Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Kasus 47 RIbu Ha Hutan Padang Lawas

7 Februari 2018   07:34 Diperbarui: 7 Februari 2018   07:45 1669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENGAMATI situasi belakangan ini, terutama sejak Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden, dunia politik dan hukum kita hari demi hari kok semakin aneh dan menggelikan.

Logika politik dan hukum kerap dijungkirbalikkan. Pemerintah dan para pembantu presiden sudah bekerja keras, namun segelintir politikus di Senayan berkoar-koar hasil kerja Jokowi (katanya) nol besar.

Sekelompok orang tanpa merasa bersalah menghina Presiden semaunya sendiri dan praktis tak tersentuh hukum. Yang bersalah dibela dan yang benar disalahkan dan dikalahkan.

Belum lama ini beredar video ada warga negara (seorang ibu) yang mengamuk di pengadilan karena bapak hakim (wakil Tuhan dalam soal menegakkan keadilan) memberikan keputusan yang dianggap tidak adil.

Sang ibu meraung-raung di ruang sidang. Usut punya usut, begitu diwawancarai para wartawan, sang ibu dan anggota keluarganya mengaku sudah menyogok para "penegak hukum" hingga ratusan juta rupiah. Nasi sudah menjadi bubur, sang ibu hanya bisa menyesal dan berkeluh kesah: "Di mana keadilan dan penegakan hukum?"

Beberapa hari lalu rakyat di negeri ini menangis begitu menyaksikan sebuah drama di pengadilan di mana Saulina boru Sitorus, seorang nenek berusia 92 tahun dihukum gara-gara merusak pohon durian berdiameter 5 inci (sekitar 13 sentimeter) milik pelapor yang juga kerabatnya, Japaya Sitorus.

Namun, di tempat lain dan dalam kasus yang berbeda, Honggo Wendratno, mantan Direktur Utama PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI), tersangka kasus korupsi penjualan kondensat dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 35 triliun dengan mudahnya kabur ke luar negeri tanpa terdeteksi.

Ketidakadilan dan keanehan dipertontonkan begitu gamblang di ruang sidang pengadilan. Ironisnya, dalam banyak kasus, kepentingan rakyat banyak dan negara kerap dinomorsekiankan.

Tanpa banyak diketahui publik, pihak yang merasa berkuasa lantaran punya uang (?) kini juga tengah jumawa melawan negara dan kasusnya sedang diproses di pengadilan. Ceritanya sendiri begitu panjang.

Adalah DL Sitorus, PT Tor Ganda dan PT Torus Ganda bersama dengan Koperasi KPKS Bukit Harapan dan PT Parsub yang kompak melawan negara. Padahal mereka telah dinyatakan bersalah (melalui putusan MA pada tahun 2008) karena menguasai kawasan hutan untuk perkebunan sawit secara ilegal seluas 47.000 hektare di Padang Lawas, Sumatera Utara.

Ya, menguasai kawasan hutan seluas 47.000 hektare. Bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang luasnya 60.000 hektare.

Dalam putusan MA No 2642K/Pid 2006 tanggal 12 Februari 2007 yang dikuatkan oleh Putusan MA Nomor 39PK/Pid.Sus/2007 tertanggal 16 Juni 2008, disebutkan bahwa DL Sitorus dihukum. Keputusan MA tahun 2008 itu juga menetapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan seluas 47.000 hektare beserta seluruh bangunan di atasnya dirampas untuk negara.

Untuk diketahui dari lahan seluas 47.000 hektare itu, sebanyak 23.000 hektare diklaim dikuasai oleh KPKS Bukit Harapan dan PT Torganda, dan sisanya 24.000 hektare dikuasai oleh Koperasi Parsub dan PT Torus Ganda.

Namun, sejak putusan MA tersebut, DL Sitorus terus menguasai kawasan hutan tersebut secara ilegal dan memanfaatkan hasil kebun sawit ilegal tersebut dengan nilai mencapai triliunan rupiah yang seharusnya menjadi hak negara. Ya, negara cuma bisa melongo!

DL Sitorus dengan sengaja dan begitu pede melecehkan putusan MA dan terus melawan negara dengan tetap menguasai kawasan hutan secara ilegal tersebut. Ia menolak untuk menyerahkannya walaupun telah dilakukan beberapa peringatan/somasi oleh Pemerintah (Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan-LHK).

Dalam somasi tersebut, DL Sitorus diminta segera menyerahkan aset negara yang dikuasainya secara tidak sah berdasarkan keputusan MA yang sudah berkeputusan tetap.

Negara tidak tinggal diam. Pada tahun 2017, penyidik KLHK melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh DL Sitorus terkait pemanfaatan hasil kebun di kawasan hutan secara ilegal. Langkah ini dilakukan tentunya dalam rangka menyelamatkan aset serta kewibawaan negara.

Ujung-ujungnya, DL Sitorus ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik KLHK. Namun, yang bersangkutan pada tanggal 3 Agustus 2017 meninggal dunia.

Selesai? Wow, rupanya masih belum berujung, sebab ahli waris DL Sitorus, yaitu Sihar Sitorus melakukan gugatan praperadilan atas proses penyidikan yaitu penetapan tersangka dan penahanan kota DL Sitorus oleh penyidik KLHK.

Kasus gugatan praperadilan itu sampai sekarang masih disidangkan di Pengadilan Negeri Medan.

Aneh juga sih, Sihar Sitorus yang kebetulan mencalonkan diri menjadi wakil gubernur Sumatera Utara (meskipun belum ditetapkan oleh KPU), dalam kasus gugatan hukum, sedang "melawan" negara.

Jika tidak ada halangan, Kamis (8 Februari) besok, hakim akan memutuskan perkaranya. Saya tidak tahu persis apa yang kini sedang dipertimbangkan hakim saat akan memutuskan kasus seorang warga negara yang sedang berupaya melawan negara.

Hakim pasti sangat mengetahui bahwa "kasus" kawasan hutan seluas 47.000 hektare itu sudah berkekuatan hukum tetap dan bahkan sudah layak untuk dieksekusi.

Hakim pastinya juga sudah mengetahui berbagai kesaksian dan fakta-fakta hukum di persidangan bahwa sesungguhnya negaralah yang berhak atas kawasan hutan tersebut.

Jika hakim mengeluarkan keputusan yang gegabah, maka akan memunculkan preseden tak sedap bahwa pengusaha melakukan perlawanan kepada negara sebagai sesuatu yang biasa. Uang triliuan rupiah yang seharusnya menjadi milik negara dan bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat akhirnya jatuh ke "mafia" (segelintir pengusaha). Sungguh menjadi sebuah dilema.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun