Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diplomasi Kuliner Jokowi dan Rencana Konferensi Pers Tokoh Politik

24 November 2016   11:24 Diperbarui: 24 November 2016   11:41 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Difoto dari Youtube Metro TV

KATA-KATA bersayap Presiden Jokowi “ada aktor-aktor politik yang menunggangi” aksi demonstrasi 4 November 2016 membuat banyak orang penasaran dan segera ingin tahu siapa tokoh politik yang dimaksud Jokowi. Celakanya, ada sementara pihak yang merasa “sepertinya aktor politik itu gue, deh.”

Ungkapan “teka-teki Jokowi” itu mirip dengan cerita humor tahun 1970-an saat di Jakarta masih berseliweran angkot bernama oplet yang berkapasitas delapan penumpang dan ada salah seorang penumpang yang tiba-tiba kentut. Kesal dengan penumpang yang mengeluarkan gas sembarangan, di akhir perjalanan, sang sopir menuduh dan berteriak: “Yang kentut belum bayar!”

Mendengar teriakan sang sopir, salah seorang penumpang menimpali: “Jangan nuduh sembarangan, dong. Saya sudah bayar.”

Nah, ketahuan, deh. Kata-kata “ada aktor penunggang demo” yang dilontarkan Jokowi pada Sabtu (5 November 2016) subuh membuat pihak yang merasa sebagai aktor penasaran. Dalam acara Mata Najwa di Metro TV tadi malam (Rabu 23 November), masih ada nara sumber (politikus) dari sebuah parpol  yang penasaran dan minta agar Jokowi berterus terang menyebut secara jelas siapa yang dimaksud  dengan aktor politik. Alasannya, kalau Jokowi tidak transparan, maka situasi politik akan semakin tidak kondusif. Nara sumber lain sepintas menimpali, “kalau memang tidak menunggangi, mengapa harus merasa?”

Jokowi sebenarnya tidak lihai berbicara. Oleh sebab itulah ia kreatif dalam upaya menyelesaikan persoalan, termasuk dalam berkomunikasi. Ia merasa lebih afdol menyambangi para tokoh dan masuk ke barak militer bertemu dengan prajurit TNI daripada berpidato berapi-api untuk membalas orasi para tokoh parlemen jalanan yang bertekad akan kembali membawa pasukannya berdemonstrasi pada 2 Desember nanti (dengan catatan kalau berani, sebab polisi sudah mengeluarkan maklumat).

“Potongan” Jokowi tidak seperti itu. Ia orang Jawa (Solo) yang maaf “klemak klemek”. Jokowi bukan Bung Karno, juga bukan Surya Paloh yang kalau berpidato suara guruh pun kalah. Kalau dia berpidato bergaya seperti Paloh justru kelihatan unyu-unyu.

Namun, orang Jawa model Jokowi itu panjang akal (baca: kreatif). Maka ia pun membuka pintu Istana Presiden dan menerima sejumlah tokoh. Ada yang menyebut kreativitas Jokowi itu dengan sebutan “diplomasi beranda istana” (karena menerima tamunya di beranda istana). Ada pula yang bilang “diplomasi jamuan makan” (karena didahului dengan sarapan atau makan siang). Tak sedikit pula yang menyebut sebagai “diplomasi kuliner” (karena jenis hidangan yang disajikan berbeda-beda).

Para tokoh yang telah menyambut diplomasi Jokowi adalah Prabowo Subianto (rivalnya saat Pilpres 2014), Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP), Surya Paloh (Ketua Umum Partai NasDem), Setya Novanto (Ketua Umum Partai Golkar), dan Romahurmuzy (Ketua Umum PPP).

Belum jelas, setelah itu Jokowi akan bertemu dengan siapa lagi. Pengamat politik Hanta Yuda dalam acara Mata Najwa tadi malam mengusulkan kepada Jokowi agar bertemu dengan salah seorang ketua umum sebuah partai politik yang sampai saat ini belum diajak melakukan “diplomasi kuliner”. “Kalau Jokowi mau menemui dia, saya yakin 50 persen persoalan bangsa akan selesai,” katanya.

Mendengar itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto lantas menimpali dan berlogika: “Lho kalau begitu siapa yang membuat persoalan bangsa ini?”

“Diplomasi kuliner” ala Jokowi memang sempat membuat aktor-aktor politik kelimpungan dan meminjam istilah Betawi “blingsatan” dan pinjam istilah pemimpin sebuah ormas, Reject, “kurang ajar!” dan “ngarep” bisa diundang ke istana, atau paling tidak diundang ke acara Mata Najwa.

“Diplomasi kuliner” Jokowi diakui atau tidak telah berdampak. Oleh sebab itu sebelum tanggal 2 Desember 2016, saya menduga akan muncul tokoh politik yang menggelar konferensi pers susulan di kediamannya atau di restoran dalam rangka menyaingi diplomasi kuliner Jokowi.  Saya perkirakan tokoh politik itu akan menyampaikan pernyataan seperti ini:

  • Saya memberikan apresiasi kepada Presiden yang telah bertemu dengan sejumlah kalangan dan tokoh politik di istana sebagai evaluasi atas situasi dan dinamika politik yang berkembang di Tanah Air, khususnya berkaitan dengan Pilkada di DKI Jakarta.
  • Namun, saya prihatin sebab ada kesan atau sengaja menimbulkan kesan, Presiden pilih kasih karena tidak mengundang semua unsur elemen politik dan tokoh-tokoh atau negarawan, padahal kita semua tahu bahwa selain Ibu Megawati, ada tokoh lain yang pernah memimpin negeri ini, yaitu Bapak BJ Habibie atau bapak reformasi kita, Amien Rais. Bagaimanapun juga tokoh-tokoh yang saya sebutkan tadi perlu didengar suaranya jika memang kita menginginkan negeri ini ke depan lebih baik.
  • Para ketua umum parpol saya pikir juga perlu didengar suaranya, sebab dedikasi mereka telah memberi warna kepada demokrasi di negeri yang sama-sama kita cintai dan ke depan lebih baik. Parpol adalah pilar demokrasi kita. Parpol bukan hanya organisasi politik yang mendukung pemerintahan saja.
  • Di luar banyak diberitakan bahwa kader-kader partai yang saya pimpin mengatakan untuk memberikan rasa keadilan, Presiden sebaiknya juga mengundang saya ke istana. Tidak! Saya sekali pun tidak pernah meminta-minta. Itu semua adalah inisiatif kader-kader partai yang saya pahami karena mereka peduli kepada semangat persatuan dan kesatuan di antara kita demi NKRI.
  • Saya juga memberikan apresiasi kepala Polri yang telah menindaklanjuti perkara penistaan agama oleh Saudara Ahok, calon gubernur Jakarta dan yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka.
  • Agar aksi unjuk rasa tidak terus berlanjut dan guna menjujung tinggi rasa keadilan di masyarakat, maka sudah sewajarnya polisi segera menahan Saudara Ahok. Jika Polri pilih kasih dan tidak segera menahan Ahok, maka sampai lebaran zebra, aksi demo akan terus berlanjut. Jangan salahkan para pengunjuk rasa jika mereka terus menyuarakan aspirasinya melalui parlemen jalanan.
  • Saya prihatin, masih banyak pelanggaran hukum di negeri ini yang tampaknya sengaja dibiarkan hingga berlarut-larut, seperti kasus Century, Hambalang atau puluhan proyek pembangkit listrik yang mangkrak dan terindikasi ada korupsinya. KPK harus berani bertindak tanpa pandang bulu.
  • Saya prihatin, pemerintah, khususnya aparat penegak hukum melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus provokasi atau hasutan di media sosial dan menjadikan Saudara Buni Yani sebagai tersangka. Padahal begitu banyak netizen yang membully saya dengan meme-meme yang sungguh sangat kejam seolah-olah saya adalah aktor politik di balik aksi unjuk rasa 4 November 2016.
  • Saya prihatin, ada yang memfitnah bahwa saya-lah yang membiayai aksi-aksi tersebut, termasuk aksi damai yang akan digelar pada 2 Desember besok. Siapa pun tahu bahwa biaya untuk aksi tersebut sangat besar. Dari mana saya mendapatkan uang untuk kegiatan yang menurut saya kurang patut tersebut? Ada pula yang memfitnah bahwa saya menyimpan uang dan kekayaan di luar negeri yang jumlahnya mencapai triliuan rupiah. Padahal sesen pun saya tidak punya tabungan di luar negeri.
  • Di luar itu semua, saya prihatin, sebab upaya menyampaikan pendapat atau aspirasi melalui aksi unjuk rasa yang sebenarnya dijamin dalam undang-undang dinilai oleh sementara kalangan sebagai makar. Sungguh, ini sangat memprihatinkan.  Sebaiknya pemerintah tidak alergi terhadap berbagai kritik yang disampaikan rakyat. Dengarlah suara kritis mereka. Selayaknya pemerintah berterimakasih karena rakyat berani memberikan masukan konstruktif. Pemerintah harus introspeksi. Jangan justru malah dihambat sehingga Polri dalam hal ini Polda Metro Jaya merasa perlu mengeluarkan maklumat larangan berdemonstrasi dan disebarluaskan melalui helikopter. Apakah tidak ada cara lain yang lebih bermartabat?
  • Dalam kesempatan ini saya juga perlu sampaikan, terutama berkaitan dengan pilkada di DKI Jakarta yang mengesankan saya membala secara membabi buta salah satu pasangan calon gubernur. Sebagai pesta demokrasi, maka pilkada boleh diikuti oleh siapa pun asal tidak menghalalkan segala cara. Begitu pula dalam memberikan dukungan. Oleh sebab itu dalam hal ini saya perlu tegaskan bahwa partai-partai pendukunglah yang mengajukan calon gubernur untuk partai saya, bukan keputusan saya pribadi, apalagi istri saya. Sungguh, saya prihatin, curiga, kok dipelihara. Prihatin saya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun