Era Gemilang  yang sulit  terulang.
Sepeninggal para begawan dan para  bangsawan tulen sebutlah orang-orang seperti Goes Dur, Romo Mangun Widjaya, Umar Kayam , WS rendra serta tokoh-tokoh pembaharu yang lain nampak jelas bahwa  perjalanan bangsa ini seperti melaju tanpa rem dan tidak peduli dengan adanya rambu-rambu moralitas tradisi yang luhur dan beradab. Para tokoh yang  tersebut diatas adalah  orang-orang yang sempat menjadi "bidan" dari proses lahirnya orang-orang kritis dan peduli akan nasibnya republik serta generasi kedepan.
Untaian Pemikiran dan kritik yang tajam yang mereka lontarkan kemudian menjadi khasanah pemikiran sekaligus membuka cakrawala baru bagi dunia pergerakan. Gagasan  dan konsep tentang demokrasi terasa hidup dan penuh dengan sejuta makna. Terbukti dengan  merebaknya gerakan pemikiran yang begitu produktif merembes dan masuk tak terbendung keberbagai lokus dalam latar wacana dunia pemikiran yang tidsak jarang menjadi rumus bagi  teori-teori sosial yang paten. Tak heran jika menjamurnya banyak forum dan organisasi perlawanan kritis terhadap rezim pada waktu itu juga terinspirasi dari buah pemikiran para tokoh sang begawan yang saya sebut diatas.
Sungguh beruntung bagi orang-orang yang secara lahiriah pernah terlahir dan sempat merasakan "momongan dan belaian" orang-orang hebat diatas. Karena  Hampir semua peristiwa penting dan strategis yang tertoreh dalam lembaran sejarah bangsa adalah juga tidak lepas dari besutan serta "tirakatan pemikiran" para begawan tersebut.
Biarpun diantara mereka tidak selalu ketemu  dalam satu meja, ide dan gagasan yang mumpuni seolah terjalin  secara apik dan bernas. Kekuatan dan niat suci mereka selalu gayung sambut dengan kemauan serta keberanian generasi muda pada waktu itu mempunyai "ghiroh " perubahan bangsa yang begitu meluap-luap.  Ada sensor motorik yang selalu nyambung kemudian membentuk lingkar atmosfer pergerakan yang tak tertahankan.
Seperti halnya  Imajinasi tentang Dilan sebagai sosok fenomenal pemuda dalam novel yang ditulis oleh Pidi Baiq. Novel ini juga sedikit banyak terilhami oleh tokoh-tokoh dizamannya yang secar kebetulan  setting sejarah dalam novel tersebut muncul diera 1990 an . Hal itu bisa kita amati dari sepenggal cerita yang sempat secara jelas menunjukkan bahwa sosok Dilan Memajang potretnya Tokoh Revolosioner Iran Yaitu Ayathulloh Rukhullah Khomaini. Seorang tokoh pejuang kemerdekaan sekaligus mampu menggulingkan Pemerntahan dikatator tiran Rheza Pahlevi.
Tidak salah  dan berlebihan jika sang Pidi Baiq berupaya menghadirkan kembali sebuah "pergumulan aneh"  era 90-an tersebut ketengah zaman sekarang. Yaitu sebuah zaman yang boleh dibilang diliputi oleh atmosfer sosial yang heroik, menegangkan dan penuh dengan mozaik pergolakan sosial yang altruistik.
Bisa juga sang penulis juga lagi merindukan era yang oleh sebagian orang disebut sebagai momentum kebangkitan sekaligus lahan subur bagi benih-benih pemberontakan terhadap rezim-rezim kemapanan kala itu. Sehingga nampak paradok ketika impian dan lamunan  era 90-an jika dikontraskan dengan latar Zaman kekinian yang penuh sesak dengan peradaban  serba kulit, datar dan cenderung norak tapi sepi jika dikuliti isinya. Kecenderungan Orang hannya sibuk bicara tentang kesuksesan, eksistensi, cenderung primmordial dan latah.  Â
kartu kuning Jokowi adalah fenomena anak ingusan.
Hingga diujung laga perdebatan wacana politik kekinian ala Jokowi, publik lagi disuguhi tontotan Pro kontra tentang  adegan yang pasca pelontaran kartu kuning JOKOWI dinilai aksi yang fenomenal. Seluruh media massa tak terkecuali media sosial hampir dua pekan berjalan terus memberitakan tanpa bosan. Seolah aksi yang dilakukan oleh ketua BEM UI tersebut menjadi aksi yang spektakuler.
Padahal jika disimak dan dicermati dari muatan konten kritiknya tidaklah menyerempet pada portal kekuasaan politik Jokowi. Sebutlah misal sampai pada narasi yang berbau subversif seperti lontaran kata-kata seruan untuk "mundur atau turunkan" seorang Jokowi.