Pengakuan La Nyalla Mattalitti bahwa ia dimintai mahar Rp 40 miliar saat akan mencalonkan diri menjadi gubernur Jawa Timur -- meskipun belakangan diralat -- tetap layak kita apresiasi.
Ya, layak kita apresiasi, sebab dari "nyanyiannya", kita akhirnya menjadi tahu bahwa mahar, iuran, uang saksi atau apa pun istilahnya dalam proses rekrutmen calon pemimpin di daerah, memang ada.
Informasi soal itu bukan hoaks, tapi realita. Saya punya teman yang pernah mencalonkan diri menjadi bupati Kebumen (Jateng) tapi kalah bertarung. Ia menghabiskan uang hingga Rp 2 miliar (kecil sih?), sebagian besar dipakai untuk uang mahar ke partai politik.
La Nyalla sendiri mengaku telah menyiapkan uang Rp 300 miliar guna menggapai mimpinya menjadi gubernur Jatim. Semoga La Nyalla tidak meralat angka itu dengan Rp 300 ribu setelah sebelumnya ia membatalkan pernyataannya dimintai mahar Rp 40 miliar.
Tapi, ya sudahlah, soal mahar politik kini tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tak menampik bahwa untuk menjadi seorang gubernur misalnya, sang calon harus menyiapkan uang Rp 300 miliar -- ia menyebut angka ini sebagai paket hemat -- jika ingin diusung atau dicalonkan parpol ikut dalam kontestasi pilkada.
Tak punya uang sebanyak itu, ya wassalam. Jika sang calon kalah dalam hajatan pilkada, ya sama wassalam, karena ibarat parkir mobil di area parkir, pengelola tidak bertanggung jawab atas hilangnya barang-barang di dalam mobil. Dalam pilkada, uang mahar dijamin tidak kembali.
Jika memang faktanya seperti itu, mengapa banyak orang bernafsu menjadi kepala daerah? Apa motivasi mereka? Ingin berkuasa, ingin menjadi pemimpin, ingin mendapatkan uang, atau ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan negara?
Jika pertanyaan itu kita ajukan ke para calon, mereka pasti akan menjawab akan mengabdikan diri kepada bangsa dan negara (baca: melayani rakyat dan menyejahterakan mereka).
Namun, saya tetap tidak bisa mengerti alias gagal paham, mengapa dalam rangka mewujudkan niat mulia itu, para calon kepala daerah rela dipalak untuk memberikan mahar hingga puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah?
Benar, untuk mengikuti proses kontestasi pilkada memang diperlukan biaya yang tidak sedikit, seperti untuk kampanye, sosialisasi, saksi dan sebagainya.
Persoalannya, apakah solusi untuk itu harus berupa mahar? Tentu tidak, sebab setahu saya saat Jokowi dan Ahok mencalonkan diri masing-masing sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2012, mereka tidak dimintai mahar. Gerindra ada di dalamnya karena partai inilah yang berinisiatif mengusung keduanya.
Saat Ahok mencalonkan kembali sebagai gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017, setahu saya ia juga tidak dimintai mahar oleh parpol yang mengusung dan mendukungnya. Ahok sendiri menyatakan lebih baik tidak menjadi gubernur daripada harus bayar mahar.
Bahwa kemudian parpol mengusung dan mendukung Jokowi dan belakangan Ahok, karena keduanya punya nilai jual. Andai saja kebrutalan politik dalam pilkada di Jakarta tempo hari  tidak terjadi, saya yakin Ahok akan terpilih kembali.
Kubu Ahok sendiri dalam kontestasi pilkada Jakarta kemarin sudah on the track. Dalam pengertian, Ahok dan Djarot maju tanpa mahar, dan dana guna meraih kemenangan diperoleh dari donasi masyarakat. Benar-benar fair. Parpol pendukung pun mengawal hingga titik darah terakhir.
Sayang memang tidak semua parpol konsisten dengan aturan main dan etika dalam berdemokrasi, termasuk dalam mencari calon-calon pemimpin negeri ini di masa depan. Padahal ini semua bisa diawali dari gelaran pilkada.
Jika dari awal kita memulainya dengan bersih, maka ke depan kita akan mendapatkan pemimpin yang juga bersih. Sudah ada buktinya, kok. Karier politik atau ketokohan dan kepemimpinan Jokowi dimulai dari wali kota, meningkat ke gubernur dan puncaknya presiden.
Jika semua parpol mengawal mekanisme dan aturan main seperti ini -- payung hukum pun sudah ada -- maka kasus seperti yang diungkap La Nyalla tidak akan kita dengar lagi karena faktanya memang tidak ada, bukan menjadi tidak ada karena La Nyalla (mungkin ketakutan) sehingga dia terpaksa meralat kata-katanya: "Saya tidak dimintai mahar, kok."
Dalam soal itu kita layak memberikan apresiasi kepada Partai NasDem yang dalam melakukan rekrutmen calon pemimpin eksekutif dan legislatif mengubur dalam-dalam politik mahar.
Politik tanpa mahar itu dengan sadar dilakukan NasDem karena parpol ini merindukan pemimpin, khususnya kepala daerah, yang tidak tersandera manakala mereka terpilih dalam proses demokrasi dan menjadi pemimpin di daerah.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya dan meragukan apakah benar NasDem merekrut calon kepala daerah tanpa mahar? Saya mencoba mengonfirmasi soal itu kepada sejumlah tokoh NasDem, salah seorang di antaranya adalah Taufik Basari (Ketua DPP Partai NasDem).
"Jika tidak percaya, silakan tanya satu per satu calon kepala daerah yang kami dukung dalam pilkada tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya," katanya dalam acara Ngopi Sore yang diselenggarakan Media Center partai itu di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Dia tidak menutup bahwa politik mahar itu ada, bukan hoaks. Gampang kok membuktikannya. Taufik memberikan masukan ada baiknya Bawaslu melakukan survei dengan bertanya kepada seluruh calon kepala daerah yang kalah. Jangan kaget jika 90 persen para calon kepala daerah yang kalah menjawab: "Ya, saya dimintai mahar".
Persoalannya, mereka mau mengaku atau tidak? Kita juga tidak menutup mata, terbatasnya anggaran yang dimiliki parpol juga membuka peluang terjadinya politik mahar.
Dalam rangka menggalang dana bagi kelangsungan hidup parpol, NasDem di awal berdirinya pernah melaksanakan program Organisasi 250 (O-250), yaitu setiap calon anggota legislatif wajib merekrut 250 anggota baru partai. Setiap anggota partai wajib memberikan iuran kepada partai. Saya tidak tahu apakah program O-250 ini masih berjalan.
Selama parpol bertekad untuk tidak sekadar menjadi "calo politik" menjelang pilkada, menurut saya kreativitas perlu dikembangkan, termasuk dalam menggalang dana. Mengharapkan anggaran dari negara (APBN) selain tidak cukup, juga tidak elegan.
Jika sebuah parpol mandiri, maka ia pasti akan disukai masyarakat. Konsekuensinya parpol harus terus membuka diri, termasuk dalam rekrutmen calon pemimpin. Dengan begitu lahir semangat saling membutuhkan antara simpatisan dan partai. Muncul ikatan batin tidak saja pada saat menjelang pemilu, tapi juga sesudahnya.
Saya tidak tahu persis, mungkin cara seperti itu yang sudah atau akan dilakukan partai-partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Pasalnya, berdasarkan survei yang dilakukan SMRC, pada pemilu terakhir (2014) tersisa hanya 11% pemilih yang merasa punya (memiliki) partai. Sisanya, 89% pemilih tidak merasa partai yang mereka coblos sebagai partai mereka.
Dengan mudah kita menduga, realita itu disebabkan oleh buruknya pamor parpol dan calon anggota legislatif yang duduk di DPR dan DPRD. Mereka hanya hadir lima tahun sekali kepada rakyat. Kehadirannya pun tak mengenakkan.
Praktik politik transaksional membuat politisi "membayar putus" dukungan rakyat.
Konsekuensinya, parpol dan anggota legislatif terpilih merasa tidak perlu menyapa rakyat ketika telah memenangi pemilu. Celakanya ketika sudah menjadi anggota DPR, pekerjaan mereka hanya menjelek-jelekkan pemerintah (baca: presiden) tanpa fakta demi tujuan jangka pendek (lima tahunan).
PSI, berdasarkan informasi yang saya peroleh dari ketua umumnya Grace Natali, rupanya ingin menihilkan praktik-praktik politik seperti di atas dengan melibatkan publik.
Berkeinginan untuk menjadikan PSI sebagai "partai publik" pendanaan PSI juga ditanggung oleh publik, sehingga PSI tidak bergantung hanya kepada segelintir donatur besar.
Dalam rangka itu, PSI membuat program donasi dengan menerbitkan "Karti Sakti". Kartu ini dibagi menjadi enam jenis, mulai dari jenis Classic yang bernilai Rp 25.000 per tahun hingga VVIP yang berdonasi Rp 1.000.000.000 per tahun.
Kartu Sakti ala PSI ini bisa difungsikan sebagai e-money. "Kartu ini bisa dipakai naik bus Transjakarta, bayar tol, belanja di mini market, dan lain-lain," kata Grace.
Bukan cuma itu ternyata. Berdonasi ke PSI, para anggota otomatis menjadi "pemegang saham" dan bisa menentukan (bersuara) untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden yang nantinya bakal diusung PSI.
Kok jadi promosi ya? Tak apalah, sebab saya dan mungkin Anda sudah jijik mendengar dan melihat praktik mahar politik yang dilakukan aktor-aktor politik yang sesungguhnya adalah calo politik dan doyan main palak.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H