Hujan turun lagi. Membasahi semua yang tak terlindung di  luar sana. Meski tak begitu deras, tapi tetap saja tetes airnya mampu  menembus rimbun pohon jambu yang berdiri gagah di pekarangan rumah Pak  Erte.
Sementara di teras, Pak Erte seperti orang yang sedang  berpikir keras. Kenapa disebut 'berpikir keras'? mungkin dilihat dari  roman mukanya Pak Erte yang tampak tegang dan tulang giginya yang emang  keras.
Entah apa yang ada dipikiran beliau? padahal biasanya kalau  hujan begini orang pada ingat kenangan atau mantan. Tapi pada saat  mantannya lewat, Pak Erte sama sekali nggak ngaruh.
Padahal Empok Saidah, istrinya sudah bolak balik ngangkatin  jemuran. Tapi Pak Erte tetap pada posisinya. Cuma bedanya tampang Pak  Erte sudah nggak setegang tadi. Mungkin saat bolak dan sekarang balik ke  teras, sang mantan yang habis ngangkatin jemuran datang sambil membawa  segelas kopi dan sepiring gorengan.
"Abang...kenapa sih dari tadi diem aja. Bukannya bantuin angkatin jemuran" Empok Saidah membuka pembicaraan.
"Abaaang...!" Empok Saidah meninggikan Volume suaranya.
Tapi Pak Erte masih cuek bebek.
Saking mangkelnya karena dicuekin. Empok Saidah lalu  mengajak ngobrol bebek yang lagi asik main di pekarangan. Tapi bebeknya  malah cuek Pak Erte. Hihihi....
"Abaaang..." Panggil Empok Saidah sekali lagi kali ini dengan suara yang mendesah dan mendayu-dayu.
Saking lembut dan mendayunya suara Empok Saidah, Ayam jago  Pak Erte yang lagi menggigil kedinginan sampe jatuh dari tempat  nangkringnya saat mendengar suara mpok Saidah tersebut. Pluk!
Dengan gerakan slow motion Pak Erte menengok ke asal suara  dan stop motion persis disaat Empok Saidah megap-megap menahan bersin.  Hatciiuuu!