Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Agar Parpol Tidak Jadi Calo Politik dan Main Palak

19 Januari 2018   09:44 Diperbarui: 19 Januari 2018   16:13 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Pengakuan La Nyalla Mattalitti bahwa ia dimintai mahar Rp 40 miliar saat akan mencalonkan diri menjadi gubernur Jawa Timur -- meskipun belakangan diralat -- tetap layak kita apresiasi.

Ya, layak kita apresiasi, sebab dari "nyanyiannya", kita akhirnya menjadi tahu bahwa mahar, iuran, uang saksi atau apa pun istilahnya dalam proses rekrutmen calon pemimpin di daerah, memang ada.

Informasi soal itu bukan hoaks, tapi realita. Saya punya teman yang pernah mencalonkan diri menjadi bupati Kebumen (Jateng) tapi kalah bertarung. Ia menghabiskan uang hingga Rp 2 miliar (kecil sih?), sebagian besar dipakai untuk uang mahar ke partai politik.

La Nyalla sendiri mengaku telah menyiapkan uang Rp 300 miliar guna menggapai mimpinya menjadi gubernur Jatim. Semoga La Nyalla tidak meralat angka itu dengan Rp 300 ribu setelah sebelumnya ia membatalkan pernyataannya dimintai mahar Rp 40 miliar.

Tapi, ya sudahlah, soal mahar politik kini tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tak menampik bahwa untuk menjadi seorang gubernur misalnya, sang calon harus menyiapkan uang Rp 300 miliar -- ia menyebut angka ini sebagai paket hemat -- jika ingin diusung atau dicalonkan parpol ikut dalam kontestasi pilkada.

Tak punya uang sebanyak itu, ya wassalam. Jika sang calon kalah dalam hajatan pilkada, ya sama wassalam, karena ibarat parkir mobil di area parkir, pengelola tidak bertanggung jawab atas hilangnya barang-barang di dalam mobil. Dalam pilkada, uang mahar dijamin tidak kembali.

Jika memang faktanya seperti itu, mengapa banyak orang bernafsu menjadi kepala daerah? Apa motivasi mereka? Ingin berkuasa, ingin menjadi pemimpin, ingin mendapatkan uang, atau ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan negara?

Jika pertanyaan itu kita ajukan ke para calon, mereka pasti akan menjawab akan mengabdikan diri kepada bangsa dan negara (baca: melayani rakyat dan menyejahterakan mereka).

Namun, saya tetap tidak bisa mengerti alias gagal paham, mengapa dalam rangka mewujudkan niat mulia itu, para calon kepala daerah rela dipalak untuk memberikan mahar hingga puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah?

Benar, untuk mengikuti proses kontestasi pilkada memang diperlukan biaya yang tidak sedikit, seperti untuk kampanye, sosialisasi, saksi dan sebagainya.

Persoalannya, apakah solusi untuk itu harus berupa mahar? Tentu tidak, sebab setahu saya saat Jokowi dan Ahok mencalonkan diri masing-masing sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2012, mereka tidak dimintai mahar. Gerindra ada di dalamnya karena partai inilah yang berinisiatif mengusung keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun