Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengendalikan Harga, Menjangkar Inflasi

25 Juli 2014   23:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:13 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_349664" align="aligncenter" width="567" caption="Dari kiri ke kanan: Arief Hartawan (Bank Indonesia), Sartono (Kemenko Perekonomian), Heru Margianto (Moderator), Widodo Sigit Pudjianto (Kemendagri), dan Ferry Irawan (Kemenkeu). (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]

Pada H-4 menjelang Hari Raya Idul Fitri 1435 H ini, tayangan berita siang MetroTV sempat menampilkan reportase langsung dari salah satu pasar di ibukota. Wartawati televisi ini yang mengenakan kemeja biru berlogo burung elang, mewawancarai seorang ibu yang baru saja berbelanja. Liputan langsung model vox pop ini mengusung tema, melambungnya harga sejumlah bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat di pasar. Dengan lancar, si ibu yang menjadi narasumber menuturkan, harga ayam kampung yang mengalami kenaikan, dari sebelumnya Rp.65.000 menjadi Rp.80.000. Sedangkan harga kacang panjang, yang biasanya Rp.5.000 seikat, menjadi Rp.7.000. Kenaikan harga juga terjadi pada cabe, bumbu-bumbu, dan sejumlah komoditi lainnya.

Di jejaring media sosial seperti Facebook pun, kenaikan harga barang-barang pada saat bulan suci Ramadhan, dan menjelang Idul Fitri menjadi pertanyaan sebagian facebookers. Seperti misalnya, status yang ditulis oleh empunya akun Arnes Yudistira Tarek, seminggu sebelum Lebaran. Arnes menulis keheranannya, “Padahal lagi puasa … lah napa harga makanan pada naek? Padahal mau Lebaran banyak yang beli baju … lah napa harga baju banyak yang discount??” Sementara pemilik akun Facebook di Yogyakarta bernama Larastiti Melati menulis, “H-4 … blusukan di Pasar Ngasem … sing murah mung Lombok karo garam … qiqiqi …!!”

[caption id="attachment_349676" align="aligncenter" width="461" caption="Status yang mengeluhkan kenaikan harga pangan di Facebook akun Arnes Yudhistira Tarek. (Foto: Screenshot FB)"]

14062782821796286671
14062782821796286671
[/caption]



[caption id="attachment_349672" align="aligncenter" width="436" caption="Satu status Facebook yang menginformasikan stabilnya harga cabe dan garam di Pasar Ngasem, Yogyakarta. (Foto: Screenshot FB)"]

1406276605274188606
1406276605274188606
[/caption]

Fakta mengenai kenaikan harga bahan-bahan pokok menjelang Hari Raya Idul Fitri, sebenarnya sudah kurang bernilai berita (news value). Maklum, kenaikan harga pada momentum seperti saat ini, biasa terjadi setiap tahun. Malah ada guyonan yang mengatakan, “Enggak naik, enggak seru!” Sebuah guyonan bernada satire yang sebenarnya justru mengarah kepada semua pihak untuk mengoreksi rutinitas tahunan (kenaikan harga-harga) ini. Untuk Pemerintah, koreksinya adalah, mengapa bisa sampai terjadi kenaikan harga bahan-bahan pokok, yang terkadang lonjakannya hingga tak masuk akal? Sedangkan bagi pengusaha atau pedagang, sindirannya menuding secara halus, bahwa mereka “sukses memanfaatkan keadaan” untuk meraih laba lebih banyak dari biasanya. Adapun bagi kita, sebagai masyarakat konsumen—khususnya umat muslim---, kenaikan harga bahan-bahan pokok pada saat bulan suci Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, justru menimbulkan sebuah keheranan tersendiri. Pasalnya, mengapa justru di saat sedang berpuasa selama sebulan penuh, yang notabene mengurangi konsumsi makan-minum, tapi nyatanya justru kita berbelanja bahan-bahan kebutuhan pokok secara agak berlebihan dari biasanya di luar Ramadhan? Sungguh aneh, tapi nyata.

Begitulah, menjelang Lebaran, harga kebutuhan pokok berlomba-lomba untuk naik---nyaris tidak ada yang harganya turun---, dan sejalan dengan itu nilai uang dalam negeri praktis menjadi turun. Proses inilah yang dinamakan inflasi. Untuk memudahkan pengertian inflasi, simak saja penuturan salah seorang Kompasianer, pemilik akun Nur Terbit, yang mengeluhkan bahwa, sebelum bulan Ramadhan, dirinya biasa membeli mentimun di pasar dengan harga Rp.1.000 per tiga buah. “Tapi, memasuki bulan puasa, harga mentimun naik, atau Rp.1.000 cuma untuk satu mentimun,” ujar mantan wartawan pada Harian Sore Terbit ini dengan nada heran.

[caption id="attachment_349677" align="aligncenter" width="567" caption="Kompasianer, Nur Terbit, sedang mengajukan pertanyaan sekaligus mengeluhkan harga mentimun yang mengalami kenaikan. (Foto: Gapey Sandy)"]

14062784561775755313
14062784561775755313
[/caption]

Nur Terbit menyampaikan keluhan soal kenaikan harga mentimun ini pada acara Nangkring Bareng Kompasiana dan Bank Indonesia (BI) yang bertajuk Ramadhan & Lebaran Harga Stabil, pada Jumat, 11 Juli kemarin, di ruang press conference BI, Jalan MH Thamrin No.2, Jakarta Pusat. Ada empat pembicara pada acara yang diakhiri dengan berbuka puasa bersama ini. Mereka adalah, Arief Hartawan (Kepala Divisi Assesment Inflasi Departemen Kebijakan Moneter BI), Sartono (Asisten Deputi Urusan Ekonomi dan Keuangan Daerah Kementerian Koordinator Perekonomian), Widodo Sigit Pudjianto (Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri), dan Ferry Irawan (Kepala Bidang Analisis Moneter dan Lembaga Keuangan dari Kementerian Keuangan). Bertindak selaku moderator, Heru Margianto alias Embong (Wakil Redaktur Pelaksana kompas.com).

Inflasi, Antara Good News dan Shock

Menjadi pembicara pertama pada acara tersebut, Arief Hartawan menyampaikan kabar gembira mengenai angka inflasi. “Good news-nya, sampai dengan enam bulan berjalan--- Januari hingga Juni 2014---, angka inflasi kita baru 1,99%, atau kurang dari 2%. Kenapa ini merupakan kabar baik? Karena kalau kita melihat tahun 2013 kemarin, angka inflasi mencapai di atas 8%. Bahkan, kalau kita melihat lebih jauh lagi, sejak 10 tahun terakhir, good news-nya lagi adalah, angka inflasi kita trend-nya sudah turun,” tuturnya.

[caption id="attachment_349678" align="aligncenter" width="630" caption="Tabel Inflasi dan IHK Indonesia 2004-2009 Menurut Bulan. (Sumber: www.bps.go.id)"]

14062785451824175240
14062785451824175240
[/caption]

[caption id="attachment_349679" align="aligncenter" width="630" caption="(Sumber: www.bps.go.id)"]

14062786582139326774
14062786582139326774
[/caption]

Arief mengungkapkan, sejak sepuluh tahun terakhir, angka inflasi telah berkisar pada angka 5% hingga 6%. “Kalau pada masa Presiden sebelumnya, saya tidak perlu menyebutkan siapa namanya, angka inflasi kita biasanya sebesar 7 – 8%, maka dalam beberapa periode terakhir, angka inflasi kita sudah mencapai level 5 - 6%. Kecuali, pada tahun 2013 kemarin, yang memang terjadi episode kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM),” ujarnya.

Ciri khas atau karakteristik dari inflasi kita, lanjut Arief, selalu terdapat kejutan (shock). “Kalau shock, seperti misalnya akibat dari tekanan kenaikan harga BBM, ada shock dari pangan dan lainnya, maka langsung inflasi bergejolak. Nah, untuk tahun ini, alhamdulillah selama enam bulan pertama, relatif sepi shock-nya itu. Sehingga angka inflasi sangat rendah,” jelasnya penuh syukur.

Tetapi yang harus diwaspadai, tukas Arief, kalau dipertanyakan: Bagaimana angka inflasi pada tahun ini? “Maka, jawabannya adalah, resiko angka inflasi tersebut ada pada semester atau paruh kedua 2014 ini. Yaitu, pada saat ada kebijakan-kebijakan mengenai penyesuaian tarif dasar listrik dilakukan, juga kemungkinan dampak badai El Nino, persiapan menjelang bulan Agustus, dan lain sebagainya. Jadi, setiap kali ada shock, apakah itu dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah, atau pun dari pangan, seperti biasa, inflasi ini akan terpicu naik,” paparnya.

[caption id="attachment_349680" align="aligncenter" width="567" caption="Kiri: Arief Hartawan (Kepala Divisi Assesment Inflasi Departemen Kebijakan Moneter BI). Kanan: Sartono (Asisten Deputi Urusan Ekonomi dan Keuangan Daerah Kementerian Koordinator Perekonomian). (Foto: Gapey Sandy)"]

1406278745768302994
1406278745768302994
[/caption]

Untuk itulah, jelas Arief, pihaknya melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah. “Kami menyadari, sumber tekanan angka inflasi bukan hanya dari hal-hal yang bersifat moneter. Kalau dulu, kita belajar dari buku teks, hal tersebut dinamakan monetary phenomenon inflation, juga dari jumlah uang yang terlalu banyak beredar dan sebagainya. Tapi ternyata, faktanya, angka inflasi juga banyak disebabkan oleh hal-hal seperti gagal panen, musibah banjir, atau misalnya lagi, ada shock dari kenaikan harga BBM,” jelas Arief yang mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna coklat tua ini. “Inflasi nasional itu adalah agregasi dari kota-kota. Kami dari BI, tidak bisa jalan sendiri. Kami harus bergandengan-tangan dengan kementerian dan lembaga pemerintah yang lain,” tuturnya.

Sementara itu, Sartono dari Kemenko Perekonomian menguatkan pernyataan Arief Hartawan terkait kerjasama antar kementerian dan lembaga pemerintah, demi mengendalikan inflasi. “Diantaranya dengan membentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Ini sangat strategis, karena merupakan kolaborasi antara Kemenko Perekonomian, Kemendagri, dan BI. Konkretnya, menjelang bulan suci Ramadhan kemarin, Pokjanas telah menggelar rakor dengan sejumlah TPID, diantaranya dari Samarinda, Bengkulu, dan Depok (Jawa Barat). Kebetulan, tiga kota ini memiliki inflasi tinggi pada masa-masa menjelang Ramadhan,” paparnya.

Sartono menambahkan, bila dilihat dari beberapa indikator pangan, dalam rentang waktu antara 10 Juni – 10 Juli 2014, tidak banyak terjadi kenaikan harga, dalam arti stabil dan tidak seperti tahun sebelumnya. “Sampai Lebaran nanti, pasokan pangan cukup. Bahkan untuk daging, Rakor memutuskan agar pemasok daging melakukan impor daging, paling lambat sampai tanggal 24 Juni kemarin. Disadari, impor bahan-bahan kebutuhan masyarakat tentunya ada, tapi semua itu tergantung dari kekurangan ketersediaannya. Beras misalnya, dilakukan impor sampai sekitar 500 ribu ton. Sementara untuk komoditi lainnya, saya rasa tidak terlalu banyak impor,” terangnya.

[caption id="attachment_349681" align="aligncenter" width="567" caption="Kiri: Widodo Sigit Pudjianto (Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri). Kanan: Ferry Irawan (Kepala Bidang Analisis Moneter dan Lembaga Keuangan dari Kementerian Keuangan). (Foto: Gapey Sandy)"]

1406278798703996692
1406278798703996692
[/caption]

Kepala Daerah Harus Paham Inflasi

Dalam hal tanggung-jawab, untuk mengendalikan inflasi, menurut Widodo Sigit Pudjianto dari Kemendagri, tidak melulu merupakan dominasi Pemerintah Pusat. Karena ternyata, pemicu inflasi justru lebih besar berasal dari kebijakan daerah itu sendiri. “Pemerintah Pusat hanya mengatur persoalan yang besar-besar seperti keamanan, inflasi yang merupakan bagian dari moneter, yustisi, agama, dan lainnya. Itu, full tanggung-jawab Pemerintah Pusat. Urusan lain-lainnya, menjadi conquer atau tanggung-jawab bareng-bareng. Ada yang wajibnya urusan daerah, termasuk ketahanan pangan. Kenapa? Ternyata, inflasi itu, pemicunya adalah soal pangan, termasuk beras, cabe, dan sebagainya. Pemicu inflasi tidak hanya akibat faktor kebijakan Pusat, tapi juga kebijakan Daerah. Kira-kira, pemicunya bisa sampai 70 - 80%,” tuturnya.

Widodo mencontohkan, andaikata ada seorang bupati yang membiarkan jalan raya di wilayahnya rusak tanpa perbaikan segera, dampaknya bisa menciptakan inflasi juga. “Yang biasanya, distribusi pasokan bahan-bahan kebutuhan masyarakat hanya butuh waktu setengah jam, karena jalan rusak maka menjadi tiga jam, akibatnya cost pihak distributor menjadi bertambah. Misalnya lagi, seorang bupati di Ternate, Maluku Utara, apabila sudah dapat memprediksi bahwa lima bulan ke depan, ombak laut akan bergulung tinggi, tapi pasokan beras dari Pulau Jawa tidak serta-merta diantisipasi untuk segera dipasok, maka hal demikian juga dapat menciptakan inflasi,” urainya.

Contoh lain yang menggambarkan bahwa justru kebijakan pemerintah daerah yang memicu harga bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat menjadi naik, urai Widodo lagi, adalah soal pengadaan beras. “Katakanlah, Sumatera Selatan itu surplus beras, sementara Kawasan Bangka Belitung justru minus beras. Mustinya, beras tinggal “didorong” saja dari Sumsel ke Babel. Tapi ternyata tidak, beras harus “ditaruh” di Jakarta dulu, baru kemudian dikirim ke Babel. Perilaku seperti ini ‘kan membuat harga beras jadi semakin mahal. Contoh lain, wilayah Bantul dan Sleman yang memiliki beras berkualitas baik, tidak langsung mengirimkan beras untuk wilayah Kulonprogo dan Gunung Kidul, melainkan “harus” ke Jakarta dulu. Ada juga, contoh berikutnya yaitu masalah pasokan jagung. Kabupaten Blitar, membutuhkan jagung berkualitas tinggi untuk peternakan ayam, dan ternyata justru mendatangkan jagung tersebut dari NTB. Padahal, Kabupaten Nganjuk sebagai tetangganya, justru menjual jagung berkualitas baik ke Surabaya, bukannya ke Blitar yang notabene lokasinya lebih dekat. Kenapa begini? Ya, tugas kita sekarang untuk meluruskan perilaku demikian. Ke depan kami akan menerbitkan Permendagri untuk melakukan penguatan kerjasama antar daerah, dengan melakukan kerjasama antar kabupaten. Ini ke depan enggak boleh lagi seperti itu,” tegasnya.

[caption id="attachment_349682" align="aligncenter" width="540" caption="Menko Perekonomian Chairul Tanjung bersama sejumlah menteri dan Kepala Badan Pusat Statistik melakukan peninjauan harga bahan-bahan kebutuhan masyarakat, pada H-7 menjelang Hari Raya Idul Fitri 1435 H, di Pasar Klender, Jakarta Timur. (Foto: www.ekon.go.id)"]

1406278858653529742
1406278858653529742
[/caption]

Menyadari bahwa kebijakan daerah lebih banyak menjadi pemicu inflasi, Widodo menuturkan, pihaknya telah mempersiapkan tiga agenda penting. Pertama, Mendagri mengeluarkan Permendagri No.9/2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah. Kebijakan ini utamanya, meminta kepada seluruh kepala daerah agar menetapkan dan memiliki produk unggulan daerah, sekaligus menentukan harganya. “Supaya petani dan nelayan memiliki harga yang stabil untuk produk tersebut, meskipun dalam kondisi panen raya, maupun tidak dalam kondisi panen raya,” ujarnya.

Kedua, mengeluarkan informasi harga pasar. “Pusat Informasi Harga Pasar sebenarnya sudah ada, tinggal dikuatkan. Ini dilakukan untuk menghindari adanya orang-orang yang hanya mencari untung bagi dirinya sendiri dari informasi harga yang tak diketahui,” harap Widodo.

Dan agenda ketiga adalah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yakni memperkuat kerjasama antar kabupaten.

Pada bagian lain, Ferry Irawan dari Kementerian Keuangan menjelaskan, selain TPID, sebenarnya ada juga Tim Pemantau dan Pengendalian Inflasi (TPI). Pembentukan tim ini didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB)  Menteri Keuangan No.88/KMK.02/2005 dan Gubernur BI No.7/9/KEP.GBI/2005 yang berlaku untuk masa tugas 1 tahun (tahun 2005).Untuk selanjutnya, dasar hukum pelaksanaan tugas TPI diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan (Menkeu) yang ditetapkan setiap tahun.

[caption id="attachment_349683" align="aligncenter" width="567" caption="Pepih Nugraha (Kompasiana) memberikan plakat penghargaan kepada Widodo Sigit Pudjianto dari Kemendagri, dan pembicara lainnya. (Foto: Gapey Sandy)"]

14062788881220648731
14062788881220648731
[/caption]

TPI dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa, inflasi yang rendah dan stabil merupakan satu sasaran yang ingin dicapai Pemerintah, sebagai bagian dalam upaya menjaga stabilitas makro ekonomi sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6/2009.

Lantas, apa yang dilakukan TPI?

Merujuk pada pertimbangan awal pembentukan TPI yang dituangkan dalam Keputusan  Menteri Keuangan (KMK), didalamnya termaktub beberapa tugas utama yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan tugas TPI, yakni: Melakukan koordinasi dalam rangka penetapan sasaran inflasi tiga tahun ke depan; Melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan evaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan yang ditempuh; dan, Melakukan koordinasi dalam rangka merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung kepada pencapaian sasaran inflasi kepada Menteri Keuangan.

Kenapa kemenkeu berkepentingan juga? Karena, selain diamanatkan oleh UU BI itu sendiri, pada UU APBN juga diamanatkan bahwa, Kemenkeu memiliki beberapa indikator ekonomi untuk membangun atau menyusun APBN, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan seterusnya. Dalam pembahasan APBN yang lebih panjang, dalam konteks ekonomi, biasanya cuma ada dua hal mengemuka, yaitu pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Dua hal ini yang mendorong Kemenkeu untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga inflasi bersama lembaga pemerintah lainnya,” tutur Ferry lugas.

Menjangkar Inflasi

Begitulah, koordinasi yang greget dan harmonis antar kementerian plus BI (beserta lembaga pemerintah lainnya) dalam mengendalikan stabilitas harga serta menjangkar inflasi, agar tidak melambung tinggi. Seperti diketahui, inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia dikelompokan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu: Kelompok Bahan Makanan; Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau; Kelompok Perumahan; Kelompok Sandang; Kelompok Kesehatan; Kelompok Pendidikan dan Olah Raga; serta, Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

[caption id="attachment_349684" align="aligncenter" width="567" caption="Grup musik Lobow tampil menghibur di acara Nangkring Bareng Kompasiana dengan Bank Indonesia, sambil menunggu waktu berbuka puasa. (Foto: Gapey Sandy)"]

1406278991476829429
1406278991476829429
[/caption]

Terhadap ketujuh kelompok pengeluaran ini, lestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi, didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Dalam situsnya, BI memaparkan tiga resiko atas angka inflasi. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dan, ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

“Bagi kami, yang penting adalah angka inflasi bukan saja stabil, tapi juga harus rendah. Ke depan, kita harus bertahap menjadikan angka inflasi semakin rendah. Pada 2018 mendatang, Kementerian Keuangan sudah menargetkan bahwa inflasi Indonesia berada di bawah 3,5%. Upaya menjadikan inflasi ini rendah, akan terus diupayakan bersama-sama, sehingga angkanya dapat setara dengan negara-negara tetangga yang hanya sekitar 2%,” pungkas Arief Hartawan.

Semoga tercapai.

oooOooo


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun