Dari sebuah Kebun Raja dengan secuil bangunan berupa joglo kecil (dahulu dikenal sebagai kawasan “Jenu”) yang dibuka oleh Hamengku Buwono II, sampai dibangun joglo besar oleh Hamengku Buwono V, dan dijadikan sebagai kedaton oleh Hamengku Buwono VII, kawasan ini lalu berkembang menjadi ruang yang kosmopolitan seperti yang terlihat saat ini adalah perubahan yang melahirkan ketakjuban. Inilah lintasan ruang waktu yang menyita perhatian melalui titik dimana pengunjung sedang berdiri saat ini.
Di ruang tamu ini juga berjajar lukisan close up dari Sultan Hamengku Buwono I hingga X. Juga ada banner yang naskahnya bermaterikan lintasan sejarah Ambarrukmo, yang dimulai sejak kelahiran Raden Mas Sujana (kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I) pada 6 Agustus 1717, hingga dimulainya era kosmopolitan. Misalnya, tercatat pada 1964-1966, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyetujui pembangunan hotel di Yogyakarta, dan ia mengizinkan pembangunan hotel itu di kompleks Kedaton Ambarrukmo seluas 5,5 hektar. Peletakan batu pertama dilaksanakan oleh Presiden Soekarno.
Pada 18 September 1965, pembangunan hotel di Yogyakarta selesai dan diserahkan dari kontraktornya PN Pembangunan Perumahan dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada akhir Desember 1965. Setelah beroperasional beberapa lama, tibalah saat yang kurang mengenakkan, yaitu pada 1 Maret 2004, Ambarrukmo Palace Hotel resmi ditutup. Tak berapa lama kemudian, pada 2005, pembangunan Plaza di kompleks Pesanggrahan Ambarrukmo mulai dikerjakan oleh PT Putera Mataram Mitra Sejahtera. Setahun kemudian, 2006, plaza yang megah selesai dibangun dan diresmikan dengan diberi nama Ambarrukmo Plaza (Amplaz).
[caption id="attachment_358661" align="aligncenter" width="567" caption="Ambar Suparjiman, abdi dalam Keraton Yogyakarta, yang bertugas menjadi juru kunci Pesanggrahan Ambarrukmo. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sedangkan pada 2010-2011, renovasi bangunan Ambarukmo Palace Hotel dilakukan, untuk kemudian namanya berubah menjadi Royal Ambarrukmo Yogyakarta. Renovasi ini meliputi juga seluruh bangunan yang ada di kompleks hotel yaitu Pendopo, Dalem, dan Bale Kambang.
Pameran Batik, Wayang, dan Keris
Ada empat ruangan didalam Museum Ambarrukmo. Ruang pertama, dijadikan sebagai tempat Pameran Batik. Isinya, sejumlah koleksi batik kuno, yang merupakan koleksi dari pengrajin batik APIP’S milik Afif Syakur. Diantaranya adalah pola (pattern) kain batik yang dahulu kala hanya boleh dipergunakan oleh raja dan para keluarganya saja, terlebih apabila sedang berada di area keraton. Pola batik tersebut adalah Udan Liris (Hujan Gerimis). Dinamakan hujan gerimis atau hujan rintik-rintik sebagai lambang kesuburan. Pola batik Udan Liris ini terdiri dari tujuh motif batik yang disusun menjadi bentuk lereng. Hal ini diartikan sebagai pengharapan agar yang mengenakan dapat selamat, sejahtera, tabah, berprakasa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa.
[caption id="attachment_358664" align="aligncenter" width="567" caption="Motif batik Udan Liris, dahulu hanya boleh dipergunakan oleh raja dan para keluarganya saja. (Foto: Gapey Sandy)"]
Pola batik lainnya sering disebut Barong Seling Nitik yang merupakan pola pengembangan. Disini, nitik diselingkan dengan pola parang barong yang merupakan pola larangan. Dua warna dan bentuk yang kontras menjadi perpaduan indah. Melambangkan keberagaman yang bersanding, bersatu, menjadi kekuatan, dan keindahan.
[caption id="attachment_358667" align="aligncenter" width="567" caption="Pola batik Barong Seling Nitik melambangkan keberagaman tetapi bersanding, bersatu, menjadi kekuatan dan keindahan, (Foto: Gapey Sandy)"]
Ada juga pola batik Parang Parikesit. Pari berarti padi, sementara kesit artinya bersih, putih. Dalam cerita pewayangan, Parikesit adalah putra Abimanyu yang menjadi raja setelah Perang Bharatayuda. Parang kesit adalah motif parang rusak yang mlinjon atau blumbangan-nya berwarna putih.