Pesta pernikahan biasanya digelar dengan cukup meriah bukan hanya satu pasang pengantin saja tetapi dua ataupun tiga pasang dengan ijab kabul sesuai dengan tata cara pernikahan suku Baduy Dalam, sehingga generasi yang muncul dari hasil pernikahan mereka hampir bersamaan waktunya. Pasangan keluarga baru ini harus segera membuka ladang baru untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka bahu membahu bekerja sama membangun ladang baru yang harus mereka capai cukup jauh dari pemukiman mereka dan biasanya mereka membangun saung untuk tempat beristirahat ataupun bermukim jika tidak kembali kerumah tentunya dengan membawa perbekalan yang cukup seperti pisang ataupun ubi kayu .
[caption id="attachment_301200" align="aligncenter" width="576" caption="Warung sederhana teteh di Cianangerang yang merupakan start point menuju Cibeo (foto koleksi pribadi)"]
Ada beberapa tanaman yang pantang di tanam di perkampungan baduy dalam seperti bawang-bawangan (daun bawang, bawang merah dan bawang putih) . Oleh sebab itu ketika aku dan rombongan akan memasuki Baduy dalam dengan mengambil rute jarak yang pendek hanya 2 jam perjalanan kaki saja yaitu dari Cinangerang yang memang belum semua orang mengetahuinya maka akan di dapati beberapa huma, tanaman rimpang, kluwek, Cengkeh, pisang, jagung dan ubi kayu. Start point aku di warung wilayah Cinangerang ternyata menampung hasil palawija suku baduy dalam yaitu jahe yang menggunung disalah satu gudang warung tersebut yang konon menunggu pemborong yang akan datang. Satu kilo jahe segar dihargai Rp. 5.000,- saja. (Ilmu dagang dan hitung menghitung dipelajari suku baduy dalam dari perekonomian dan harga pasar setempat)
Hari semakin malam dan waktu menunjukan pukul 21.00 wib, dua orang temanku yaitu Mba Wening dari Jogja dan Mba Rea dari Mamuju rupaya terbangun, untuk menghidupkan suasana saya mengajak mereka bergabung bertanya apa saja yang ingin mereka ketahui tentang suku baduy dalam selama mereka menginap disana. Memang ada ketentuan yang tidak tertulis dalam menginap di perkampungan suku Baduy. Siempunya rumah hanya mengijinkan menginap semalam dan jika masih ingin berlanjut untuk tinggal di perkampungan baduy maka harus berpindah pindah tempat setiap harinya dan itulah ketentuan adat disana yang harus kita patuhi sebagai pendatang.
[caption id="attachment_301147" align="aligncenter" width="640" caption="Gelas gelas Baduy yang dibuat oleh Bang Juli ketika menginap di rumah tante Dona (gambar diambil dari kamera tante Dona)"]
Mba Rea mengeluh sakit kepala ditengah perbincangan seketika itu juga Bang Sanip menawarkan diri untuk membelikan obat puyer yang ada diwarung sebelah. Baru kutahu ternyata Mba Rea tidak dapat menelan obat sama sekali, akhirnya setelah diberi berbagai saran akhirnya kita semua berhasil membujuknya untuk menelan obat puyer yang dicampur dengan sedikit air yang dituangkan kedalam gelas ciri khas baduy yang terbuat dari potongan bambu.
Dan kejadian yang menimpa Mba Rea ini memberiku pertanyaan bagaimana jika ada salah satu keluarga yang sakit, apakah mereka ke dokter mengingat di dalam perjalan ke Baduy dalam akan kita dapati sebuah puskesmas yang sudah tidak dihuni lagi dan dibiarkan kosong mengingat penduduk baduy setempat lebih menyukai berobat ke dukun daripada ke dokter meskipun hanya untuk melahirkan sekalipun. Dukun memang lebih dipercaya oleh mereka. Mungkin sedikit informasi tentunya kita tidak akan pernah lupa ketika ada berita yang menceritakan seorang warga baduy yang terluka akibat terjatuh dari ketingian tujuh sampai delapan meter saat akan mengambil daun sirih yang merambat dipohon dan berita tentang jatuhnya salah satu warga baduy inbi yang bernama Sangsang ini disampaikan oleh salah satu rekan Lody Koruo kepada kepala Badan SAR Nasional yang juga pernah menjadi komandan marinir tetapi mengalami jalan buntu akibat terbentur Hukum Adat.
[caption id="attachment_301156" align="aligncenter" width="575" caption="Jaku, Samili dan Kucing tiga bocah kampung Cibeo (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301158" align="aligncenter" width="300" caption="jaku sedang mengamati camilan kecil yang dipajang di warung teteh di Cinangerang (foto koleksi Mba Wening)"]
Para orangtua Baduy seringkali mengeluh karena banyaknya pedagang yang merupakan pendatang luar kerapkali menjajakan souvenir seperti kalung, gelang, gantungan kunci, kaos, selendang ataupun baju tidak lupa pula menjajakan makanan kecil sehingga anak anak baduy yang masih polos ingin mencicipinya dan hal inilah yang memberatkan mereka karena kerap meminta uang jajan. Adakalanya jika kita tidak waspada, para pedagang ini sering masuk ke rumah warga baduy dalam yang sedang dikunjungi oleh pelancong dan mengambil makanan ataupun sekedar membuat kopi untuk dirinya sendiri.
[caption id="attachment_301151" align="aligncenter" width="570" caption="Berjalan berbaris satu persatu (gambar diambil dari kamera Mba Rea)"]