Bang Toyib dan Buluk terlihat sedang asyik main catur. Ada juga warga yang memilih menonton tipi, yang sengaja di letakkan Pak Erte di bawah tenda. Sementara empok Saidah dibantu ibu-ibu lainnya sedang memasak mie instant di dapur.
Pak Erte yang sejak tadi mendampingi Pak Lurah memantau debit air kali mulai bergegas kembali ke rumah saat hujan mulai turun lagi, dan langsung menuju ke kamar mandi belakang karena kebelet. Sedangkan Pak Lurah menuju ke Posko Penanggulangan Banjir yang ada di depan pabrik sepatu.
Semakin lama, hujan turun semakin deras disertai petir dan angin yang berhembus kencang. Tampias air mulai membasahi sebagian pekarangan. Warga yang tadinya tidur-tiduran mendadak panik dan mulai merapat ke teras rumah Pak Erte, dan ada juga yang memasuki rumah.
Bang Toyib dan Buluk buru-buru menutup papan caturnya. Karena di dalam rumah sudah penuh, keduanya hanya kebagian tempat di dekat mbak Jum dan anak-anaknya. Sehingga mereka pasrah tapi tak rela merasakan bau aroma therapy yang merebak dari kasurnya mbak Jum.
Tiba-tiba suara guntur terdengar keras menggelegar, diiringi listrik yang mendadak padam. Pak Erte yang yang sedang berada di kamar mandi langsung mencelat keluar saat terdengar suara jeritan di depan pintu kamar mandi.
Karena kondisi gelap Pak Erte merasakan seseorang menghambur kearahnya dan menubruknya hingga terjengkang.
"Romlah...?" Ujar Pak Erte saat mengenali sosok yang ikut jatuh dan menindih tubuhnya.
"I..iya, te!" Jawab Janda demplon tersebut dengan raut wajah ketakutan.
Pak Erte buru-buru bangkit dan berdiri. Sementara Romlah berlalu dengan sedikit tersipu malu. Belum jauh Pak Erte melangkah, tiba-tiba suara guntur kembali terdengar menggelegar, serta merasakan seseorang kembali menubruknya.
Bruk...!
Pak Erte kembali jatuh terjengkang dan merasakan beban yang begitu berat menindih tubuhnya.