Opini-opini pribadi muncul dari status facebook akun personal, kicauan twitter, timeline line, kadang-kadang ig story, lalu semua-semua jadi pengamat politik dadakan. Subjektivitas opini mulai bermunculan di ruang publik baru.Â
Warga bingung dengan pemberitaan yang ada sebab setiap narasumber mengklaim kebenarannya masing-masing. Kebenaran macam mana yang seharusnya dianut dari wacana hasil dari perbicangan publik yang riuh dan simpang siur?
Bersikap Rasional- Validitas Kebenaran
Memang tidak keliru menyampaikan pendapat maupun aspirasi di ruang publik melalui media-media yang ada, apalagi ini adalah negara demokrasi. Sementara, demokrasi dapat berjalan dengan baik jika dalam suatu negara terdapat ruang publik yang egaliter yakni setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menyampaikan idenya (Littlejohn, 2009).
Jika ditinjau secara politis maka setiap warga negara terlibat aktif dalam peristiwa sosial politik kenegaraan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bentuk keikutsertaan tersbeut memang bisa dituangkan melalui opini di media online maupun media sosial, tapi bukan saling balas umpatan atau ujaran kebencian, melainkan argumentasi berdasar fakta dan data demi sebuah konsensus.
Pendapat, ide, penilaian yang disampaikan semestinya objektif dan mengandung validitas kebenaran. Validitas kebenaran menurut Habermas dalam Uwe (2009) mencakup 4 hal diantaranya kompetensi linguistik atau validitas kejelasan dan kompetensi komunikasi yang terdiri dari tiga yakni kebenaran, legitimasi, dan ketulusan.
Dalam sebuah perbincangan publik ada yang disebut komunikasi komunikatif menurut Habermas yang memungkinkan adanya saling pengertian diantara partisipan yang terlibat sehingga menimbulkan kesepahaman atau konsensus. Griffin (2003) menyebut konsensus harus memenuhi 3 syarat yakni, akses yang sama, kebebasan berargumentasi., dan justifikasi.
Akses yang sama. Setiap orang, bahkan yang memiliki standar minimum dalam kompetensi komunikasi memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Sepanjang masing-masing orang menggunakan bahasa yang sama-sama dimengerti, maka setiap orang bebas menggunakan akses mendengar ataupun berbicara yang dimilikinya.
Kebebasan berargumentasi. Setiap orang haruslah diberi kebebasan dalam menyampaikan ide, mempertanyakan ide-ide lainnya, dan menunjukkan sikap secara jujur, menyampaikan hasrat maupun kebutuhannya
Justifikasi. Setiap orang yang berpartisipasi haruslah memiliki komitmen pada standar universalitas. Dalam artian, penerimaan tidak hanya terhadap orang-orang yang bersepakat namun juga terhadap siapa saja yang terkena efek dari proses partisipasi yang terjadi.
Lebih lanjut, Habermas (2009) menyebut proses validasi ini tidak hanya melihat konteks dari informasi yang disampaikan, namun juga menganalisis keseluruhan isi berita yang ada. Hal ini dikarenakan analisis terhadap satu artikel saja dapat menimbulkan bias. Menganalisa keseluruhan isi berita dapat membantu untuk memahami persoalan yang terjadi pada sebuah berita.