Eng....ing...eeeng...!
(Kita tinggalkan Pak Erte sejenak dan kembali ke empok Saidah....)
Empok Saidah terbangun dari tidurnya karena kebelet kencing. Tapi niatnya beranjak ke kamar mandi diurungkan, saat ia mendengar suara tangisan yang begitu menyayat. Apalagi ini tengah malam.
Sedangkan Pak Erte, suaminya... Jangankan jempol kakinya. Batang hidung sama kumis-kumisnya saja tidak kelihatan.
"Bang...abaaaang!" Suara mpok saidah memecah kesunyian saat memanggil Pak Erte. Tapi yang dipanggil nggak ada sahutan sama sekali.
"Abaaaang...!" Empok Saidah menambah volume suaranya. Tapi tetap tidak ada sahutan. Malah suara tangisan yang barusan di dengarnya semakin jelas tersengar.
Sontak mpok Saidah jadi mengkeret, dan semengkeret-mengkeretnya mpok Saidah, tetap saja tidak membuatnya jadi imut dengan body-nya yang megar dan pantatnya yang lebar. Hihihi...
Saking takutnya mpok Saidah lupa akan niatnya yang mau kencing dan memilih bersembunyi di bawah selimut dan menutup kupingnya pakai bantal, sampai akhirnya terkencing di celana. Hadeeew...
(kita kembali ke Pak Erte. Nyoook...!)
Sambil mengendap-endap Pak Erte mendekati jendela kamar Romlah yang sedikit terbuka. Berbekal pengalaman dan jam terbang mengintipnya yang cukup mumpuni. Ijakan kaki Pak Erte di tanah sama sekali tidak terdengar.Â
Layaknya seorang Pendekar yang memiliki ilmu meringankan tubuh. Pak Erte sampai juga ke jendela tersebut dan mulai mengintip ke dalam kamar yang cukup terang.Â