5.SBY (jika memang ia tidak bersandiwara) menyatakan kecewa dan marah dengan ulah kadernya di DPR, sehingga RUU tersebut disahkan menjadi UU. Ia berdalih partainya dan dirinya menginginkan pemilihan kepala daerah secara langsung. SBY menyatakan tidak enak saat harus menandatangani UU tersebut. Singkat cerita, ada perang batin di dalam dirinya.
6.Meskipun mengaku mendukung pilkada secara langsung dan tidak sreg saat harus menandatangani UU Pemilu Kada, SBY akhirnya menandatangani UU bernomor 22 Tahun 2014 tersebut. Ia berhasil mengalahkan proses peperangan dalam batinnya.
7.Tidak sampai seminggu, ia yang sebelumnya sudah gembar gembor, akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 yang isinya antara lain mencabut UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilu Kada yang baru saja ditandatangani. Aneh, bukan?
Berlaku tidaknya Perppu, sesuai konstitusi, harus mendapat persetujuan DPR periode 2014-2019 yang para anggotanya baru saja dilantik pada 1 Oktober lalu. Pimpinan DPR dikuasai KMP.
Logika politiknya, Perppu Pilkada langsung itu pasti bakal ditolak DPR yang kini dikuasai KMP, karena mereka sebelumnya pro pemilihan lewat DPRD. Namun kabar terakhir menyebutkan kubu KMP akan menerima Perppu tersebut dan setuju dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Benar tidaknya mari kita tunggu beberapa hari ke depan.
Sekali lagi, “drama gila” politik di Indonesia membuktikan bahwa politik itu (meskipun tidak seluruhnya) busuk dan kotor. Celakanya, “teori” atau asumsi bahwa politik busuk dan kotor itu hanya berlaku di Indonesia, tidak di negara lain.
Siapa yang membuat kotor dan busuk? Siapa lagi kalau bukan partai yang dalam bahasa Inggris ditulis dengan party. Asal usul kata “party” sendiri adalah “part” yang bermakna bagian terpisah (baca: pecah).
Partai politik di Indonesia telah membuktikannya. Dua belas parpol yang tempo hari ikut pemilu telah membelah diri menjadi dua kubu besar yang mengerucut menjadi KMP dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat).
Seorang teman bertanya kepada saya, bisakah negara ini eksis tanpa partai? Bisakah anggota masyarakat ikut pemilihan anggota DPR tanpa harus lewat partai? Bisakah tokoh publik menjadi gubernur, bupati dan wali kota tanpa melalui parpol?
Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, sebab ia tidak tahu siapa itu Setya Novanto, sebab ia merasa tidak pernah merasa memilih orang dekat Aburizal Bakrie ini, tapi tahu-tahu kok jadi anggota DPR dan menjadi pula ketua DPR.
Saya bingung ditanya seperti itu, tapi siapa tahu, Anda bisa membantu saya menjawab?[]