MANTAN Menteri (gagal) Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli, layaknya Ketua BEM Universitas Indonesia -- sang mahasiswa memberikan kartu kuning kepada Presiden Jokowi -- Selasa (13/2) kemarin memberikan peringatan kepada salah seorang pembantu Presiden, yakni Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Sebagaimana diberitakan portal berita rmoldotco, Selasa (13/2), Rizal Ramli yang bergelar doktor itu bahkan memberikan peringatan keras kepada sang menteri.
Pasalnya, menurut Rizal yang pernah menjadi menko kemaritiman cuma beberapa bulan itu, Kementerian Perdagangan dinilai ngotot melakukan impor beras di saat musim panen.
Saya tidak tahu persis, mengapa tiba-tiba Rizal ikut-ikutan kembali membuat gaduh soal impor beras.
Saya kok jadi ingat semasa dia menjadi menteri di Kabinet Kerja yang cuma beberapa bulan itu. Di kabinet, lelaki gaek inilah yang tidak pernah nyambung ketika diminta kerja, kerja, dan kerja oleh Jokowi.
Ia kerap nyinyir dengan sesama menteri. Mungkin supaya masyarakat menganggap dia menteri paling pintar dan kritis. Maklumlah, sebelum menjadi menteri ia dianggap oleh pers sebagai pengamat ekonomi paling jempolan.
Saat Jokowi memilihnya menjadi Menko Kemaritiman, banyak orang menaruh harapan bahwa program besar Jokowi untuk menjadikan laut sebagai primadona perekonomian lewat proyek tol lautnya bakal terwujud dalam tempo singkat.
Namun, dalam praktik, Rizal Ramli justru lebih banyak mengurusi pekerjaan yang menjadi tanggung jawab menteri-menteri lain. Pada masanya, istilah "gaduh" pun akhirnya tersiar ke mana-mana, dan (maaf) biang keroknya adalah Rizal.
Sejarah pun terukir begitu manis, dan ini yang dicatat rakyat sebelum ia dicopot sebagai menko, Rizal mengukir "prestasi", yaitu membongkar beton dermaga di Pelabuhan Tanjung Priok agar rel kereta api yang sudah terlanjur terkubur di bawahnya nyembul kembali. Hebatnya, Rizal pun ikut membongkar secara simbolis beton tersebut.
Apakah setelah itu, upaya menghidupkan kembali jalur rel kereta api di Pelabuhan Tanjung Priok ada wujudnya? Sampai sekarang belum ada penampakannya.
Setelah lama tak terdengar kabar beritanya, kembali ia mencoba eksis dengan berkata-kata. Maklumlah, seperti disinyalir seorang gubernur, kata-kata jauh lebih penting daripada kerja.
Saya tidak tahu persis rmoldotco salah kutip atau memang faktanya Rizal bicara seperti itu. "Jangan kebangetanlah. Saya mohon pejabat terkait minta ampunlah, tobatlah.
Masa musim panen impor. Kasihan petani kita yang jadi korban," katanya kepada wartawan usai menghadiri panen raya Kelompok Tani Serang di Desa Penggalang, Kecamatan Ciruas, Serang, Banten, Selasa (13/2).
Hah, dia menghadiri panen raya? Mendengar panen raya, saya kok jadi ingat tajuk rencana (editorial) sebuah koran nasional belum lama berselang. Diberi judul "Mempermainkan Perut Rakyat", koran itu menulis bahwa beras adalah perkara perut rakyat.
Rakyat ingin makan beras, bukan makan data mentereng produksi beras. Perut rakyat tak akan kenyang dengan data produksi beras yang katanya surplus dan bisa diekspor itu. Celakanya, para pejabat mencekoki rakyat dengan data kinclong produksi beras.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Bambang Soesatyo, dan Kepala Staf Presiden Moeldoko beramai-ramai melakukan panen raya di Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Cuma berbekal momen yang katanya panen raya itu, tulis editorial koran itu, mereka menyatakan Indonesia surplus beras dan bisa ekspor.
Tampaknya Rizal Ramli juga terpukau dengan panen raya yang disaksikannya di Desa Penggalang, Banten. Orang Jawa bilang "gumunan". Boleh jadi karena Rizal jarang ke sawah, apalagi menjadi petani.
Terpukau dengan panen raya seremonial, kita pun dengan begitu gegabah -- termasuk Rizal -- menyimpulkan Indonesia sebenarnya bisa mengekspor beras.
Wow! Boro-boro ekspor, kata Kepala Bulog Divre Sumatra Selatan dan Bangka Belitung Bachtiar AS sebagaimana diberitakan media, panen raya itu tak kuasa memenuhi stok beras di gudang Bulog. Sumsel dan Babel masih bergantung pada kiriman beras dari Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Fakta di lapangan memperlihatkan stok beras kita kritis. Per 3 Februari 2018, stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang, misalnya, tinggal 23 ribu ton. Padahal, stok amannya ada di angka 30 ribu ton sampai 35 ribu ton. Fakta lain menunjukkan banyak penggilingan padi di sentra-sentra produksi padi di Jawa berhenti beroperasi akibat ketiadaan pasokan gabah kering giling.
Nah, lo. Lalu dari mana Rizal Ramli mendapatkan data perberasan, sehingga ia begitu pede agar Menteri Perdagangan Enggartiasto minta ampun dan bertobat?
Sayang, sampai sebegitu jauh, Rizal tidak menunjukkan data, atau jangan-jangan wartawan yang malas bertanya dan enggan minta data kepada "sang ekonom"? Entahlah.
Saya setuju dengan Rizal yang mengatakan bahwa nasib petani harus diperhatikan. Konkretnya, jika memang produksi padi melimpah sebaiknya pemerintah tidak mengimpor beras.
Persoalannya, apakah memang sekarang ini produksi beras melimpah ruah? Para ibu rumah tangga, termasuk istri saya belakangan ini mengeluh bahwa harga beras terus naik. Hukum pasar seperti ini membuktikan bahwa beras yang beredar di pasar langka.
Andai saja Rizal menjadi menteri perdagangan, demi perut rakyat yang sampai sekarang berprinsip "belum makan jika belum makan nasi", solusi yang diambil pasti mengimpor beras. Ketika dia tidak menjabat apa-apa di pemerintahan, menjadi penonton memang lebih enak dan merasa pintar daripada menjadi pemain.
Berbicara -- apalagi asal ngomong -- memang mudah. Sebaiknya Rizal memahami bahwa pemerintah tidak boleh mempermainkan urusan perut rakyat. Intervensi pasar melalui impor beras mau tidak mau harus dilakukan.
Sudahlah, begitu editorial koran yang saya baca, jangan malu impor beras bila itu demi rakyat. Untuk mengatasi kelangkaan beras sekarang ini pemerintah sudah memutuskan impor beras yang diperkirakan tiba pertengahan Februari ini.
Jangan biarkan perut rakyat keroncongan.
Berniat menjadi pahlawan, tersiar kabar Rizal dan rekannya Fadel Muhammad akan membuat petisi soal impor beras. Mantap! Semoga semuanya berjalan lancar dan Fadel tidak lagi tersandung kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana alat kesehatan saat ia masih menjabat gubernur Gorontalo beberapa tahun lalu.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H