Bukannya Pak Erte enggak bersyukur karena turunnya hujan. Tapi Pak Erte jadi keki lantaran Susanto malah asyik ngerumpi sama empok Saidah, istrinya. Sehingga saat tenda mulai datang dan mau didirikan Pak Erte hanya sendiri dan nggak ada yang bisa ngebantuin.
Akhirnya Pak Erte pergi ke kontrakkan untuk mencari bantuan. Bang Toyib yang lagi nangkring di dekat tiang jemuran langsung mendapatkan tugas mengumpulkan warga untuk mendirikan tenda di halaman.
Sedangkan batang hidung Buluk nggak kelihatan. Padahal Pak Erte butuh pemuda itu untuk memindahkan perabotan rumahnya agar bisa menampung warga yang rumahnya kebanjiran. Setelah mencari kesana-kemari, Pak Erte menjumpai Buluk yang tepar di halaman langgar. Saking maboknya, Buluk sampe enggak berasa kalau dirinya sudah kayak baju dicucian. Terendam di dalam air.
"Hei Buluk, bangun lu!" Bentak Pak Erte sambil menggoyang-goyang bahu pemuda itu.
Setengah sadar Buluk membuka matanya dan mulai merasakan sesuatu yang beda pada tubuhnya.
"A..ada apaan, te?" Tanya Buluk gagap.
"Ada pisang goreng sama bakwan. Mau kagak, lu!" Jawab Pak Erte, ngibul.
"Ma..mau dong, te!" Jawab Buluk sambil beringsut duduk dan baru menyadari kalau rasa adem yang dirasakannya sejak tadi, karena teras langgar tempat ia biasa tidur sudah digenangi air. Buluk pun langsung berdiri dan bergegas menyusul Pak Erte ke rumahnya.
***
Malam ini cuaca nampak mendung. Di luar air sudah menggenang di mana-mana. Kampung Pinggir Kali sudah mirip danau buatan. Beruntung rumah Pak Erte tanahnya agak lebih tinggi dari kali. Sehingga banjir tak sampai menggenangi pekarangan juga rumahnya.
Embak Jum dan ketiga anaknya sudah sejak pagi menggelar kasur di pojok teras. Sedangkan warga yang nggak tahan dengan bau pesing dari kasurnya mbak Jum. Memilih tidur di halaman yang telah dialasi terpal.