urusan Ekonomi dan Keuangan Daerah Kementerian Koordinator Perekonomian). (Foto: Gapey Sandy)"]
Untuk itulah, jelas Arief, pihaknya melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah. “Kami menyadari, sumber tekanan angka inflasi bukan hanya dari hal-hal yang bersifat moneter. Kalau dulu, kita belajar dari buku teks, hal tersebut dinamakan monetary phenomenon inflation, juga dari jumlah uang yang terlalu banyak beredar dan sebagainya. Tapi ternyata, faktanya, angka inflasi juga banyak disebabkan oleh hal-hal seperti gagal panen, musibah banjir, atau misalnya lagi, ada shock dari kenaikan harga BBM,” jelas Arief yang mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna coklat tua ini. “Inflasi nasional itu adalah agregasi dari kota-kota. Kami dari BI, tidak bisa jalan sendiri. Kami harus bergandengan-tangan dengan kementerian dan lembaga pemerintah yang lain,” tuturnya.
Sementara itu, Sartono dari Kemenko Perekonomian menguatkan pernyataan Arief Hartawan terkait kerjasama antar kementerian dan lembaga pemerintah, demi mengendalikan inflasi. “Diantaranya dengan membentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Ini sangat strategis, karena merupakan kolaborasi antara Kemenko Perekonomian, Kemendagri, dan BI. Konkretnya, menjelang bulan suci Ramadhan kemarin, Pokjanas telah menggelar rakor dengan sejumlah TPID, diantaranya dari Samarinda, Bengkulu, dan Depok (Jawa Barat). Kebetulan, tiga kota ini memiliki inflasi tinggi pada masa-masa menjelang Ramadhan,” paparnya.
Sartono menambahkan, bila dilihat dari beberapa indikator pangan, dalam rentang waktu antara 10 Juni – 10 Juli 2014, tidak banyak terjadi kenaikan harga, dalam arti stabil dan tidak seperti tahun sebelumnya. “Sampai Lebaran nanti, pasokan pangan cukup. Bahkan untuk daging, Rakor memutuskan agar pemasok daging melakukan impor daging, paling lambat sampai tanggal 24 Juni kemarin. Disadari, impor bahan-bahan kebutuhan masyarakat tentunya ada, tapi semua itu tergantung dari kekurangan ketersediaannya. Beras misalnya, dilakukan impor sampai sekitar 500 ribu ton. Sementara untuk komoditi lainnya, saya rasa tidak terlalu banyak impor,” terangnya.
[caption id="attachment_349681" align="aligncenter" width="567" caption="Kiri: Widodo Sigit Pudjianto (Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri). Kanan: Ferry Irawan (Kepala Bidang Analisis Moneter dan Lembaga Keuangan dari Kementerian Keuangan). (Foto: Gapey Sandy)"]
Kepala Daerah Harus Paham Inflasi
Dalam hal tanggung-jawab, untuk mengendalikan inflasi, menurut Widodo Sigit Pudjianto dari Kemendagri, tidak melulu merupakan dominasi Pemerintah Pusat. Karena ternyata, pemicu inflasi justru lebih besar berasal dari kebijakan daerah itu sendiri. “Pemerintah Pusat hanya mengatur persoalan yang besar-besar seperti keamanan, inflasi yang merupakan bagian dari moneter, yustisi, agama, dan lainnya. Itu, full tanggung-jawab Pemerintah Pusat. Urusan lain-lainnya, menjadi conquer atau tanggung-jawab bareng-bareng. Ada yang wajibnya urusan daerah, termasuk ketahanan pangan. Kenapa? Ternyata, inflasi itu, pemicunya adalah soal pangan, termasuk beras, cabe, dan sebagainya. Pemicu inflasi tidak hanya akibat faktor kebijakan Pusat, tapi juga kebijakan Daerah. Kira-kira, pemicunya bisa sampai 70 - 80%,” tuturnya.
Widodo mencontohkan, andaikata ada seorang bupati yang membiarkan jalan raya di wilayahnya rusak tanpa perbaikan segera, dampaknya bisa menciptakan inflasi juga. “Yang biasanya, distribusi pasokan bahan-bahan kebutuhan masyarakat hanya butuh waktu setengah jam, karena jalan rusak maka menjadi tiga jam, akibatnya cost pihak distributor menjadi bertambah. Misalnya lagi, seorang bupati di Ternate, Maluku Utara, apabila sudah dapat memprediksi bahwa lima bulan ke depan, ombak laut akan bergulung tinggi, tapi pasokan beras dari Pulau Jawa tidak serta-merta diantisipasi untuk segera dipasok, maka hal demikian juga dapat menciptakan inflasi,” urainya.
Contoh lain yang menggambarkan bahwa justru kebijakan pemerintah daerah yang memicu harga bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat menjadi naik, urai Widodo lagi, adalah soal pengadaan beras. “Katakanlah, Sumatera Selatan itu surplus beras, sementara Kawasan Bangka Belitung justru minus beras. Mustinya, beras tinggal “didorong” saja dari Sumsel ke Babel. Tapi ternyata tidak, beras harus “ditaruh” di Jakarta dulu, baru kemudian dikirim ke Babel. Perilaku seperti ini ‘kan membuat harga beras jadi semakin mahal. Contoh lain, wilayah Bantul dan Sleman yang memiliki beras berkualitas baik, tidak langsung mengirimkan beras untuk wilayah Kulonprogo dan Gunung Kidul, melainkan “harus” ke Jakarta dulu. Ada juga, contoh berikutnya yaitu masalah pasokan jagung. Kabupaten Blitar, membutuhkan jagung berkualitas tinggi untuk peternakan ayam, dan ternyata justru mendatangkan jagung tersebut dari NTB. Padahal, Kabupaten Nganjuk sebagai tetangganya, justru menjual jagung berkualitas baik ke Surabaya, bukannya ke Blitar yang notabene lokasinya lebih dekat. Kenapa begini? Ya, tugas kita sekarang untuk meluruskan perilaku demikian. Ke depan kami akan menerbitkan Permendagri untuk melakukan penguatan kerjasama antar daerah, dengan melakukan kerjasama antar kabupaten. Ini ke depan enggak boleh lagi seperti itu,” tegasnya.