"Emang, abang mau jadi laki eneng?"
"Mau...mau banget, neng," sahut Bang Parlan kegirangan.
Hmmm...
Ternyata ini cuma efek dari sepinya pekuburan. jangankan ngemeng, berhadapan aja Bang Parlan sungkan-sungkan. Tampang sangar ternyata bukan jaminan, buktinya Bang Parlan mulai gelagapan, ketika sosok Mbak Mayang datang menghampiri dan langsung berdiri di hadapan.
"Bang..." sapa sang 'bintang kuburan'.
Bang Parlan tak kuasa memandang. Suara Mbak Mayang lebih terdengar seperti desahan, jantung sang perjaka berdegup kencang. Kalau nggak ditahan-tahan, udah pasti langsung kelojotan.
"Eh, ah, uh...ii...iya, neng," jawab Bang Parlan gelagapan, sedikit ngos-ngosan.
"Abang kok keringetan, sih? Hihihi..."
Bang Parlan makin kelimpungan, sambil menggosok-gosok gagang cangkulnya, untuk mengalihkan perhatian. Mbak Mayang mendaratkan pa*t*tnya yang bohai, di atas bangku kayu yang diduduki Bang Parlan.
Kedua insan duduk saling berpunggungan. Mbak Mayang menghadap ke utara, sambil bertopang di patok kuburan. Sementara Bang Parlan menghadap ke selatan, sembari memperhatikan mata cangkulnya yang mulai karatan.
Angin sepoi-sepoi datang, mempermainkan rambut sang bintang kuburan yang ikal mayang. Berputar-putar sebentar, lalu mentok di tembok pekuburan. Bless!