Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Imbas Fenomena Ahok

27 Januari 2016   14:15 Diperbarui: 27 Januari 2016   23:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

WARGA Jakarta bolehlah senang atau terserahlah kalau mau sedih, ternyata Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), masih diidolakan untuk memimpin Jakarta sebagai gubernur lewat Pemilu Kepala Daerah (populer dengan sebutan Pilkada) 2017.

Survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) belum lama ini membuktikan kenyataan itu. CSIS mencatat elektabilitas Ahok masih tertinggi. Jika ia disandingkan dengan tokoh lain, pesaing terberatnya   hanya Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Tokoh lain, seperti Risma, Haji Lulung dan Adhyaksa Dault, jeblok.

Dalam rilis hasil survei Pra-Pilkada DKI yang disiarkan sejumlah media beberapa hari lalu, CSIS mencatat elektabilitas Pilkada Gubernur DKI Jakarta:  45 persen akan memilih Ahok, disusul Ridwan Kamil (15,75 persen). Sementara itu Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) menduduki peringkat ketiga (7,75 persen), sedangkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault (ia pernah sesumbar bisa kalahkan Ahok) menduduki urutan keempat dengan elektabilitas 4,25 persen.

Nah, ini yang menarik, Abraham  Lunggana (Haji Lulung), tokoh antagonis yang juga digadang-gadang bakal bisa menyaingi Ahok, elektabilitasnya cuma 2,25 persen. Ya, lumayanlah, sebab  posisinya berada di atas Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat dan Fauzi Bowo  yang hanya meraih 1 persen.

Yang juga tak kalah menarik, CSIS mengajukan pertanyaan kepada 400 responden yang disurvei: Bila partai Anda mengajukan calon lain yang bukan Ahok, apakah Anda akan tetap memilih Ahok?

Jangan kaget, 54,25 persen menjawab ya (sudah mantap), 36,25 persen menjawab “masih mungkin berubah.”

Besar kemungkinan pada Pilkada (Gubernur) DKI Jakarta 2017 nanti, Ahok kembali akan mencalonkan diri, tidak naik kendaraan partai politik (parpol), tapi lewat jalur independen. Para sahabat Ahok telah mengumpulkan KTP warga DKI, total mencapai 600.000-an. Sebagaimana diatur dalam UU, dukungan sebanyak itu (dibuktikan dengan fotocopy KTP) telah memenuhi syarat bagi Ahok untuk mencalonkan diri menjadi gubernur DKI periode berikutnya (2017-2022) lewat jalur independen.

Itu berarti, Ahok tidak perlu ngemis-ngemis ke parpol agar bisa ikut Pilkada 2017. Dia pun tidak perlu menyiapkan uang mahar miliaran rupiah untuk parpol. Fakta ini justru harus bisa dijadikan perenungan bagi para petinggi parpol untuk introspeksi.

Para petinggi parpol, berjiwalah ksatria. Dukunglah Ahok apa adanya. Jangan peralat Ahok untuk pencitraan parpol kalian. Dukunglah dia tanpa syarat dan mahar seperti yang pernah dilakukan Partai NasDem saat Pilkada tempo hari. Anjurkanlah konstituen partai yang Anda pimpin untuk memilih pemimpin yang memang telah terbukti bekerja.

Ahok dan kiprahnya – termasuk kelakuannya yang memunculkan pro dan kontra – adalah fenomena unik buat bangsa ini. Dia terbukti berani (baca: nekat) membongkar sekat yang selama ini membelenggu (baca: memenjarakan) kelompok minoritas (maaf: sudah Cina-Tionghoa, Kristen pula) untuk tampil menjadi pemimpin.

Terus terang, ketika Ahok tampil dan ngotot menjadi gubernur DKI Jakarta dan kemudian di-bully, kelompok minoritas di negeri ini ngeri dan waswas bakal kena imbas fenomena Ahok. Mereka khawatir semakin dikucilkan, sebab selama ini (diakui atau tidak) diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.

Tapi, kegigihan Ahok yang patuh pada konstitusi (siapa pun berhak memimpin negeri ini melalui jabatan apa pun, bahkan presiden) telah membuka mata dan hati warga bangsa ini bahwa kita adalah bersaudara. Sangat mungkin mereka yang selama ini mendukung Ahok sebagian besar adalah orang-orang yang tidak sesuku dan seagama (maaf: sebenarnya saya enggan memanding-bandingkan).

Fenomena Ahok telah mencairkan dikotomi mayoritas dan minoritas. Pikiran kolot di masa lalu bahwa yang minoritas harus tahu diri – bahkan jika perlu mengalah – telah terkubur. Ahok dan fenomena yang mengikutinya telah menjunjung tinggi konstitusi. Konstitusi yang berlaku di negeri ini telah memberikan keadilan kepada siapa pun tanpa kecuali.

Oleh sebab itu, rasanya ada yang bakal hilang lagi jika hanya gara-gara tidak senang kepada Ahok (dengan berbagai alasan dan latar belakang), kader terbaik partai yang sudah terlanjur dicintai di daerah dan berprestasi, seperti Risma (Surabaya) dan Ridwan Kamil (Bandung) diturunkan ke Jakarta agar Ahok tenggelam.

Sungguh amat aneh jika hanya demi menumbangkan Ahok, partai-partai berkomplot mencalonkan Risma yang menjabat lagi sebagai wali kota Surabaya belum juga seumur jagung. Atau berkomplot memaksa Ridwan Kamil agar meninggalkan Bandung untuk ke Jakarta supaya riwayat prestasi Ahok terhenti. Beruntunglah Kamil dan Risma tahu diri.

Jika memang strategi seperti itu yang dilakukan parpol, maka jangan salahkan rakyat jika mereka mencurigai bahwa selama ini orientasi parpol memang hanya demi kekuasaan, bukan demi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. []

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun