Mohon tunggu...
Galuh Pandu Larasati
Galuh Pandu Larasati Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis, Presenter, MC

Jurnalis, Presenter, MC

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Society of the Spectacle, Ajang Saling Pamer di Medsos

25 Agustus 2018   09:42 Diperbarui: 26 Agustus 2018   19:37 1986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: mauconline.net

Sulit disangkal aktivitas pertama saat kita bangun tidur adalah mencari handphone, memeriksa notifikasi, scroll timeline media sosial, mulai dari Instagram, Facebook, Twitter, Youtube, Line, Whatsapp, askfm, dan media-media sosial lainnya. 

Saat bangun tidur maupun saat senggang kadang kita berlama-lama menatap gadget kita untuk melihat update kehidupan orang lain yang dipaparkan maupun terpapar di media sosial bisa dalam bentuk IG story, vlog, maupun tweet.  

Kita mantengin medsos, jadi penonton sekaligus yang ditonton orang lain di media sosial. Aksi tonton-menonton itu disebut Guy Debord sebagai society of the spectacle atau masyarakat tontonan. Orang yang mempertontonkan disebut performer dan yang menontonnya disebut spectator. Di media sosial, semua penggunanya merupakan performer sekaligus spectator.

Teknologi berkembang, pola interaksi dan hubungan antar manusia berubah, kehidupan sosial juga berubah. Debord menyebut ada pergeseran nilai dari yang awalnya being (ada), menjadi having (memiliki), selanjutnya menjadi appearing (tampak). 

Dari yang “ada” bergeser menjadi keinginan untuk “memiliki” atau mengonsumsi suatu komoditas, lalu ketika masuk pada nilai tampak (appearance) maka mengharuskan munculnya fungsi prestise, nampak mewah, dan berkelas. 

Sehingga pada akhirnya orang modern diharuskan untuk memperhatikan citra, gengsi, dan tampilan yang mewah dalam mengonsumsi suatu komoditas bukan semata karena kegunaannya. Hal ini yang melahirkan sifat konsumtif  dari membeli barang-barang branded dengan harga tidak wajar sampai operasi plastik supaya mirip dengan selebriti idolanya.

Kalo diklasifikasikan ada 5 kategori tontonan di media sosial. Pertama tontonan keseharian. Apa yang kita lakukan sehari-hari, pergi ke mana, makan apa, nongkrong dimana, temen-temennya siapa, kerja dimana, kuliah dimana, hobi, selera musik, sampe, obrolan di media chatting juga dipertontonkan di media sosial. Kedua tontonan identitas. 

Sebagai performer dia pengen menunjukkan dari komunitas atau perkumpulan orang-orang seperti apa dia berasal, perkumpulan anggota arisan sosialita, fans klub bola, pecinta sastra, atau lagi nonton konser, pake barang-barang bermerk, dan semacamnya, semuanya ditunjukkan supaya seluruh dunia tau kalo peformer itu keren. Ketiga tontonan anti mainstream. 

Ini biasanya dilakukan sama orang-orang yang antimainstream. Mereka ini suka mempertontonkan kalo dirinya berbeda dari yang lain, baik itu hobi, opini, selera musik, dan lainnya. Keempat adalah tontonan kepedulian. Peformer tipe ini suka membagikan kepeduliannya dengan orang lain seperti memberikan ucapan selamat ulang tahun, selamat wedding, atau turut berbelasungkawa. 

Tontonan kelima adalah tontonan kepalsuan. Peformer yang satu ini suka mengklaim sesuatu milik orang lain, seperti opini, quotes, sampai barang-barang branded milik orang lain diakui miliknya. 

Kadang suka posting foto selfie pake B16 atau 360, abis itu posting caption pantai isinya full muka semua, atau posting foto sexy tapi captionnya bijak, wkw. Intinya peformance golongan ini udah memaknai hal virtual sebagai realitas. Kalo menurut Jean Baudrillard kita ini sudah masuk dalam simulakra, antara kenyataan dan virtual tidak bisa dibedakan lagi.

Yap, masyarakat dalam society of the spectacle memiliki kecenderungan untuk ingin diakui dan dianggap ada. Itulah sebabnya seseorang seringkali update dan show up di media sosial dengan menunjukkan kelebihannya mulai kecantikan, kelangsingan, kekayaan, kesuksesan, prestasi dan apapun yang dianggap keren oleh penontonnya. 

Manusia juga cenderung mengunggulkan dirinya sendiri, misal dengan sengaja mengunggah sesuatu di media sosial supaya mendapat like atau komentar pujian dari follower. Kita tidak dapat menghindari itu dan membenci itu karena setiap manusia punya sifat dasar narsis yakni mencintai diri sendiri. 

Tapi di sisi lain, media sosial bisa dimanfaatkan untuk personal branding. Unggahan di timeline atau feed itu mencitrakan dirimu dan siapa kamu. Jadi semacam CV online atau portofolio instan bagi siapapun yang membuka profile akun media sosialmu. 

Dan nggak jarang lho perusahaan menilai kepribadian seseorang melalui unggahan yang ada di akun-akun media sosial. Jangan buru-buru julid atau sirik ketika ada temanmu yang mengunggah prestasi di media sosial, karena itu bagian dari persiapan masa depan juga.

Di sisi lain lewat media sosial kita juga jadi punya akses untuk mengetahui kabar perkembangan teman-teman maupun sahabat di sekitar kita, begitu pula sebaliknya. Memang nggak ada yang keliru selama apa yang kita unggah nggak berlebihan dan melewati batas-batas etika. 

Yang penting tau batasan apa yang perlu dan tidak dibagikan ke ruang publik. Karena nggak semua hal pribadi bisa ditelanjangi di ruang publik dan nggak semua orang perlu tau kan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun