Undang-Undang Perkawinan
Pada tanggal 02 Januari 1974 merupakan lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Negara Indonesia yang telah berlaku yang pada awalnya karena ada tuntutan dari sebagian masyrakat seperti yang dilakukan oleh Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928 agar dalam perkawinan tersebut terdapat kedudukan wanita yang harus mendapatkan perbaikan. Karena pada masa itu, banyak permasalahan yang terjadi seperti poligami, perkawinan paksa, maupun talak atau perceraian yang acuh tak acuh. Sehingga pemerintah Indonesia memibentuk  Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) pada tahun 1950-an dalam bidang perkawinan tersebut. Dan terbentuklah pengaturan perkawinan RUU atau Rancangan Undang-Undang yang bersifat umum dan khusus (masing-masing agama).
Hubungan Undang-Undang Perkawinan dengan Berbagai Macam Realita yang Terjadi Saat Ini
Dilihat dari konteks agammanya, dalam pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Perkawinan ini ketika tahun 1973 Indonesia merasakan dampak negatif yang sangat luar biasa. Seperti yang diketahui, Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki berbagai macam suku, agama, budaya, dan sebagainya. Sehingga diperlukan hal yang seharusnya tidak bisa menyinggung dalam konteks tersebut walaupun Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam.
Seperti yang diketahui, seiring berkembangnya zaman dan masyarakat, banyak permasalahan yang terjadi dan semakin memanas yang berkaitan dengan perkawinan. Seperti contoh adanya perkawinan sejenis, perkawinan campuran, kawin kontrak, perkawinan berbeda agama, dan sebagainya.
Pengaruh Hukum Islam dalam Undang-Undang Perkawinan
Seperti yang diketahui, hukum Islam pada saat ini telah menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia karena didukung oleh golongan hukum mayoritas (kultur hukum dari msyrakat Islam).
Karena negara Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, hukum Islam sangat berpengaruh terhadap proses Rancangan Undang-Undang Perkawinan sehingga terdapat dinamika dalam perjalannya hingga pengesahannya.
Diketahui, proses pengesahan RUUP tidak berjalan lancar dikarenakan adanya perbedaan pendapat dari beberapa anggota elit politik, DPR, hingga masyarakat. Dan isi tuntutan yang diajukan seperti pada tahun 1950-an.
Sehingga sampailah pada tuntutan  berisi soal agama yang dimana Fraksi Persatuan Pembangunan pada pasal-pasalnya dianggap tidak sesuai dengan dan bertentangan dengan aturan agama atau ajaran Islam.
Akhirnya, ketika Fraksi Persatuan Pembangunan tersebut setelah RUU masuk ke DPR yang dimana berpegang pada hasil musyawarah ulama Nahdalatul Ulama, mereka membahas dan mencari tahu pasal demi pasal mengenai aturan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dan dikarenakan adanya hal tersebut, semua pasal diamandemen agar tidak bertentangan.