Istilah grammar nazi saya temukan dari situs 9gag, yang saya artikan sendiri sebagai orang yang selalu berusaha membenarkan kesalahan tata bahasa yang mereka temukan. Karena bahasa yang (wajib?) digunakan di 9gag adalah bahasa Inggris, maka contoh-contoh yang sering saya temukan adalah pembenaran tata bahasa Inggris. Seperti penggunaan you're dengan your, they're dengan their, dsb.
Istilah grammar nazi sepengamatan saya, memiliki kesan negatif. Mungkin karena ada kesan para grammar nazi itu (1) merasa bahwa membenarkan kesalahan tata bahasa adalah tugas mereka, (2) merasa bahwa tata bahasa yang baik dan benar itu harus selalu digunakan di manapun dan kapanpun.
Yah, untuk poin yang kedua, saya sebenarnya sangat setuju. Bisa jadi karena saya sendiri seorang grammar nazi, untuk bahasa Indonesia.
Hal yang ingin saya bahas sebenarnya adalah penggunaan "di" sebagai kata depan dan sebagai imbuhan (awalan). Saya sering merasa "gatal" ketika melihat beberapa kompasioner yang tidak membedakan mana "di" sebagai kata depan dan mana "di" sebagai imbuhan.
Misalnya, menulis "dirumah" padahal seharusnya "di rumah", "di makan" padahal seharusnya "dimakan", dst.
Contoh di atas contoh karangan saya, sih. Tapi saya menemukan banyak kesalahan-kesalahan serupa itu sampai saya tidak bisa menunjukkan lagi bukti-buktinya karena terlalu banyak. Dan saya juga tidak mau melakukan itu supaya kesan negatif grammar nazi tidak bertambah.
Sepengetahuan saya saja, sih, "di" sebagai kata depan itu, dipakai umumnya untuk menunjukkan "tempat melakukan aktivitas, tempat keberadaan", biasanya diikuti kata benda yang menunjukkan tempat, dan dipisahkan dengan spasi dengan kata benda tersebut.
Misalnya,
(1) Saya membaca buku di kamar.
(2) Ibu ada di dapur memasak ayam goreng. (Duh, jadi lapar.)
Ada beberapa "di" sebagai kata depan yang diikuti kata benda yang menunjukkan waktu. Misalnya,
(1) Memandangi bintang yang berkelap-kelip di malam hari.
(2) Berjalan-jalan mengelilingi kota di sore hari bersama sahabat-sahabat tercinta.
Oke?
Nah, "di" yang kedua, sebagai imbuhan yang berfungsi menunjukkan bentuk pasif. Biasanya diikuti verba (kata kerja), atau kata benda yang sudah "diverbakan" (istilah ini ada atau ga saya juga kurang yakin) yaitu kata benda yang dijadikan verba dengan diberi imbuhan, dan penulisannya disambung alias tidak memakai spasi.
Misalnya,
(1) Adik dikejar anjing.
(2) Almarhum akan dimakamkan siang ini.
Kata "makam" pada kata "dimakamkan" di contoh kalimat (2) itulah contoh kata benda yang "diverbakan" yang saya sebutkan tadi.
Yah, kira-kira begitulah kalau dijelaskan dengan singkat.
Walaupun alasannya egois, (yaitu karena "kegatalan" saya untuk membenarkan kesalahan tata bahasa pada beberapa tulisan kompasioner) saya menulis tulisan ini bukan bermaksud menggurui, hanya memberi tahu saja demi kecintaan terhadap bahasa terutama bahasa Indonesia.
Hei, mungkin kecintaan akan bahasa ibunyalah yang membuat para grammar nazi itu merasa mereka harus membenarkan kesalahan tata bahasa yang mereka temukan, ya? Bisa jadi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H