Persoalannya, mereka mau mengaku atau tidak? Kita juga tidak menutup mata, terbatasnya anggaran yang dimiliki parpol juga membuka peluang terjadinya politik mahar.
Dalam rangka menggalang dana bagi kelangsungan hidup parpol, NasDem di awal berdirinya pernah melaksanakan program Organisasi 250 (O-250), yaitu setiap calon anggota legislatif wajib merekrut 250 anggota baru partai. Setiap anggota partai wajib memberikan iuran kepada partai. Saya tidak tahu apakah program O-250 ini masih berjalan.
Selama parpol bertekad untuk tidak sekadar menjadi "calo politik" menjelang pilkada, menurut saya kreativitas perlu dikembangkan, termasuk dalam menggalang dana. Mengharapkan anggaran dari negara (APBN) selain tidak cukup, juga tidak elegan.
Jika sebuah parpol mandiri, maka ia pasti akan disukai masyarakat. Konsekuensinya parpol harus terus membuka diri, termasuk dalam rekrutmen calon pemimpin. Dengan begitu lahir semangat saling membutuhkan antara simpatisan dan partai. Muncul ikatan batin tidak saja pada saat menjelang pemilu, tapi juga sesudahnya.
Saya tidak tahu persis, mungkin cara seperti itu yang sudah atau akan dilakukan partai-partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Pasalnya, berdasarkan survei yang dilakukan SMRC, pada pemilu terakhir (2014) tersisa hanya 11% pemilih yang merasa punya (memiliki) partai. Sisanya, 89% pemilih tidak merasa partai yang mereka coblos sebagai partai mereka.
Dengan mudah kita menduga, realita itu disebabkan oleh buruknya pamor parpol dan calon anggota legislatif yang duduk di DPR dan DPRD. Mereka hanya hadir lima tahun sekali kepada rakyat. Kehadirannya pun tak mengenakkan.
Praktik politik transaksional membuat politisi "membayar putus" dukungan rakyat.
Konsekuensinya, parpol dan anggota legislatif terpilih merasa tidak perlu menyapa rakyat ketika telah memenangi pemilu. Celakanya ketika sudah menjadi anggota DPR, pekerjaan mereka hanya menjelek-jelekkan pemerintah (baca: presiden) tanpa fakta demi tujuan jangka pendek (lima tahunan).
PSI, berdasarkan informasi yang saya peroleh dari ketua umumnya Grace Natali, rupanya ingin menihilkan praktik-praktik politik seperti di atas dengan melibatkan publik.
Berkeinginan untuk menjadikan PSI sebagai "partai publik" pendanaan PSI juga ditanggung oleh publik, sehingga PSI tidak bergantung hanya kepada segelintir donatur besar.