Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revisi UU Pilkada Demi Ahok, Kok Nanggung

15 Maret 2016   15:08 Diperbarui: 15 Maret 2016   15:21 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Prosentase dukungan sekalian saja 80%. Foto: Dok Pribadi"][/caption]

HORE! Ini kabar baik buat partai politik yang punya kader hebat (antara lain berani berpesta narkoba) di Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Ya, kabar baik, sebab DPR berniat merevisi UU Pilkada antara lain memperketat syarat calon perseorangan (independen). Konsekuensinya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bakal terganjal menuju DKI-1 pada Pilkada Serentak 2017.

Kita harus maklum, mengapa DPR – di Senayan tidak ada caleg independen – mengajukan “niat mulia” tersebut, sebab parpol sekaliber PDIP tempo hari sempat galau dan memopulerkan istilah “deparpolisasi” begitu mengetahui Ahok menuju DKI-1 lewat jalur perseorangan dan mendapat dukungan warga Jakarta secara masif.

Para pendukung Ahok, Anda jangan berburuk sangka. Mereka punya inisiatif untuk merevisi UU tersebut tidak dimaksudkan untuk menggusur Ahok yang Anda idolakan, lho.

Isu merevisi UU Pilkada dan memperketat calon perseorangan sebenarnya bukan mainan baru. Soal beginian sudah digulirkan setahun lalu. Tak urung Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mendukung upaya memperketat (baca: mempersulit) calon perseorangan.

Mantan Sekjen PDIP itu terang-terangan mendukung adanya pengetatan syarat untuk calon independen agar negeri ini mampu menghadirkan calon kepala daerah yang teruji dukungan serta kapasitasnya. Awas, ya kalau kalian bilang kepala daerah yang teruji dan berkapasitas menikmati narkoba.

Nah, simak dalihnya. "Persyaratan independen diperketat bukan untuk menghalangi, tetapi secara kualitatif untuk menjaring orang yang memang benar-benar tokoh," kata Tjahjo sebagaimana dikutip Detik.com, Selasa (26/5/2015).

Waktu itu, dukungan kepada Ahok belum sekencang sekarang. Teman Ahok mengumpulkan KTP dukungan buat Ahok baru sebatas coba-coba. Bahwa kemudian dukungan kepada Ahok yang dikelola Teman Ahok telah mencapai 750.000 lebih, ya itulah “nasib” Ahok. Bahwa kemudian DPR lewat Komisi II akan memperberat persyaratan dukungan buat calon perseorangan, ya itu pulalah “nasib” Ahok. Mau apa lagi?

Maklumlah, ini politik, Kang Mas! Kepentingan di atas segala-galanya. Perlu Anda ketahui, adalah  Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah aturan persyaratan pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan. Mahkamah mengatur bahwa syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan penduduk di suatu daerah sebagaimana sebelumnya diatur dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada pasal 41 ayat (1) dan (2).

MK menyatakan pasal dan  ayat-ayat di atas  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan didasarkan pada jumlah keseluruhan penduduk.

Masih menurut Mahkamah Konstitusi,  Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota telah mengabaikan prinsip keadilan, sehingga mengabaikan semangat kesetaraan di hadapan hukum.

MK berpendapat, persentase syarat dukungan tidak dapat didasarkan pada jumlah penduduk, karena tidak semua penduduk punya hak pilih. Konkretnya, keterpilihan kepala daerah bukan ditentukan jumlah penduduk keseluruhan, tapi berdasarkan penduduk yang sudah punya hak pilih (DPT).

Dengan keputusan MK, dukungan yang diperlukan buat Ahok cukup 500.000-600.000 orang (dibuktikan dengan KTP). Hitungannya adalah 6,5 persen dari jumlah pemilih di DKI Jakarta.

Tapi, DPR tampaknya tidak rela jika Ahok mulus begitu saja menuju DKI-1. Oleh sebab itulah DPR berniat merevisi lagi UU Pilkada. Acuan DPR tetap dihitung dari jumlah pemilih yang terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Namun, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy dari PKB, prosentasenya bukan lagi 7,5 persen, melainkan 10-15 persen atau 15-20 persen. Jika memang itu yang dimaui DPR, maka Teman Ahok mesti mengumpulkan KTP dukungan tak cuma 1.000.000, tapi 2.000.000-2.500.000! Jika dukungan kurang dari angka itu, ya, apa mau dikata, kita harus katakan “wassalam” buat Ahok.

Lagi-lagi ini politik, Bung! Kedelai cepat berubah menjadi tempe. Pagi ini meludah, sebentar sore “oh betapa nikmat itu rasa ludah kalau dijilat lagi.”

Lukman Edy pulalah yang memberikan apresiasi kepada MK saat lembaga itu memutuskan syarat bagi calon perseorangan diperingan. Tak sampai setahun, Lukman Edy pulalah (mewakili Komisi II DPR) yang menjelaskan syarat buat calon perseorangan harus diperberat. Alasannya sama: “Demi asas keadilan.”

Ah, DPR, Anda kok nangung-nanggung, sih, menetapkan prosentase 10-20 persen sebagai syarat dukungan buat calon perseorangan. Mengapa nggak sekalian 80 persen, sehingga KPU bisa segera menetapkan keputusan nggak perlu lagi ada pilkada, sebab calon pemenangnya sudah jelas-jelas kelihatan?

Para wakil rakyat yang mulia, bagaimana, kalian setuju? Oke, rakyat menunggu aksimu merevisi UU Pilkada agar Teman Ahok dan Muda Mudi Ahok bisa berancang-ancang terus mengumpulkan KTP dukungan mulai dari sekarang.[]   

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun