Saat Ahok mencalonkan kembali sebagai gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017, setahu saya ia juga tidak dimintai mahar oleh parpol yang mengusung dan mendukungnya. Ahok sendiri menyatakan lebih baik tidak menjadi gubernur daripada harus bayar mahar.
Bahwa kemudian parpol mengusung dan mendukung Jokowi dan belakangan Ahok, karena keduanya punya nilai jual. Andai saja kebrutalan politik dalam pilkada di Jakarta tempo hari  tidak terjadi, saya yakin Ahok akan terpilih kembali.
Kubu Ahok sendiri dalam kontestasi pilkada Jakarta kemarin sudah on the track. Dalam pengertian, Ahok dan Djarot maju tanpa mahar, dan dana guna meraih kemenangan diperoleh dari donasi masyarakat. Benar-benar fair. Parpol pendukung pun mengawal hingga titik darah terakhir.
Sayang memang tidak semua parpol konsisten dengan aturan main dan etika dalam berdemokrasi, termasuk dalam mencari calon-calon pemimpin negeri ini di masa depan. Padahal ini semua bisa diawali dari gelaran pilkada.
Jika dari awal kita memulainya dengan bersih, maka ke depan kita akan mendapatkan pemimpin yang juga bersih. Sudah ada buktinya, kok. Karier politik atau ketokohan dan kepemimpinan Jokowi dimulai dari wali kota, meningkat ke gubernur dan puncaknya presiden.
Jika semua parpol mengawal mekanisme dan aturan main seperti ini -- payung hukum pun sudah ada -- maka kasus seperti yang diungkap La Nyalla tidak akan kita dengar lagi karena faktanya memang tidak ada, bukan menjadi tidak ada karena La Nyalla (mungkin ketakutan) sehingga dia terpaksa meralat kata-katanya: "Saya tidak dimintai mahar, kok."
Dalam soal itu kita layak memberikan apresiasi kepada Partai NasDem yang dalam melakukan rekrutmen calon pemimpin eksekutif dan legislatif mengubur dalam-dalam politik mahar.
Politik tanpa mahar itu dengan sadar dilakukan NasDem karena parpol ini merindukan pemimpin, khususnya kepala daerah, yang tidak tersandera manakala mereka terpilih dalam proses demokrasi dan menjadi pemimpin di daerah.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya dan meragukan apakah benar NasDem merekrut calon kepala daerah tanpa mahar? Saya mencoba mengonfirmasi soal itu kepada sejumlah tokoh NasDem, salah seorang di antaranya adalah Taufik Basari (Ketua DPP Partai NasDem).
"Jika tidak percaya, silakan tanya satu per satu calon kepala daerah yang kami dukung dalam pilkada tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya," katanya dalam acara Ngopi Sore yang diselenggarakan Media Center partai itu di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Dia tidak menutup bahwa politik mahar itu ada, bukan hoaks. Gampang kok membuktikannya. Taufik memberikan masukan ada baiknya Bawaslu melakukan survei dengan bertanya kepada seluruh calon kepala daerah yang kalah. Jangan kaget jika 90 persen para calon kepala daerah yang kalah menjawab: "Ya, saya dimintai mahar".