Saat kecil aku tidak ingin menjadi "orang hutan". "Orang hutan" yang kumaksud adalah bukan dalam arti sebenarnya, akan tetapi adalah istilah bagi petugas kehutanan, polisi hutan (polhut), orang yang bekerja menjaga hutan, atau secara umum adalah forester.
Mengapa aku tidak mau menjadi orang kehutanan? Tidak lain dan tidak bukan, orang kehutanan yang kuketahui saat kecil dulu adalah petugas yang sering menangkap masyarakat, termasuk kakakku, bapak ibuku, tetangga dan saudaraku di kampungku.
Mengapa ditangkap petugas kehutanan? Kami ditangkap, dikejar, jika ketahuan menggembala sapi di hutan tanaman, ketika mengambil kayu di hutan, ketika mengambil daun jati di tanaman muda. Padahal itulah sumber penghidupan kami masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani di Jawa Tengah.
Bagi kami, profesi sebagai petugas kehutanan adalah mengawasi dan menangkap tetangga dan bahkan saudara sendiri. Saat itu saya tidak tahu mengapa demikian. Setahuku petugas kehutanan adalah musuh bagi tetangga dan saudara sendiri.
Maka aku tidak mau kalau besar nanti menjadi "orang hutan" eh,.. orang kehutanan. Idolaku adalah menjadi guru. Karena guru selalu mengajari masyarakat, bukannya menangkapi dan memenjarakan masyarakat.
Namun Tuhan berkehendak lain. Saat lulus SMP dengan sumber biaya dari mengambil hasil hutan, saya justru diterima masuk sekolah kehutanan di Jawa Barat.
Lho kok bisa begitu? Ya, meski saya sangat tidak mau menjadi "orang hutan", orang kehutanan, namun saya malah keterima di sekolah kehutanan yang notabene tidak mbayar alias sekolah gratis. Sekolah ini dibiayai oleh kementerian kehutanan.
Alhasil selama tiga tahun saya mendapatkan ilmu kehutanan mulai dari pembibitan tanaman hutan, penanaman, pemeliharaan, produksi hasil hutan, konservasi hutan, perlindungan hutan, termasuk perlindungan dari gangguan manusia alias harus menjaga hutan.
Akhirnya setelah tiga tahun dididik, disuapi ilmu, diberi makan dari negara, maka jadilah saya berdarah rimbawan, forester, calon orang kehutanan.
Lulus dari sekolah kehutanan itu aku keterima sebagai pegawai di lembaga pelatihan kehutanan juga. Bahkan pendidikan lanjutan di suatu fakultas kehutanan di Jogja hingga jenjang pendidikan tertinggiku di Bogor juga pada bidang kehutanan dan dibiayai oleh kementerian kehutanan.
Lengkaplah sudah karmaku, tidak bisa mengelak lagi harus mengabdi sebagai forester, rimbawan. Sering beberapa kawan katakan profesiku dengan penggilan akrab "orang hutan".
Maka jadilah aku "orang hutan" sebagai Sweet Karmaku hingga saat ini pada 32 tahun pengabdianku. Aku menyadari bahwa manusia hanya sekedar berkeinginan, namun Tuhan Sang Pencipta yang paling tahu yang terbaik buat umatnya.
Sebagaimana firman Tuhan "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216). Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah hambamu ini.
Sahabat, itulah Sweet Karma ku. Ternyata justru "Orang Hutan" itulah profesi dan jalan hidupku. Terima kasih Ya Allah, segala puji bagiMu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H