Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Serial Pak Erte] Ketika Banjir Datang Lagi

7 November 2016   08:39 Diperbarui: 7 November 2016   08:48 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pic.lipsus.kompas.com

Para penghuni kontrakkan tampak sibuk wara wiri memindahkan perabotan mereka ke tempat yang lebih tinggi, akibat banjir yang mulai menggenangi. Bahkan ada juga yang mulai mengungsi. Kemana lagi kalau bukan ke rumahnya Pak Erte. Padahal Pak Erte baru saja bangun dan belum sempat ngopi. Empok Saidah pun, baru saja selesai mandi.

Mbak Jum dan ketiga anaknya, adalah penghuni kontrakkan yang pertama datang. Kasur yang saban malem diompoli si bontot digelar begitu saja di teras rumah Pak Erte tanpa basa-basi. Disusul kemudian keponakannya mbak Jum, Susanto, yang lebih suka dipanggil Susanti.

Padahal banjir masih sebatas mata kaki. Tapi berhubung hari mau hujan lagi, serta mengantisipasi debit air kali yang makin meninggi, mau tak mau mbak Jum dengan ikhlas hati mengungsi. Meskipun empok Saidah dan Pak Erte menerimanya dengan berat hati.

Bukan karena Pak Erte tak perduli, tapi karena kasur yang digelar mbak Jum itu, lho! Begitu semerbak tapi tak mewangi. Sehingga teras rumah Pak Erte lebih mirip tempat Spa dan Sauna. Selain bisa berendem di banjiran. Ada juga fasilitas kasur mbak Jum yang bau pesingnya sudah kayak aroma therapy. Hihihi...

Tapi mau bagaimana lagi. Sebagai pejabat di Kampung Pinggir Kali, sudah kewajiban Pak Erte untuk menerima dan menampung warga yang sedang mengalami musibah. Apalagi meluapnya air pinggir kali tidak setiap hari.

Akhirnya Pak Erte pun mulai merapikan halaman depannya. Mengalasinya dengan terpal yang berukuran besar, serta tidak lupa meminta bantuan tenda pada pihak kelurahan. Karena di saat musim hujan seperti ini, biar kata tak diundang, hujan bakalan datang lagi tanpa permisi.

Coba kalau hujan itu seperti orang yang mau bertamu, kan Pak Erte bisa ngeles dan nitip pesen sama bininya.

"Bilangin aja, gue kagak ade di rumah...!"

Jadi kalau enggak sempat ketemu Pak Erte hari ini, hujan bisa nitip pesen sama bu Erte kapan mau datang lagi. Sehingga Pak Erte bisa siap-siap. Seperti kata pepatah... 'sedia gorengan dan kopi sebelum hujan'. #hadeeew.

Namun apa boleh Gogon...Eh, buat. Meskipun nasi masih berupa beras, dan belum sempat dimasak jadi bubur. Hujan sudah terlanjur turun. Apalagi air kali sudah menggenang di mana-mana. Di areal kontrakkan, di dekat kandang ayam, dan anehnya lagi, ayam jago Pak Erte mendadak pandai berenang, serta ngumpul bareng bebek.

Dasarnya bebek. Meskipun ada ayam yang ikut-ikutan berenang, mereka tak ada yang protes dan terus saja ngambang dengan cuwek bebeknya. Sementara ayam jagonya Pak Erte, enggak mau kalah dan terus ngintilin bebek, dengan cuwek ayamnya. Hihihi...

Bukannya Pak Erte enggak bersyukur karena turunnya hujan. Tapi Pak Erte jadi keki lantaran Susanto malah asyik ngerumpi sama empok Saidah, istrinya. Sehingga saat tenda mulai datang dan mau didirikan Pak Erte hanya sendiri dan nggak ada yang bisa ngebantuin.

Akhirnya Pak Erte pergi ke kontrakkan untuk mencari bantuan. Bang Toyib yang lagi nangkring di dekat tiang jemuran langsung mendapatkan tugas mengumpulkan warga untuk mendirikan tenda di halaman.

Sedangkan batang hidung Buluk nggak kelihatan. Padahal Pak Erte butuh pemuda itu untuk memindahkan perabotan rumahnya agar bisa menampung warga yang rumahnya kebanjiran. Setelah mencari kesana-kemari, Pak Erte menjumpai Buluk yang tepar di halaman langgar. Saking maboknya, Buluk sampe enggak berasa kalau dirinya sudah kayak baju dicucian. Terendam di dalam air.

"Hei Buluk, bangun lu!" Bentak Pak Erte sambil menggoyang-goyang bahu pemuda itu.

Setengah sadar Buluk membuka matanya dan mulai merasakan sesuatu yang beda pada tubuhnya.

"A..ada apaan, te?" Tanya Buluk gagap.

"Ada pisang goreng sama bakwan. Mau kagak, lu!" Jawab Pak Erte, ngibul.

"Ma..mau dong, te!" Jawab Buluk sambil beringsut duduk dan baru menyadari kalau rasa adem yang dirasakannya sejak tadi, karena teras langgar tempat ia biasa tidur sudah digenangi air. Buluk pun langsung berdiri dan bergegas menyusul Pak Erte ke rumahnya.

***

Malam ini cuaca nampak mendung. Di luar air sudah menggenang di mana-mana. Kampung Pinggir Kali sudah mirip danau buatan. Beruntung rumah Pak Erte tanahnya agak lebih tinggi dari kali. Sehingga banjir tak sampai menggenangi pekarangan juga rumahnya.

Embak Jum dan ketiga anaknya sudah sejak pagi menggelar kasur di pojok teras. Sedangkan warga yang nggak tahan dengan bau pesing dari kasurnya mbak Jum. Memilih tidur di halaman yang telah dialasi terpal.

Bang Toyib dan Buluk terlihat sedang asyik main catur. Ada juga warga yang memilih menonton tipi, yang sengaja di letakkan Pak Erte di bawah tenda. Sementara empok Saidah dibantu ibu-ibu lainnya sedang memasak mie instant di dapur.

Pak Erte yang sejak tadi mendampingi Pak Lurah memantau debit air kali mulai bergegas kembali ke rumah saat hujan mulai turun lagi, dan langsung menuju ke kamar mandi belakang karena kebelet. Sedangkan Pak Lurah menuju ke Posko Penanggulangan Banjir yang ada di depan pabrik sepatu.

Semakin lama, hujan turun semakin deras disertai petir dan angin yang berhembus kencang. Tampias air mulai membasahi sebagian pekarangan. Warga yang tadinya tidur-tiduran mendadak panik dan mulai merapat ke teras rumah Pak Erte, dan ada juga yang memasuki rumah.

Bang Toyib dan Buluk buru-buru menutup papan caturnya. Karena di dalam rumah sudah penuh, keduanya hanya kebagian tempat di dekat mbak Jum dan anak-anaknya. Sehingga mereka pasrah tapi tak rela merasakan bau aroma therapy yang merebak dari kasurnya mbak Jum.

Tiba-tiba suara guntur terdengar keras menggelegar, diiringi listrik yang mendadak padam. Pak Erte yang yang sedang berada di kamar mandi langsung mencelat keluar saat terdengar suara jeritan di depan pintu kamar mandi.

Karena kondisi gelap Pak Erte merasakan seseorang menghambur kearahnya dan menubruknya hingga terjengkang.

"Romlah...?" Ujar Pak Erte saat mengenali sosok yang ikut jatuh dan menindih tubuhnya.

"I..iya, te!" Jawab Janda demplon tersebut dengan raut wajah ketakutan.

Pak Erte buru-buru bangkit dan berdiri. Sementara Romlah berlalu dengan sedikit tersipu malu. Belum jauh Pak Erte melangkah, tiba-tiba suara guntur kembali terdengar menggelegar, serta merasakan seseorang kembali menubruknya.

Bruk...!

Pak Erte kembali jatuh terjengkang dan merasakan beban yang begitu berat menindih tubuhnya.

"Romlah...?" Bisik Pak Erte pelan.

"Saidah, baaaang...!" Jerit perempuan tersebut dengan suara cemprengnya.

Karena salah menyebut nama, Pak Erte mencari aman dengan pura-pura pingsan. Sementara air perlahan tapi pasti mulai naik dan menggenangi halaman, serta teras depan.

Hihihi....

Sekian.

Salam Sendu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun