Pertumbuhan kesadaran akan energi terbarukan dan kebutuhan akan sumber energi yang berkelanjutan semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.Â
Banyak rumah tangga di Indonesia mempertimbangkan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap rumah mereka untuk menghasilkan listrik sendiri yang ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada listrik dari jaringan umum.Â
Namun, sebelum mengambil keputusan tersebut, penting untuk melakukan analisis ekonomi yang matang dan mempertimbangkan perhitungan titik impas (Break-Even Point/BEP) untuk memahami kapan investasi tersebut akan mencapai titik impas dan menghasilkan keuntungan finansial.
Dalam analisis ekonomi pemasangan PLTS di atap rumah, salah satu langkah awal yang penting adalah memperkirakan biaya pembangunan instalasi PLTS.Â
Dalam asumsi ini, kita akan menggunakan kisaran biaya pembangunan instalasi PLTS antara 14 juta hingga 17 juta rupiah.Â
Namun, biaya yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor seperti ukuran sistem PLTS, jenis panel surya yang digunakan, dan biaya pemasangan yang mungkin berbeda di setiap wilayah.
Selanjutnya, perhitungan BEP melibatkan memperkirakan penghematan biaya listrik yang akan diperoleh dari pemasangan PLTS, serta mempertimbangkan data konsumsi rata-rata rumah tangga di Indonesia.Â
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019, konsumsi listrik rata-rata rumah tangga di Indonesia sekitar 450 hingga 900 kilowatt per bulan.Â
Namun, ini adalah perkiraan rata-rata dan konsumsi sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada ukuran rumah, jumlah penghuni, dan gaya hidup energi rumah tangga.
Dalam analisis ekonomi ini, kita akan menggunakan angka konservatif yaitu 600 kilowatt per bulan sebagai perkiraan konsumsi listrik rata-rata rumah tangga di Indonesia.Â