[caption id="attachment_358651" align="aligncenter" width="567" caption="Sejumlah kain batik yang dipajang dalam Pameran Batik di Museum Ambarrukmo, Yogyakarta. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]
Menyebut kata ‘Amplaz’ di Yogyakarta, boleh jadi sudah banyak yang langsung mengerti bahwa, kata itu adalah kependekan dari Ambarrukmo Plaza. Inilah pusat perbelanjaan mewah yang berlokasi di Jalan Laksda Adi Sucipto Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Tidak jauh dari Amplaz, masih dalam satu kompleks, ada Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta yang memiliki 247 kamar beragam tipe.
Ditengah-tengah antara Ambarrukmo Plaza dan Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, terdapat bangunan budaya bersejarah. Namanya, Pendopo Agung Royal Ambarrukmo, dan Museum Ambarrukmo. Baik pendopo, museum, dan seluruh (sisa) bangunan budaya bersejarah lain yang ada di sini, lebih akrab disebut sebagai Pesanggrahan Ambarrukmo. Berdasarkan Peraturan Menbudpar RI No.PM.25/PW.007/MKP/2007 tanggal 26 Maret 2007, Pesanggrahan Ambarrukmo termasuk bangunan yang dilindungi oleh UU No.5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. UU ini kemudian digantikan dengan UU No.11/2010 tentang Cagar Budaya.
Menurut Pasal 1 UU No.11/2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat, di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan melalui proses penetapan. Sedangkan pasal 105 mengancam, setiap orang yang dengan sengaja merusak cagar budaya diancam pidana penjara maksimal 15 tahun, dan atau denda maksimal Rp 5 miliar.
[caption id="attachment_358653" align="aligncenter" width="567" caption="Ambarrukmo Plaza di Jalan Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta, berhimpitan dengan Pesanggrahan Ambarrukmo. (Foto: Gapey Sandy)"]
Kenapa aturan legal formal soal cagar budaya ini dinukilkan kembali? Karena, pada beberapa tahun belakangan, ramai dipergunjingkan tentang sebagian lahan di sisi kanan Pesanggrahan Ambarrukmo yang secara tragis tergusur oleh pembangunan Ambarrukmo Plaza. Begitu pula dengan sebagian lahan di sisi kiri pesanggrahan, yang saat ini telah hilang menyusul pembangunan Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta.
Pihak manajemen Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta sendiri dalam situsnya mengakui dan menghargai nilai-nilai historis terkait lahan dan bangunan Pesanggrahan Ambarrukmo. Dalam situsnya, pihak manajemen mengutip pemberitaan media lokal yang menyebutkan, berdiri di atas lahan dan bangunan bersejarah, manajemen hotel seolah tak ingin melupakan sejarah yang melekat kuat pada hotel ini. Sebuah bangunan heritage di sisi barat hotel pun disulap menjadi mini museum. Kalau hotel-hotel lain dipandang lebih mengunggulkan ballroom, tapi hotel ini justru mengangkat Kedaton Ambarrukmo sebagai salah satu cagar budaya yang ada di hotel bintang lima ini.
Praktiknya terbukti, pihak manajemen Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta mempersiapkan santap siang secara prasmanan di Pendopo Agung Ambarrukmo kepada para tamu hotel yang kebetulan tengah mengikuti satu acara rapat kerja, pada Rabu (10/9) kemarin. Imbas positifnya, tak sedikit dari para tamu hotel ini yang usai bersantap siang menyempatkan diri berkunjung ke Museum Ambarrukmo, yang letaknya tak terpisahkan atau satu atap dengan pendopo.
[caption id="attachment_358654" align="aligncenter" width="567" caption="Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta yang berdampingan dengan Pesanggrahan Ambarrukmo, dan berada di satu area kompleks dengan Ambarrukmo Plaza. (Foto: Gapey Sandy)"]
Selain itu, di salah satu kamar hotel, penulis menemukan fakta bahwa para tamu dapat membaca secara seksama sebuah buku berukuran besar berjudul Ambarrukmo – From Royal Garden, Royal Palace Residence to World Class Hotel, yang ditulis oleh Mikke Susanto dan Sri Margana. Buku ini diterbitkan PT Putera Mataram Indah Wisata, dan dicetak PT Gramedia, Jakarta, pada 2013. Dengan tebal 288 halaman dan dicetak secara lux, buku ini mengungkap kisah sejarah Pesanggrahan Ambarrukmo, pembangunan Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta---berikut pernak-pernik ornamennya---, Ambarrukmo Plaza, hingga kepada momentum Yogyakarta ketika menjadi saksi bisu sejarah revolusi kemerdekaan, termasuk sekelumit cerita saat Kota Gudeg ini ditetapkan sebagai ibukota RI.
Museum Ambarrukmo
Museum Ambarrukmo terbuka untuk umum. Siapa saja boleh berkunjung ke musem mini ini, tanpa harus berstatus sebagai tamu Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, maupun pengunjung Ambarrukmo Plaza.
Di sudut kanan depan pendopo, terdapat papan nama yang menginformasikan bahwa Pesanggrahan Ambarrukmo termasuk salah satu cagar budaya yang dilindungi. Sayangnya, acuan hukum yang dituliskan masih menyebut UU No.5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Padahal UU ini sudah dibatalkan dan berganti dengan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya.
Pada sisi sebelah kanan papan besi informasi tersebut, nampak sebuah prasasti yang terbuat dari batu marmer hitam yang diberi pelindung atap, dan terdapat pahatan tulisan dengan diwarnai tinta keemasan. Rupanya, ini adalah prasasti sebagai wujud ungkapan penghargaan dan terima kasih kepada mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang telah merestui Pendopo Agung Ambarrukmo untuk penyelesaian pendidikan Inspektur Polisi Sekolah Polisi RI Mertoyudan, pada Juni 1949 hingga Maret 1950. Prasasti ini ditandatangani di Yogyakarta, pada 16 Juni 1990, oleh Jenderal Polisi Drs Moch Sanoesi selaku Kepala Kepolisian RI pada waktu itu, dan atas nama Mantan Siswa Sekolah Polisi RI Mertoyudan Brigjen Polisi Purn. Sosrosoesatio.
Menapaki jalan beraspal masuk menuju pendopo, terdapat patung seorang penjaga yang mengenakan busana khas prajurit keraton berwarna merah, dengan topi yang juga khas, dan sedang mengacungkan ibu jarinya sebagai simbol untuk mempersilakan para tamu untuk masuk ke pendopo. Di pinggang sebelah kiri patung prajurit keraton ini, terselip sebilah keris. Ada juga dua patung kera yang ditempatkan di sudut kiri dan kanan lintasan jalan masuk ke pendopo. Sesuai namanya, Pendopo Agung Ambarrukmo memang seperti hall yang terbuka dengan ukuran luasnya yang memang sangat representatif untuk menerima tamu dalam jumlah banyak. Apalagi lahan parkir untuk kendaraan cukup luas, termasuk penggunaan lahan parkir di basement Ambarrukmo Plaza, maupun di depan Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta.
Setelah melintasi pendopo, barulah kita akan segera memasuki Museum Ambarrukmo. Pada prasasti yang ditempatkan tepat di tengah-tengah lantai teras depan, dapat diketahui bahwa Museum Ambarrukmo diresmikan pada 28 Mei 2013 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Alunan gending Jawa mengalun lembut dari arah pendopo, terdengar jelas hingga ke museum. Pintu kayu museum yang bercat hijau, sepadan seirama dengan jendela kayu, dan tiang-tiang kayu yang berjajar menunjang atap pendopo. Melangkah di atas lantai marmer putih, memasuki Museum Ambarrukmo, aroma wangi dupa langsung semerbak tercium begitu rupa. Di sisi kiri pintu masuk, seorang lelaki tua berbusana tradisional Yogyakarta---atasan surjan lurik berwarna biru tua (baju Jawa), dan bawahan jarik (kain batik)---lengkap dengan blangkon, menyambut sembari tersenyum ramah. Setelah mempersilakan penulis mengisi buku tamu, lelaki tua yang bernama Ambar Suparjiman (58) ini memberitahukan bahwa, museum saat ini tengah menggelar Pameran Batik, Wayang, dan Keris. Tak jauh dari meja penerima tamu itu, ada meja kayu bundar, dan diatasnya terdapat rangkaian bunga Sedap Malam yang ditempatkan dalam toples kaca. Menariknya, tersedia juga buku Ambarrukmo – From Royal Garden, Royal Palace Residence to World Class Hotel, seperti yang sebelumnya sempat saya baca di kamar hotel.
[caption id="attachment_358658" align="aligncenter" width="567" caption="Papan informasi Cagar Budaya Pesanggrahan Ambarrukmo yang masih menyebutkan UU No.5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. (Foto: Gapey Sandy)"]
Selain terjepit emblem tulisan nama lengkap dirinya di dada kanan surjan lurik-nya, di dada kiri Ambar Suparjiman juga terselip lambang Keraton Yogyakarta. “Saya memang adalah seorang abdi dalem keraton yang secara khusus ditugaskan untuk menjaga kawasan Pesanggrahan Ambarrukmo di sini. Sesuai tingkatan abdi dalam yang berlaku di lingkungan keraton, saya sudah tingkatan ke lima, bahkan sudah menjadi salah seorang penerima imbalan kerja yang diberi nama bekal sepuh, atau semacam tunjangan pensiun,” jelas Ambar yang merupakan warga asli di sekitar Ambarrukmo. “Bapak saya, dulu juga seorang abdi dalem keraton. Saya menjadi penerus tradisi keluarga sebagai abdi dalem keraton,” imbuh kakek dengan dua cucu ini.
Di belakang meja kursi penerima tamu, terdapat banner yang berisi sejarah ringkas tentang Pesanggrahan Ambarrukmo. Tertulis di situ, Ambarrukmo berawal dari Kebun Raja, Kedaton, hingga Ruang Kosmopolitan. Ambarrukmo adalah medan sejarah. Mengerti Ambarrukmo adalah menelusuri peradaban dan pergolakan zaman. Ambarrukmo tidak sekadar sebidang tanah atauoun sebuah rumah bagi raja,namun terkait pula dengan kehidupan orang lain dan dinamika sosial sebuah komunitas khusus, namun penting. Ambarrukmo adalah kilasan dari pergolakan era mengenai Yogyakarta sekaligus negeri merdeka bernama Indonesia.
Beberapa tokoh bercengkerama dan mengalirkan energi hidupnya di Pesanggrahan Ambarrukmo, seperti misalnya Gubernur Jenderal Deandles, yang membangun Jalan Raya Anyer – Panarukan, dan sejumlah Gubernur Jenderal lainnya Hindia Belanda lainnya, Paku Buwono X, Sultan Hamengku Buwono II hingga X, dan Presiden Soekarno adalah sosok-sosok yang menjadi bagian dari sejarah Ambarrukmo.
[caption id="attachment_358660" align="aligncenter" width="567" caption="Seperti inilah Pendopo Agung Royal Ambarrukmo. (Foto: Gapey Sandy)"]
Dari sebuah Kebun Raja dengan secuil bangunan berupa joglo kecil (dahulu dikenal sebagai kawasan “Jenu”) yang dibuka oleh Hamengku Buwono II, sampai dibangun joglo besar oleh Hamengku Buwono V, dan dijadikan sebagai kedaton oleh Hamengku Buwono VII, kawasan ini lalu berkembang menjadi ruang yang kosmopolitan seperti yang terlihat saat ini adalah perubahan yang melahirkan ketakjuban. Inilah lintasan ruang waktu yang menyita perhatian melalui titik dimana pengunjung sedang berdiri saat ini.
Di ruang tamu ini juga berjajar lukisan close up dari Sultan Hamengku Buwono I hingga X. Juga ada banner yang naskahnya bermaterikan lintasan sejarah Ambarrukmo, yang dimulai sejak kelahiran Raden Mas Sujana (kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I) pada 6 Agustus 1717, hingga dimulainya era kosmopolitan. Misalnya, tercatat pada 1964-1966, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyetujui pembangunan hotel di Yogyakarta, dan ia mengizinkan pembangunan hotel itu di kompleks Kedaton Ambarrukmo seluas 5,5 hektar. Peletakan batu pertama dilaksanakan oleh Presiden Soekarno.
Pada 18 September 1965, pembangunan hotel di Yogyakarta selesai dan diserahkan dari kontraktornya PN Pembangunan Perumahan dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada akhir Desember 1965. Setelah beroperasional beberapa lama, tibalah saat yang kurang mengenakkan, yaitu pada 1 Maret 2004, Ambarrukmo Palace Hotel resmi ditutup. Tak berapa lama kemudian, pada 2005, pembangunan Plaza di kompleks Pesanggrahan Ambarrukmo mulai dikerjakan oleh PT Putera Mataram Mitra Sejahtera. Setahun kemudian, 2006, plaza yang megah selesai dibangun dan diresmikan dengan diberi nama Ambarrukmo Plaza (Amplaz).
[caption id="attachment_358661" align="aligncenter" width="567" caption="Ambar Suparjiman, abdi dalam Keraton Yogyakarta, yang bertugas menjadi juru kunci Pesanggrahan Ambarrukmo. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sedangkan pada 2010-2011, renovasi bangunan Ambarukmo Palace Hotel dilakukan, untuk kemudian namanya berubah menjadi Royal Ambarrukmo Yogyakarta. Renovasi ini meliputi juga seluruh bangunan yang ada di kompleks hotel yaitu Pendopo, Dalem, dan Bale Kambang.
Pameran Batik, Wayang, dan Keris
Ada empat ruangan didalam Museum Ambarrukmo. Ruang pertama, dijadikan sebagai tempat Pameran Batik. Isinya, sejumlah koleksi batik kuno, yang merupakan koleksi dari pengrajin batik APIP’S milik Afif Syakur. Diantaranya adalah pola (pattern) kain batik yang dahulu kala hanya boleh dipergunakan oleh raja dan para keluarganya saja, terlebih apabila sedang berada di area keraton. Pola batik tersebut adalah Udan Liris (Hujan Gerimis). Dinamakan hujan gerimis atau hujan rintik-rintik sebagai lambang kesuburan. Pola batik Udan Liris ini terdiri dari tujuh motif batik yang disusun menjadi bentuk lereng. Hal ini diartikan sebagai pengharapan agar yang mengenakan dapat selamat, sejahtera, tabah, berprakasa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa.
[caption id="attachment_358664" align="aligncenter" width="567" caption="Motif batik Udan Liris, dahulu hanya boleh dipergunakan oleh raja dan para keluarganya saja. (Foto: Gapey Sandy)"]
Pola batik lainnya sering disebut Barong Seling Nitik yang merupakan pola pengembangan. Disini, nitik diselingkan dengan pola parang barong yang merupakan pola larangan. Dua warna dan bentuk yang kontras menjadi perpaduan indah. Melambangkan keberagaman yang bersanding, bersatu, menjadi kekuatan, dan keindahan.
[caption id="attachment_358667" align="aligncenter" width="567" caption="Pola batik Barong Seling Nitik melambangkan keberagaman tetapi bersanding, bersatu, menjadi kekuatan dan keindahan, (Foto: Gapey Sandy)"]
Ada juga pola batik Parang Parikesit. Pari berarti padi, sementara kesit artinya bersih, putih. Dalam cerita pewayangan, Parikesit adalah putra Abimanyu yang menjadi raja setelah Perang Bharatayuda. Parang kesit adalah motif parang rusak yang mlinjon atau blumbangan-nya berwarna putih.
[caption id="attachment_358668" align="aligncenter" width="567" caption="Pola batik Parang Parikesit. Pari berarti padi, sementara kesit artinya bersih, putih. (Foto: Gapey Sandy)"]
Motif batik lainnya adalah Semen Sidomukti. Sido artinya menjadi, dan mukti berarti mulia. Pattern batik ini melambangkan harapan hidup dalam kecukupan dan bahagia lahir batin dunia akhirat. Pola batik ini umumnya dikenakan oleh pasangan pengantin pada upacara ijab kabul dan panggih.
[caption id="attachment_358671" align="aligncenter" width="567" caption="Pola batik Semen Sidomukti. Sido artinya menjadi, dan mukti berarti mulia. (Foto: Gapey Sandy)"]
Lainnya, motif batik yang bernama Gringsing Sudara Werti. Gringsing berasal dari kata gering (sakit), dan sing yang artinya tidak. Artinya, motif batik ini menyimbolkan harapan agar tidak sakit, atau selalu sehat, baik fisik maupun mentalnya. Dihiasi (diceplok) oleh Sudarawerti, prajurit wanita perkasa yang mampu mengalahkan musuh yang mengganggu dalam cerita Wayang Menak. Secara umum, pola batik ini mengartikan harapan agar selalu sehat karena mampu mengusir musuh jiwa dan raga, atau pandai mengendalikan diri.
[caption id="attachment_358673" align="aligncenter" width="567" caption="Pattern batik Gringsing Sudara Werti. Gringsing berasal dari kata gering (sakit), dan sing yang artinya tidak. Artinya, motif batik ini menyimbolkan harapan agar selalu sehat. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sedangkan pattern batik Semen Wahyu Tumurun menggambarkan harapan turunnya wahyu (anugerah), yaitu mendapat wahyu atau kejatuhan wahyu (kedunungan wahyu), dijauhkan dari segala godaan, rintangan, dan halangan.
[caption id="attachment_358674" align="aligncenter" width="567" caption="Pola batik Semen Wahyu Tumurun menggambarkan harapan turunnya wahyu atau anugerah. (Foto: Gapey Sandy)"]
Dalam ruangan Pameran Batik ini dipajang juga salinan pengesahan resmi UNESCO yang telah memasukkan Batik Indonesia ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity). Pengakuan dunia internasional ini diinskripsikan pada 30 September 2009, dan dikukuhkan pada 2 Oktober 2009.
Sejajar dengan ruang Pameran Batik yaitu di ruangan kedua digelar Pameran Wayang. Disini terdapat koleksi wayang kulit milik Museum Wayang Kekayon Yogyakarta. Diantara wayang kulit yang dipajang adalah para tokoh pewayangan Pandawa, dan seluruh tokoh dalam kisah Ramayana. Di ruangan ini terdapat juga salinan surat dari UNESCO yang mengakui Wayang (Wayang Puppet Theatre – Indonesia) sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak benda Warisan Manusia (Masterpiece of the Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity), dan dikukuhkan di Paris, 7 November 2003.
Di seberang ruang Pameran Wayang, adalah ruangan ketiga yang berisi Pameran Keris. Seperti kita tahu, Keris Indonesia juga sudah diakui dunia internasional melalui surat pengukuhan dari UNESCO, sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak benda Warisan Manusia, yang ditandatangani oleh Director-General Koichiro Matsuura di Paris, 25 November 2005. Adapun koleksi keris yang dipajang di sini adalah milik Padepokan Brojobuwono yang merupakan The Indonesian Kris Preservation Centre. Diantaranya terdapat replika keris Mataram abad XVII, yang warangka-nya merupakan ladrang gaya Surakarta dari kayu Cendana Sari, sedangkan pada bagian ganja terdapat tinatah emas motif sekar dengan berhiaskan batu intan.
[caption id="attachment_358675" align="aligncenter" width="567" caption="Penulis difoto oleh Ambar Suparjiman, abdi dalam Keraton Yogyakarta, di ruang Pameran Keris. (Foto: Gapey Sandy)"]
Ada juga koleksi Keris Jawa gaya Surakarta, gaya Jawa Timuran (seperti misalnya replika Keris Kyai Meles, dan Keris Kyai Gludug), gaya Bali, dan masih banyak lagi. Selain itu, ada juga spanduk besar yang menggambarkan tata cara proses pembuatan keris. Yang menarik, bahan mentah untuk membuat keris juga dipamerkan, termasuk lempengan baja tebal, hingga semakin tipis karena proses penempaan, dan menjadi sebentuk keris yang pipih dengan ornamen hiasan.
Bersebelahan dengan ruang Pameran Keris, terdapat ruangan keempat yang merupakan ruangan khusus dan dikunci dengan gembok ukuran sedang. Ruang apakah ini? Ternyata, ruang ini adalah tempat peristirahatan hingga wafatnya Sultan Hamengku Buwono VII. Lantai ruangan ini berbeda dengan seluruh lantai yang ada di Pesanggrahan Ambarrukmo. Lantainya agak kasar, mirip cor-coran semen yang dihaluskan, dan ternyata, ini adalah merupakan lantai asli semenjak awal yang alhamdulillah tidak tersentuh agenda renovasi bangunan.
[caption id="attachment_358676" align="aligncenter" width="567" caption="Kamar tidur Sultan Hamengku Buwono VII yang kini disakralkan di Ndalem Kedaton Ambarrukmo, dengan lantai yang masih asli. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sempat penulis bertanya kepada Ambar Suparjiman yang menjadi tour guide, apakah diizinkan untuk masuk ke ruangan khusus tetirah Sultan Hamengku Buwono VII ini. Ternyata, Ambar mengizinkan, bahkan abdi dalem keraton Yogyakarta ini langsung mengambilkan kunci, dan membuka gembok yang bergantung di bagian tengah pintu kayu berwarna hijau. Sambil membuka pintu gembok, Ambar terlebih dahulu membuka selop hitamnya. Kini, ia tanpa beralaskan kaki, dan mempersilakan penulis untuk masuk ke ruangan. Demi unggah-ungguh kesopanan, penulis mempersilakan Ambar yang terlebih dahulu masuk ke ruangan, kemudian penulis mengikuti dari belakang setelah sebelumnya membuka sepatu terlebih dahulu.
Di dalam kamar tidur Sultan Hamengku Buwono VII yang kini disakralkan di Dalem Kedaton Ambarrukmo, aroma dupa menyengat. Nampak meja kayu dengan foto Sultan Hamengku Buwono VII. Di depan foto ada sesaji yang disusun rapi di atas nampan. Penulis melihat ada segelas kopi hitam, juga segelas lagi seperti orange juice. Ada juga lemari kaca yang isinya pernak-pernik lampu tempel yang biasa dipasang di dinding. Ada juga dua payung besar yang biasa dipergunakan dalam upacara adat, namun sengaja dikatupkan. Dipajang juga replika kursi kayu beralaskan busa, yang dulu biasa dipergunakan oleh Sultan Hamengku Buwono VII.
[caption id="attachment_358677" align="aligncenter" width="567" caption="Lukisan wajah Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai VI. (Foto: Gapey Sandy)"]
Seperti dijelaskan dalam banner lintasan sejarah Ambarrukmo, pada 20 Juli 1877, Sultan Hamengku Buwono VI mangkat dan digantikan oleh putranya Sultan Hamengku Buwono VII yang dikenal dengan Sultan Sugih (4 Februari 1839 – 30 Desember 1921). Pada 1895-1897, Sultan Hamengku Buwono VII melakukan renovasi sekaligus memperluas Pendopo Pesanggrahan Harja Purna dan membangunnya menjadi sebuah kedaton, lengkap dengan Dalem, Alun-alun (kini lapangan rumput di depan Hotel Royal Ambarrumo Yogyakarta hingga ke dekat Ambarrukmo Plaza), Kasatriyan, dan Keputren. Kemudian, nama Pesanggrahan Harjapurno diubah menjadi Kedaton Ambarrukmo.
Pada 27 Oktober 1920, Sultan Hamengku Buwono VII mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk turun tahta. Permohonan itu pada akhirnya disetujui, dan pada 29 Januari 1921, Sultan Hamengku Buwono VII mengucapkan perpisahan kepada keluarga dan pejabat kerajaan lalu meninggalkan istana menuju Kedaton Ambarrukmo, tempat kediamannya yang baru, dengan menaiki kereta kerajaan dan dilepas dengan beberapa kali tembakan meriam pertanda kehormatan. Kekosongan tahta segera terisi, dengan diangkatnya G.R.M. Sujadi, putra Sultan Hamengku Buwono VII, dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono VIII (3 Maret 1880 – 22 Oktober 1939) menggantikan ayahnya. Berita duka mengalir ke segenap penjuru Ambarrukmo, ketika diketahui pada 30 Desember 1921, Sultan Hamengku Buwono VII wafat di Kedaton Ambarrukmo, untuk kemudian dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Imogiri.
[caption id="attachment_358678" align="aligncenter" width="510" caption="Lukisan wajah Sri Sultan Hamengku Buwono VII sampai X. (Foto: Gapey Sandy)"]
Diantara kisah mengenai profil Sultan Hamengku Buwono VII, terselip cerita mengenai semacam kalimat lisannya yang diucapkannya sebelum meninggal dunia. Kalimat tersebut adalah semacam ‘sumpah’ bahwa, setelah dirinya wafat nanti, tidak akan ada lagi raja dari Kesultanan Yoyakarta yang meninggal dunia di dalam keraton. Entah menjadi ketentuan dari Yang Maha Kuasa atau tidak, tapi rupanya ‘sumpah’ tersebut menjadi kenyataan. Tercatat, Sultan Hamengku Buwono VIII, meninggal dunia tidak di keraton, melainkan saat melakukan perjalanan kereta api dari Batavia menuju Yogyakarta. Sedangkan Sultan Hamengku Buwono IX, justru meninggal dunia di Amerika Serikat.
Di bahagian belakang Museum Ambarrukmo terdapat tempat yang dulunya merupakan pemandian raja dan keturunannya, yang biasa di sebut sebagai Bale Kambang. Terdapat semacam tempat pemandian di kiri, kanan, hingga ke belakang bangunan berlantai dua, yang bentuknya segi delapan ini. Ada juga air mancur yang menambah cantik suasana. Lantai pertama bangunan, menurut Ambar Suparjiman, berfungsi sebagai tempat untuk berbilas diri setelah mandi di kolam. Sedangkan untuk naik ke lantai dua, kita harus menaiki 20 anak tangga. Di lantai atas ini, dahulunya adalah tempat untuk bermeditasi, dan bersemedi. Kini, terdapat meja dan kursi yang sengaja ditempatkan di lantai atas, lengkap dengan hiasan lampu gantung kuno yang menambah kesan eksotik.
[caption id="attachment_358680" align="aligncenter" width="567" caption="Bale Kambang nan eksotis. (Foto: Gapey Sandy)"]
Jadi ingat, kalau berkunjung ke Yogyakarta, jangan hanya mampir dan shopping di Ambarrukmo Plaza, atau menginap di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta saja, tapi juga kunjungi Pesanggrahan Ambarrukmo. Nikmati sensasi kekayaan sejarahnya, berikut saksi bisu bangunan klasik plus ruang sakralnya, lengkap dengan nuansa modernis kosmopolitan yang mengharu-biru di sekelilingnya. Semoga Pesanggrahan Ambarrukmo tetap lestari, tidak terusik lagi, demi pembelajaran anak, cucu, cicit, dan keturunan kita nanti.
ooOoo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H