Oleh sebab itulah saya – dan mudah-mudahan Bapak juga – maklum jika di lapangan kemudian muncul banyak kasus. Saya tidak tahu persis informasi yang disebarluaskan rakyat Bapak melalui media sosial belakangan ini tentang nasib seorang pensiunan yang akan patuh pada kebijakan tax amnesty benar atau tidak? Saya sih berharap tidak benar. Tapi, jika benar, kasihan betul pensiunan itu.
Melalui surat terbuka ini izinkan saya informasikan “fakta” di atas kepada Bapak. Begini, Pak. Belum lama ini ada seorang pensiunan yang akan mengurus tax amnesty di Kantor Pajak Pratama Bekasi. Orang tersebut setibanya di kantor pajak lantas menemui petugas "help desk" Tax Amnesty.
Ia ke kantor pajak lantaran merasa punya rumah dan tanah sawah di Pati, tapi tidak pernah dilaporkan dalam form data isian SPT PPh tahunannya.
Ia mengaku mendapat nomor antrean 50, sementara yang dilayani petugas “help desk” baru orang yang mendapat nomor antrean 38. Saat giliran nomor 47, ia melihat yang maju seorang laki-laki berusia 74 tahun, pensiunan tentara.
Setelah ditanya NPWP-nya, petugas “help desk” lantas menjelaskan apa-apa saja yang sudah dilaporkan dalam SPT PPh 2015. Sang bapak yang telah lanjut usia itu membenarkan data yang disebut petugas pajak.
Purnawirawan tersebut saat bertugas di beberapa kota, sempat membeli tanah, kebun/dadah dan sawah serta rumah yang ditempati oleh saudaranya agar terawat. Semua sertifikat atas namanya.
Sekarang ini penghasilan sang purnawirawan hanya Rp 1.580.000 per bulan, ditambah hasil panen sekitar Rp 2.600.000 per tiga atau empat bulan. Kebun ditanami pohon apa saja dan hasilnya dipakai oleh yang ia percaya menjaga kebunnya. Setahun sekali ia dikirimi buah atau makanan hasil kebunnya. Sebuah kehidupan yang sangat menyenangkan di hari tua.
"Aset" sang purnawirawan rupanya ingin dilaporkan ke negara, karena selama ini ia tidak paham soal pajak dan merasa sudah menjadi warga negara yang baik karena sudah membayar PBB dan pajak-pajak lain.
Petugas “help desk” Tax Amnesty pun menghitung aset sang bapak tua. Ada tanah, rumah di daerah, ditambah satu mobil dan dua sepeda motor yang dibeli tahun 2013 dan 2014 yang belum dimasukkan dalam kolom harta yang dimiliki pada SPT 2015. Lalu dari petugas pajak keluarlah angka Rp 4,7 miliar! Wow!
Mendengar angka tersebut, sang bapak bukannya senang, tapi malah sedih. Rona wajahnya berubah, matanya terbelalak.
Kemudian oleh petugas “help desk”, diberitahukan bahwa kewajiban bapak berusia 74 tahun atas harta yang diikutkan dalam program tax amnesty yang sedang ramai dibicarakan itu adalah 2 persen dari nilai harta yang belum atau tidak dimasukkan dalam lampiran SPT PPh terakhir. Lalu muncullah nilai pajak terutang sebesar Rp 94 juta!