Tapi, kegigihan Ahok yang patuh pada konstitusi (siapa pun berhak memimpin negeri ini melalui jabatan apa pun, bahkan presiden) telah membuka mata dan hati warga bangsa ini bahwa kita adalah bersaudara. Sangat mungkin mereka yang selama ini mendukung Ahok sebagian besar adalah orang-orang yang tidak sesuku dan seagama (maaf: sebenarnya saya enggan memanding-bandingkan).
Fenomena Ahok telah mencairkan dikotomi mayoritas dan minoritas. Pikiran kolot di masa lalu bahwa yang minoritas harus tahu diri – bahkan jika perlu mengalah – telah terkubur. Ahok dan fenomena yang mengikutinya telah menjunjung tinggi konstitusi. Konstitusi yang berlaku di negeri ini telah memberikan keadilan kepada siapa pun tanpa kecuali.
Oleh sebab itu, rasanya ada yang bakal hilang lagi jika hanya gara-gara tidak senang kepada Ahok (dengan berbagai alasan dan latar belakang), kader terbaik partai yang sudah terlanjur dicintai di daerah dan berprestasi, seperti Risma (Surabaya) dan Ridwan Kamil (Bandung) diturunkan ke Jakarta agar Ahok tenggelam.
Sungguh amat aneh jika hanya demi menumbangkan Ahok, partai-partai berkomplot mencalonkan Risma yang menjabat lagi sebagai wali kota Surabaya belum juga seumur jagung. Atau berkomplot memaksa Ridwan Kamil agar meninggalkan Bandung untuk ke Jakarta supaya riwayat prestasi Ahok terhenti. Beruntunglah Kamil dan Risma tahu diri.
Jika memang strategi seperti itu yang dilakukan parpol, maka jangan salahkan rakyat jika mereka mencurigai bahwa selama ini orientasi parpol memang hanya demi kekuasaan, bukan demi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. []
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H