[caption id="attachment_358675" align="aligncenter" width="567" caption="Penulis difoto oleh Ambar Suparjiman, abdi dalam Keraton Yogyakarta, di ruang Pameran Keris. (Foto: Gapey Sandy)"]
Ada juga koleksi Keris Jawa gaya Surakarta, gaya Jawa Timuran (seperti misalnya replika Keris Kyai Meles, dan Keris Kyai Gludug), gaya Bali, dan masih banyak lagi. Selain itu, ada juga spanduk besar yang menggambarkan tata cara proses pembuatan keris. Yang menarik, bahan mentah untuk membuat keris juga dipamerkan, termasuk lempengan baja tebal, hingga semakin tipis karena proses penempaan, dan menjadi sebentuk keris yang pipih dengan ornamen hiasan.
Bersebelahan dengan ruang Pameran Keris, terdapat ruangan keempat yang merupakan ruangan khusus dan dikunci dengan gembok ukuran sedang. Ruang apakah ini? Ternyata, ruang ini adalah tempat peristirahatan hingga wafatnya Sultan Hamengku Buwono VII. Lantai ruangan ini berbeda dengan seluruh lantai yang ada di Pesanggrahan Ambarrukmo. Lantainya agak kasar, mirip cor-coran semen yang dihaluskan, dan ternyata, ini adalah merupakan lantai asli semenjak awal yang alhamdulillah tidak tersentuh agenda renovasi bangunan.
[caption id="attachment_358676" align="aligncenter" width="567" caption="Kamar tidur Sultan Hamengku Buwono VII yang kini disakralkan di Ndalem Kedaton Ambarrukmo, dengan lantai yang masih asli. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sempat penulis bertanya kepada Ambar Suparjiman yang menjadi tour guide, apakah diizinkan untuk masuk ke ruangan khusus tetirah Sultan Hamengku Buwono VII ini. Ternyata, Ambar mengizinkan, bahkan abdi dalem keraton Yogyakarta ini langsung mengambilkan kunci, dan membuka gembok yang bergantung di bagian tengah pintu kayu berwarna hijau. Sambil membuka pintu gembok, Ambar terlebih dahulu membuka selop hitamnya. Kini, ia tanpa beralaskan kaki, dan mempersilakan penulis untuk masuk ke ruangan. Demi unggah-ungguh kesopanan, penulis mempersilakan Ambar yang terlebih dahulu masuk ke ruangan, kemudian penulis mengikuti dari belakang setelah sebelumnya membuka sepatu terlebih dahulu.
Di dalam kamar tidur Sultan Hamengku Buwono VII yang kini disakralkan di Dalem Kedaton Ambarrukmo, aroma dupa menyengat. Nampak meja kayu dengan foto Sultan Hamengku Buwono VII. Di depan foto ada sesaji yang disusun rapi di atas nampan. Penulis melihat ada segelas kopi hitam, juga segelas lagi seperti orange juice. Ada juga lemari kaca yang isinya pernak-pernik lampu tempel yang biasa dipasang di dinding. Ada juga dua payung besar yang biasa dipergunakan dalam upacara adat, namun sengaja dikatupkan. Dipajang juga replika kursi kayu beralaskan busa, yang dulu biasa dipergunakan oleh Sultan Hamengku Buwono VII.
[caption id="attachment_358677" align="aligncenter" width="567" caption="Lukisan wajah Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai VI. (Foto: Gapey Sandy)"]
Seperti dijelaskan dalam banner lintasan sejarah Ambarrukmo, pada 20 Juli 1877, Sultan Hamengku Buwono VI mangkat dan digantikan oleh putranya Sultan Hamengku Buwono VII yang dikenal dengan Sultan Sugih (4 Februari 1839 – 30 Desember 1921). Pada 1895-1897, Sultan Hamengku Buwono VII melakukan renovasi sekaligus memperluas Pendopo Pesanggrahan Harja Purna dan membangunnya menjadi sebuah kedaton, lengkap dengan Dalem, Alun-alun (kini lapangan rumput di depan Hotel Royal Ambarrumo Yogyakarta hingga ke dekat Ambarrukmo Plaza), Kasatriyan, dan Keputren. Kemudian, nama Pesanggrahan Harjapurno diubah menjadi Kedaton Ambarrukmo.
Pada 27 Oktober 1920, Sultan Hamengku Buwono VII mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk turun tahta. Permohonan itu pada akhirnya disetujui, dan pada 29 Januari 1921, Sultan Hamengku Buwono VII mengucapkan perpisahan kepada keluarga dan pejabat kerajaan lalu meninggalkan istana menuju Kedaton Ambarrukmo, tempat kediamannya yang baru, dengan menaiki kereta kerajaan dan dilepas dengan beberapa kali tembakan meriam pertanda kehormatan. Kekosongan tahta segera terisi, dengan diangkatnya G.R.M. Sujadi, putra Sultan Hamengku Buwono VII, dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono VIII (3 Maret 1880 – 22 Oktober 1939) menggantikan ayahnya. Berita duka mengalir ke segenap penjuru Ambarrukmo, ketika diketahui pada 30 Desember 1921, Sultan Hamengku Buwono VII wafat di Kedaton Ambarrukmo, untuk kemudian dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Imogiri.
[caption id="attachment_358678" align="aligncenter" width="510" caption="Lukisan wajah Sri Sultan Hamengku Buwono VII sampai X. (Foto: Gapey Sandy)"]
Diantara kisah mengenai profil Sultan Hamengku Buwono VII, terselip cerita mengenai semacam kalimat lisannya yang diucapkannya sebelum meninggal dunia. Kalimat tersebut adalah semacam ‘sumpah’ bahwa, setelah dirinya wafat nanti, tidak akan ada lagi raja dari Kesultanan Yoyakarta yang meninggal dunia di dalam keraton. Entah menjadi ketentuan dari Yang Maha Kuasa atau tidak, tapi rupanya ‘sumpah’ tersebut menjadi kenyataan. Tercatat, Sultan Hamengku Buwono VIII, meninggal dunia tidak di keraton, melainkan saat melakukan perjalanan kereta api dari Batavia menuju Yogyakarta. Sedangkan Sultan Hamengku Buwono IX, justru meninggal dunia di Amerika Serikat.