Dalam ungkapannya, Fujinuma Satoru membawa kita ke suatu pemahaman yang mendalam tentang arti dari kalimat "aku percaya." Ia menyoroti bahwa ungkapan itu seakan menjadi alat untuk menyampaikan harapan dan keinginan untuk mempercayai seseorang atau sesuatu. Jauh dari sekadar frasa yang terucap, "aku percaya" menjadi semacam doa atau harapan yang ditanamkan dalam hati.
Kejujuran dalam Percaya
Meski demikian, Satoru menyadari bahwa percaya bukanlah kebohongan. Ia menegaskan bahwa "bukan berarti aku bilang kalau percaya berarti sebuah kebohongan begitu." Dalam konteks ini, Satoru mengajak kita memahami bahwa percaya adalah ungkapan kejujuran dalam hati. Ia merinci bahwa "aku percaya" seharusnya menjadi sebuah bentuk kepercayaan yang tulus dan sungguh-sungguh.
Sebuah Harapan yang Dikandung dalam Kata
Mungkin yang paling menarik dari ungkapan ini adalah ketika Satoru menyebut "kalimat harapan yang terlahir dari perasaan 'aku ingin percaya'." Dalam kerangka ini, "aku percaya" menjadi semacam impian atau harapan. Ungkapan tersebut mengandung dorongan dari hati yang ingin mempercayai dan diharapkan dapat menciptakan hubungan yang lebih dalam dan bermakna.
Sebuah contoh dalam kehidupan sehari-hari
Makna ini sering kali ada di dunia kehidupan sehari-hari. Misalkan dalam lingkup SMA, Siswa mencintai atau menyukai siswi di sekolah yang sama.Â
Siswa itu menembak siswi itu dengan mengatakan 'Aku mencintai kamu' atau 'Aku menyukai kamu'. Itu sebuah pengakuan cinta siswa terhadap siswi tersebut.
Akan tetapi jika kamu tidak mengatakan secara verbal 'Aku mencintai kamu' atau 'Aku menyukai kamu' ke lawan jenis mu itu artinya kamu menyukai lawan jenismu. Tentu saja tanpa kamu mengatakan pun tidak ada yang berubah dalam perasaaanmu.
Lalu jika kamu menyukai secara tulus mengapa perlu mengatakan 'Aku mencintai mu', Jika perkataan tersebut benar mengapa perlu mengatakan hal itu.Â
Sebenarnya makna "Aku mencintai mu" itu bermakna tersirat bahwa sebenarnya yang diinginkan bukanlah tentang arti kata tersebut tapi harapan dibaliknya.