TAK banyak di antara kita yang tahu bahwa tanggal 21 Februari telah ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Tak banyak pula yang tahu – atau mungkin tak peduli – bahwa kita adalah bagian dari penyumbang sampah plastik nomor wahid di dunia.
Kita tidak sadar bahwa kita sekarang telah hidup di zaman yang serba plastik dan dimanjakan dengan plastik. Belanja ke mal mewah hingga ke tukang sayur yang lewat di depan rumah, kita berharap barang yang kita beli sekecil apa pun, dimasukkan ke dalam kantong plastik (tas kresek).
Saking kelewat manjanya, kita pun segan membawa seikat kangkung yang kita beli dari tukang sayur yang nongkrong di depan rumah tanpa kantong plastik. Padahal jarak antara gerobak sayur dan dapur cuma 15 langkah.
Kebiasaan seperti itu telah tertanam demikian kuat dan menyatu di alam bawah sadar kita, sehingga ketika ada supermarket yang memberlakukan kebijakan “tidak menyediakan kantong plastik” atau “kantong plastik harus dibeli”, kita terkejut, bahkan marah.
Gara-gara “persoalan kecil” di atas, kita pun memutuskan tidak akan lagi belanja ke supermarket yang menerapkan kebijakan tidak menyediakan tas/kantong plastik.
Lagi-lagi tanpa kita sadari, kantong plastik yang penggunaannya berdurasi cuma beberapa menit itu, setelah kita buang dan menjadi sampah, ia memiliki durasi yang tak terhingga sepanjang abad. Pasalnya, sampah plastik tidak bisa terurai dan tidak bisa menyatu dengan tanah.
Itu baru sampah yang berasal dari kantong plastik, belum lagi plastik yang berasal dari botol/gelas air mineral, kemasan isi ulang sabun, kecap dan berbagai jenis makanan lainnya.
Satu-satunya cara untuk memusnahkan sampah plastik adalah dengan dibakar. Tapi, cara ini pun sangat berisiko tak sedap bagi manusia, sehingga sangat tidak dianjurkan. Menurut para ahli, asap dari pembakaran sampah plastik menghasilkan senyawa kimia dioksin.
Dioksin adalah zat yang biasa digunakan sebagai racun tumbuhan (herbisida). Selain itu, proses pembakaran sampah plastik juga dapat menghasilkan fosgen atau gas beracun berbahaya. Gas seperti ini pernah digunakan sebagai senjata pembunuh pada masa Perang Dunia I. Ngeri!
Jika sampah plastik tersebut didiamkan, ya itu tadi, ia akan menjadi sampah nan abadi. Dibuang atau disingkirkan ke mana pun, sampah plastik tetap eksis, dan pastinya bakal merusak bumi.
“Hebatnya”, kita adalah bagian dari sang perusak bumi, alam ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan bumi yang kita diami tak ubahnya adalah surga sementara buat kita. Tapi, celakanya “surga” itu kita cemari dengan sengaja menjadi “neraka” sementara.
Lalu sampai kapan kita melestarikan “neraka” dunia tersebut. Itukah “tanggung jawab” kita kepada anak cucu kita, mewariskan “neraka” kepada mereka?
Perlu kita ketahui, Indonesia berada di posisi nomor dua (peringkat dua) di dunia setelah Tiongkok yang “berprestasi” sebagai negara penghasil sampah plastik ke laut. Dari data terakhir pada 2015, Indonesia menghasilkan sampah plastik mencapai 187,2 ton.
Setidaknya itulah angka yang diungkapkan Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Tuti Hendrawati dalam dialog 'Selamatkan Bumi dari Plastik' belum lama ini.
Tuti, seperti diberitakan detik.com (9 Februari 2016) mengungkapkan, di Indonesia sudah lebih dari 1 juta penggunaan kantong plastik setiap menitnya. Dari angka itu, 50 persen kantong plastik dipakai sekali lalu langsung jadi sampah. Sementara, hanya 5 persen yang benar-benar didaur ulang.
"Sebanyak 300 kantong plastik itu digunakan per gerai, per toko per hari. Satu tahun itu bisa 10,95 juta lembar sampah kantong plastik per 100 gerai," ungkap Tuti.
Jika mengacu satu tahun dikalkulasikan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik seukuran 20 cm x 30 cm, masih menurut hitung-hitungan Tuti Hendrawati, maka itu sama dengan 65,7 hektar.
Ada pula hitung-hitungan lain yang mengungkapkan bahwa 9,85 miliar lembar sampah kantong plastik dihasilkan manusia Indonesia setiap tahun. Angka ini dapat mencemari lingkungan selama lebih dari 400 tahun!
Tak bisa dimungkiri, banyak pula di antara kita, terutama warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang menjadikan sungai sebagai bak sampah. Sampah-sampah plastik ini pasti bermuara ke laut. Maka jangan heran jika suatu saat manakala kita atau anak cucu kita memancing ikan di laut, yang “memakan” umpan pancing kita bukan ikan, tapi kantong plastik atau sandal jepit.
Betapa mengerikan dan mengenaskan, sebab suatu saat akan terjadi populasi jumlah ikan dan sampah plastik yang mengotori laut kita akan saling mendahului, dan hasilnya sampah plastik akan mendominasi lautan kita.
Fakta dan kemungkinan-kemungkinan seperti di atas juga membuat Menteri Lingkungan Hidup/Kehutanan Siti Nurbaya prihatin. Ia mengharapkan Hari Peduli Sampah Nasional dijadikan momentum bagi siapa pun untuk lebih bijak dalam menggunakan plastik. “Mari kita lebih bijak menggunakannya, sehingga kita tidak menjadi pendonor sampah plastik,” katanya suatu kali.
Agar bumi yang kita huni ini tetap menjadi surga, maka penggunaan kantong plastik harus dibatasi. Beberapa negara di Eropa, Asia (Tiongkok, Malaysia, dan Hongkong), Amerika sudah menerapkan pembatasan dengan plastik berbayar.
Banyak cara sederhana yang bisa kita lakukan, seperti membawa kantong plastik/tas sendiri saat kita akan berbelanja. Berharap bahwa toko akan menyediakan kantong plastik harus kita akhiri.
Setidaknya ada tiga cara yang bisa kita lakukan berkaitan dengan plastik yang kita produksi, yaitu pertama reduce (jika tidak perlu atau penting, tidak usah beli). Kedua, reuse (menggunakannya kembali), dan ketiga recycle (mendaur ulang dan dijadikan barang lain yang lebih bermanfaat).
Yuk, kita selamatkan bumi kita dengan cara-cara sederhana tanpa biaya. Stop sampah plastik sebagai penyumbang "neraka" dunia. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H