Mohon tunggu...
kusnun daroini
kusnun daroini Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati sosial politik dan kebudayaan dan sosial wolker

Pemerhati / penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hari Santri dan refleksi "Resolusi Jihad" KH. Hasyim Asyari."

23 November 2018   22:32 Diperbarui: 9 Desember 2019   08:03 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah adalah kaca benggala untuk melihat siapa kita dan mau kemana arah tujuan yang hendak dicapai. Sejarah adalah tempat kita berpijak untuk meletakkan kesadaran kita yang sesungguhnya. Tanpa rekam jejak tersebut mustahil manusia akan tahu siapa dirinya, dimana berada, apa yang harus dilakukan sekaligus bagaimana harus berbuat pada sebuah pilihan dan tindakan.

Berarti, sejarah adalah variabel mutlak adanya dan menjadi keniscayaan pengetahuan yang mengada bersama kesadaran kita. Salah satu jejak yang harus kita refleksikan secara utuh dan menyeluruh adalah peristiwa perang semesta yang ditandai dengan peringatan yang kita kenal dengan perang 10 november 1945.

Banyak tulisan dan narasi sejarah yang menceritakan tentang peristiwa tersebut. Dan hampir seluruh warga bangsa ini sedikit banyak telah membaca tentang peristiwa tersebut sejak berada dalam bangku sekolah dasar. Namun bacaan demi bacaan kebanyakan hanya  berakhir dengan penghafalan nama pelaku, tempat dan tanggal peristiwa. Selebihnya setting nalar sang penulis hanya membubui dengan peristiwa heroik yang terjadi dipermurkaan. Luput dari upaya penggalian secara mendalam tentang mengapa peritiwa itu terjadi dan siapa aktor dibalik layar yang sering kali tak terkatakan. Karena hal ini akan terkait erat dengan politik dan kekuasaan.

 Mengapa perang 10 November meledak.

Dalam tradisi pemikiran tentang sejarah acapkali ternarasikan secara linier. Paparan narasi dan diskripsi penulisan sejarah lebih banyak diungkap dengan rumus 5W+1H. Konskwensinya adalah apa yang tertulis lebih mengarah kepada apa yang nampak dipermukaan. Persis seperti ketika wartawan meliput peristiwa kecelakaan. Sang penulis  jarang sekali mendudah dengan pertanyaan mengapa tragedi itu terjadi. Itupun terkadang cita rasa tulisan masih didominasi oleh paradigma dan kecenderungan cara pandang dan idiologi sang penulis.

Akurasi peliputan akhirnya menjadi pertanyaan menggantung yang tidak pernah terjawab secara tuntas dan bernas.

Demikian juga dalam hal penulisan sejarah, praktek tendensi idiologi akan menjadi kata kunci untuk menggiring imajinasi pembaca pada sudut pandang yang digunakan oleh si penulis sejarah.

Seperti halnya penulisan sejarah peristiwa 10 november yang kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan. Persepsi dan asumsi generasi setelahnya hanya tahu bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa heroik yang dilakukan oleh para pemuda dan arek-arek Surabaya. Ditambah dengan peran Bung Tomo sebagai pendobrak semangat para pejuang untuk melawan sekutu dengan persenjataan seadanya. Berulang-ulang sejarah mencatat bahwa pemicu dari peristiwa besar tersebut adalah karena ulah para pemuda yang menurunkan bendera Belanda diganti dengan Bendera Merah putih. Anggapan lain adalah  pemantik utamanya adalah terbunuhnya Jendral AWS Mallaby ditangan para pejuang.

Narasi diatas dalam lembar peritiwa hanya  menjadi bagian dari riak gelombang  longitudinal yang bersumber dari titik picu yang dijadikan sumbu utama dari rentetan kejadian berikutnya. Karena senyatanya satu bulan sebelum peritiwa meletusnya perang 10 November ada geliat dari kekuatan besar yang terhimpun dalam wadah yang dinamakan kaum Santri dan para Kiai. Kekuatan ini jarang sekali dihitung dalam konstelasi politik pergerakan kala itu. Wajar karena kaum sarungan atau yang lebih dkenal dengan kelompok tradisional jarang turut ambil bagian pada pentas langsung seperti faksi politik organ pergerakan yang lainnya.

 Pertimbangan dan sikap politik demikian karena melihat dari kultur dan cara pandang dari kekuatan besar kultural yang pada akhirnya membentuk dan menyebut dirinya sebagai NU tersebut lebih difensip dalam bersikap. Karena paradigma yang  dikantongi oleh jaringan islam tradisional ini lebih bersikap menjaga dan merawat sekaligus melestarikan politik kebangsaan dari pada berorentasi ke politik kekuasaan. Kalaupun diibaratkan sebagai tubuh dalam bangsa ini maka kekuatan riil yang dimiliki oleh kelompok Nahdliyin (demikian sebagian kalangan menyebutnya) adalah diibaratkan sebagai kerangka sekaligus urat nadi dari tegaknya realitas kebangsaan.

Kedewasaan dan kehati-hatian dalam bersikap inilah yang pada akhirnya melahirkan generasi dan sederet nama besar seperti Mbah Hasyim Asy'ari dan para tokoh Nahdliyin yang lainnya jika sekali muncul  maka akan berefek dahsyat pada kancah politik Nasional. 

Hulu ledak 10 November bersumbu dari Resolusi Jihadnya KH Hasyim Asy'ari.

Tatkala pekik kemerdekaan hangat berkumandang seantero negeri menyambutnya, tidak berselang lama gelombang dahsyat ekspansi sekutu yang dimotori oleh Inggris dan Belanda kembali menjarah republik tercinta. Sontak saja aksi sepihak kawanan balatentara sekutu tersebut membuat goncang republik yang baru saja dilahirkan. Seluruh kekuatan bangsa dari semua lapisan kususnya para pendekar Pergerakan dibikin kalang kabut untuk menyikapinya.

Reaksi bawah sadar bagi para pendiri dan tokoh-tokoh bangsa pada waktu itu adalah hanya ada satu kata "lawan". Namun dari sekian pengalaman pergerakan yang sudah terpraktekkan dalam perjalanan mendirikan republik peristiwa yang disebut sebagai agresi militer  besar-besaran tersebut belum sempat terumuskan.

Kegalauan dalam kegentingan yang ada pada akhirnya hanyalah berujung pada dua opsi  strategi besar dalam menghadapinya yaitu antara diplomasi dan perlawanan fisik. Mengambil dan memilih sikap diantara keduanya sama-sama membawa resiko yang sangat tinggi. Karena pilihan aman untuk berdiplomasipun sangat jauh dari harapan mengingat bangsa Indonessia pada waktu itu  secara de jure belum sepenuhnya diakui oleh bangsa-bangsa dunia kususnya bagi mereka yang berstatus sebagai negera imperial-kolonialist. Kalaupun memilih sikap melawan dalam pengertian konfrontasi fisik, bangsa ini belum memiliki kekuatan militer yang solid dan masuk akal.

Ditengah situasi ambigu disemua lapis kaum pergerakan tersebut muncullah sebuah sikap radikal yang pada waktu itu sama sekali tidak di(per)hitungkan oleh kawanan pergerakan dan organisasi politik manapun. Akhirnya kaum Nahdliyin yang dipelopori oleh Mbah Hasyim dan para tokoh yang lainya dalam lingkar jaringan Nahdlotul Ulama dengan seluruh lapis kekuatan dan jaringannya dikonsolidir untuk mengambil sikap tegas dan jelas.

PBNU yang mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, berdasar amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais Akbar KH Hasyim Asy'ari, dalam rapat lanjutan PBNU yang diselenggarakan pada hari kedua yang  dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah,tepatnya pada tanggal 22 Oktober menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama "Resolusi Jihad Fii Sabilillah" ( kemudian dikenal dengan ebutan Resolusi Jihad NU), yang sebagian dari  isinya sebagai berikut:

"Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)..." 

Inilah sebuah piagam terbesar dan monumental yang kemudian memicu gelombang perlawanan besar yang dimotori oleh kalangan santri dan para milisi sipil untuk melakukan perang semesta dipersada tanah air. Karena pasca diserukan seruan resmi dari Hadratussyeh Hasyim Asy'ari tersebut gerakan rakyat kususnya diarea Surabaya dan sekitarnya nyaris tak terbendung.

Dalam waktu singkat seruan Jihad tersebut menyebar kesegala penjuru tanah air lebih kusus untuk area Jawa dan Madura.  Momentum yang sangat tepat bagi rakyat Indonesia karena para milisi sipil yang terkordinir lewat satuan mantan didikan PETA dan HEIHO beserta para laskar santri yang terkordinir dalam wadah Hisbullah dan Sabilillah baru saja memenangkan pertempuran dengan sisa-sisa tentara Jepang. Rakyat sangat paham situasi karena pusat kekaisaran Jepang sudah menyatakan diri menyerah dan bertekuk lutut setelah Bom Atom meluluh-lantahkan Hirosima dan Nagasaki. Sehingga seruan Resolusi Jihad tersebut bak siraman bahan bakar baru pada bara api yang menyala-nyala.

Faktor lainnya yang menjadi pemicu bangkitnya segenap santri, para pemuda dan pejuang adalah pidato yang berapi-api yang dikumandangkan  oleh Bung Tomo. Pidato inipun digemakan dua hari setelah pencetusan Resolusi Jihad dari Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Dibekali dengan jaringan kewartawanannya, Bung Tomo juga tahu persis tentang informasi mendaratnya pasukan Sekutu Pada tanggal 25 oktober. Sehingga pagi-pagi sekali pada tanggal 24 Oktober 1945, Suaranya sudah menggema seantero Seantero Jawa kususnya area Surabaya dan sekitarnya. Salah satu Cuplikan dari isi pidato sang orator tersebut adalah ; "

"Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

Suasana panas yang membakar semangat penduduk Kota Surabaya akibat pengaruh Resolusi Jihad dan pidato yang disampaikan Bung Tomo, makin memuncak sewaktu kapal perang Inggris HMS Wavenley menurunkan pasukan di dermaga Modderlust Surabaya pada 25 Oktober 1945. Karena tokoh-tokoh Surabaya menolak penurunan pasukan Inggris ke Surabaya, maka pihak Inggris mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur. Bersandarnya HMS Wavenley sendiri pada dasarnya merupakan hasil perundingan yang sulit, karena sehari sebelumnya, tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust antara utusan Sekutu yang diwakili Colonel Carwood dan pihak TKRL yang diwakili Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak.

4 hari Perang Kota  sebelum Perang  10 November Meledak.

Sebelum pecahnya perang smesta 10 Novemeber ternyata ada rangkaian peristiwa yang tidak tercata dalam sejarah resmi yang sudah kita kenal..

Selain faktor utama tentang seruan jihad Oleh PBNU dan Pidato Bung tomo, ada beberapa faktor yang memicu dan menggiring para pemuda dan pejuang untuk segera mengambil sikap tegas untuk melawan. Padahal sikap menolak dan melawan ini sangat bertentangan dengan kebijakan para pejabat tinggi negara yang berada di Jakarta. Pasalnya menurut penilaian Soekarno dan kawan-kawan adalah balatentara sekutu mendarat tersebut hanyalah utusan resmi untuk menangani interniran dan melucuti para tawanan perang Jepang sekaligus melucuti persenjatan dan peralatan perang. Karena perang sudah usai.

Apapun alasannya, bahwa ketika warga asing apalagi dilengkapi dengan satuan tempur dengan kekuatan penuh melakukan invansi teritori , adalah sebuah penghinaan dan pelecehan bagi kedaulatan negara dan bangsa Indonesia. Selebihnya, ingatan kolektif bangsa Indonesia yang barusan meneriakkan pekik kemerdekaan akan selalu terutama pada politik kolonialist yang masih terus menghantui dalam pikiran mereka. 

Arogansi sekutu inilah yang kemudian memicu dan membakar semangat perlawanan Para laskar santri dan segenap pemuda kota yang dikenal dengan arek-arek surabaya untuk melebur dan bersatu padu mengepung pos-pos pertahanan yang ada dikota. Tepatnya pada tanggal 26 Oktober jam 16.00 secara sporadis dengan persenjatan seadanya, dan tanpa adanya komando, didahului dengan pekikan Takbir berartus-ratus santri beserta pemuda tersebut   menyerang post Belanda yang berada di Benteng miring di sebelah utara gedung Sekolah Al-Irsyad.

Terjadilah clash-fisik antara sekutu dengan satuan gelombang para laskar dan pemuda kota yang sangat tidak seimbang tersebut. Dengan persenjataan seadanya mulai bambu runcing, tombak, keris, samurai, senapan rampasan  diiringi dengan lemparan batu, akhirnya puluhan pejuang bertumbangan bersimbah darah oleh berondongan senapan sekutu yang serba  canggih kala itu.

Pagi hari tanggal 27 Oktober 1945 kota Surabaya gemetar diguncang kemarahan, sebab di tengah beredarnya kabar gugurnya santri dan pemuda yang mengepung pos pertahanan Sekutu di Sekolah Al-Irsyad beredar pula kabar bahwa Sekutu diam-diam mendaratkan lebih banyak pasukan ke Surabaya untuk memperkuat pos-pos pertahanannya. Dan warga kampung mulai memasang barikade-barikade di gerbang masuk kampungnya dengan kayu, bambu, drum, meja, kursi, ban, gedek, kawat, dll.

Diperkirakan pada jam 09.00 di atas langit Surabaya melayang-layang pesawat militer jenis Dakota dari Jakarta menebarkan ribuan selebaran yang ditanda-tangani Mayor Jenderal D.C.Hawthorn yang berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada orang membawa senjata akan langsung ditembak di Ancaman Sekutu yang ditanda-tangani Mayor Jenderal D.G.Hawthorn itu disambut caci-maki dan tantangan oleh penduduk Surabaya. Suasana makin tegang. 

Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba muncul kelompok-kelompok pasukan Brigade 49 Mahratta bergerak ke jalan raya utama Surabaya, melewati kantor Gubernuran sambil menempelkan selebaran-selebaran sepanjang jalan yang mereka lewati. Tindakan pasukan Inggris-India ini menyulut amarah para pemimpin dan seluruh penduduk Surabaya. Kira-kira jam 12.00 pecah pertempuran di depan Rumah Sakit Darmo yang dalam sekejap diikuti pertempuran di semua pos pertahanan Inggris di Keputran, Kayoon, Gubeng, Simpang, Ketabang, Kompleks HBS, Gemblongan, Dinoyo, Wonokromo, Palmboom, Lindeteves, Onderlingbelang, Benteng Miring.

Berlanjut pada Tanggal 28 Oktober 1945, TKR sebagai aparat pertahanan dan keamanan Negara yang harus tunduk dan patuh pada perintah pemerintah pusat di Jakarta, ternyata terprovokasi perlawanan arek-arek Surabaya, sehingga tanpa sadar ikut bertempur mengepung dan memburu tentara Inggris. Oleh karena sebagian besar TKR adalah didikan PETA, Heiho dan Hisbullah, jumlah tentara Inggris yang tewas pun dengan cepat bertambah. Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby yang menyaksikan pasukannya akan habis, buru-buru menghubungi atasannya: Jenderal Christison di Singapura. Mallaby minta agar dilakukan gencatan senjata, penghentian tembak-menembak. 

Tanggal 29 Oktober 1945, presiden Soekarno dan wakil presiden Moch. Hatta serta Menhan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Tanggal 30 Oktober 1945, gencatan senjata dicapai tetapi butuh sosialisasi karena komunikasi terbatas dengan akibat masih taksi tembak-menembak di berbagai tempat di Surabaya. Malangnya, sore hari dalam usaha sosialisasi gencatan senjata, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas digranat oleh para pejuang  dengan serangan mendadak.

Terbunuhnya sang jendral besar inilah lantas menyulut peprangan dengn sekal yang lebih besar. Begitulah, , pada 31 Oktober 1945 Mayor Jenderal E.C.Mansergh mengeluarkan ultimatum yang sangat keras agar rakyat Surabaya menyerahkan pembunuh Mallaby dan seluruh masyarakat  yang bersenjata untuk menyerahkan diri. Kalau ultimatum tidak diindahkan, maka pada 10 November 1945 jam 10.00 Kota Surabaya akan dihancur leburkan  dari segala penjuru mulai  darat, laut dan udara.  Dan dalam hitungan Mayor Jenderal E.C.Mansergh, kota Surabaya akan jatuh dan bertekuk lutut hanya dalam tempo tiga hari.

Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick (1989) sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif -- yang tiga minggu di antaranya -- sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia. Dugaan Mayor Jenderal E.C.Mansergh bahwa kota Surabaya bakal jatuh dalam tiga hari meleset, karena arek-arek Surabaya baru mundur ke luar kota setelah bertempur 100 hari.

Sementara ditinjau dari kronologi kesejarahan, Pertempuran Surabaya pada dasarnya adalah kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat Empat Hari pada 26 -- 27 -- 28 -- 29 Oktober 1945, yaitu sebuah Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang berlangsung sangat brutal dan ganas, dengan kesudahan sekitar 2300 orang -- 2000 orang di antaranya pasukan Brigade ke-49 termasuk Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945 -- tewas dalam pertempuran man to man itu. Dan Perang Rakyat Empat hari pada 26-27-28-29 Oktober 1945 itu terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad PBNU yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945.

Biarpun tidak di(ter) catat atau sengaja dikaburkan dalam narasi resmi sejarah Pergerakan Revolusi Indonesia, Nama KH Hasyim Asy'ari dan para tokoh nahdliyin lainnya tokh akhirnya realitas sejarah akan terkuak dengan sendirnya. Ibarat intan berlian yang terbalut oleh lumpur dan kotoran, pada saatnya orang akan mencari dan menempatkan layaknya maqam dan derajatnya yang mulia.

Magelang, 15 November 2018.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun