Hulu ledak 10 November bersumbu dari Resolusi Jihadnya KH Hasyim Asy'ari.
Tatkala pekik kemerdekaan hangat berkumandang seantero negeri menyambutnya, tidak berselang lama gelombang dahsyat ekspansi sekutu yang dimotori oleh Inggris dan Belanda kembali menjarah republik tercinta. Sontak saja aksi sepihak kawanan balatentara sekutu tersebut membuat goncang republik yang baru saja dilahirkan. Seluruh kekuatan bangsa dari semua lapisan kususnya para pendekar Pergerakan dibikin kalang kabut untuk menyikapinya.
Reaksi bawah sadar bagi para pendiri dan tokoh-tokoh bangsa pada waktu itu adalah hanya ada satu kata "lawan". Namun dari sekian pengalaman pergerakan yang sudah terpraktekkan dalam perjalanan mendirikan republik peristiwa yang disebut sebagai agresi militer  besar-besaran tersebut belum sempat terumuskan.
Kegalauan dalam kegentingan yang ada pada akhirnya hanyalah berujung pada dua opsi  strategi besar dalam menghadapinya yaitu antara diplomasi dan perlawanan fisik. Mengambil dan memilih sikap diantara keduanya sama-sama membawa resiko yang sangat tinggi. Karena pilihan aman untuk berdiplomasipun sangat jauh dari harapan mengingat bangsa Indonessia pada waktu itu  secara de jure belum sepenuhnya diakui oleh bangsa-bangsa dunia kususnya bagi mereka yang berstatus sebagai negera imperial-kolonialist. Kalaupun memilih sikap melawan dalam pengertian konfrontasi fisik, bangsa ini belum memiliki kekuatan militer yang solid dan masuk akal.
Ditengah situasi ambigu disemua lapis kaum pergerakan tersebut muncullah sebuah sikap radikal yang pada waktu itu sama sekali tidak di(per)hitungkan oleh kawanan pergerakan dan organisasi politik manapun. Akhirnya kaum Nahdliyin yang dipelopori oleh Mbah Hasyim dan para tokoh yang lainya dalam lingkar jaringan Nahdlotul Ulama dengan seluruh lapis kekuatan dan jaringannya dikonsolidir untuk mengambil sikap tegas dan jelas.
PBNU yang mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, berdasar amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais Akbar KH Hasyim Asy'ari, dalam rapat lanjutan PBNU yang diselenggarakan pada hari kedua yang  dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah,tepatnya pada tanggal 22 Oktober menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama "Resolusi Jihad Fii Sabilillah" ( kemudian dikenal dengan ebutan Resolusi Jihad NU), yang sebagian dari  isinya sebagai berikut:
"Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)..."Â
Inilah sebuah piagam terbesar dan monumental yang kemudian memicu gelombang perlawanan besar yang dimotori oleh kalangan santri dan para milisi sipil untuk melakukan perang semesta dipersada tanah air. Karena pasca diserukan seruan resmi dari Hadratussyeh Hasyim Asy'ari tersebut gerakan rakyat kususnya diarea Surabaya dan sekitarnya nyaris tak terbendung.
Dalam waktu singkat seruan Jihad tersebut menyebar kesegala penjuru tanah air lebih kusus untuk area Jawa dan Madura. Â Momentum yang sangat tepat bagi rakyat Indonesia karena para milisi sipil yang terkordinir lewat satuan mantan didikan PETA dan HEIHO beserta para laskar santri yang terkordinir dalam wadah Hisbullah dan Sabilillah baru saja memenangkan pertempuran dengan sisa-sisa tentara Jepang. Rakyat sangat paham situasi karena pusat kekaisaran Jepang sudah menyatakan diri menyerah dan bertekuk lutut setelah Bom Atom meluluh-lantahkan Hirosima dan Nagasaki. Sehingga seruan Resolusi Jihad tersebut bak siraman bahan bakar baru pada bara api yang menyala-nyala.
Faktor lainnya yang menjadi pemicu bangkitnya segenap santri, para pemuda dan pejuang adalah pidato yang berapi-api yang dikumandangkan  oleh Bung Tomo. Pidato inipun digemakan dua hari setelah pencetusan Resolusi Jihad dari Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Dibekali dengan jaringan kewartawanannya, Bung Tomo juga tahu persis tentang informasi mendaratnya pasukan Sekutu Pada tanggal 25 oktober. Sehingga pagi-pagi sekali pada tanggal 24 Oktober 1945, Suaranya sudah menggema seantero Seantero Jawa kususnya area Surabaya dan sekitarnya. Salah satu Cuplikan dari isi pidato sang orator tersebut adalah ; "
"Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"