Mohon tunggu...
kusnun daroini
kusnun daroini Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati sosial politik dan kebudayaan dan sosial wolker

Pemerhati / penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneladani si Mbok sebagai sumber inspirasi & energi tiada henti.

4 Januari 2018   17:16 Diperbarui: 13 Agustus 2018   05:08 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dipagi yang belum sempurna, nyaring terdengar suara  kas pojok bilik rumah. Satu dua peralatan beradu ibarat suara perkusi indah mengusik ketelinga. Gemanya menggugah dan menyingkap rasa malas yang membaluri sekujur tubuh dengan selimut. Karena kuatnya dekapan dingin merasuk ketulang sumsun. Aroma harum khas ramuan dapur masakan menyeruk masuk bertarung dengan desiran angin dari puncak lereng Gunung  Sumbing.

Rupanya itu adalah si Mbok yang sudah siaga sebelum ayam berkokok bersahutan. Ditemani suara gemericik pancuran air dapur yang terus mengalir, menambah eksotisnya  suasana. Pagi buta itu disulap menjadi ritual harian simbok yang indah mengasikkan.

Sesekali suara lantang sedikit serak menggedor rasa malas yang terus menyelimuti anak-anaknya. "Do ra butuh tangi po yo, arep do subuhan pora... kae srengengene wis arep menthor-menthor ". ( Ayo...pada gak butuh bangun ya, Mau sholat subuh pa nggak, tu lihat matahari dah mulai muncul).

Tidak selang lama periuk nasi dan lauk ala kadarnya sudah berjejer rapi menghiasi meja makan. Suasana dingin pagi itu mendadak sirna dengan kepulan uap nasi putih dan aroma gurih khas tempe goreng Magelang siap disantap. Tidak ketinggalan ceret seduan teh andalan selalu ada, dan memang harus ada sebagai lagu wajib menemai  saben harinya.

Yach.... itulah rutinitas si Mbok yang tekun dan teguh dilakukan tanpa mengenal hari libur dan tanggal merah. Sebuah ketulusan surga pagi hari  beliau suguhkan disetiap hari tanpa mengenal rasa lelah apalagi gundah.

Satu persatu dari kelima anaknya mulai bermunculan dari bilik kamar. Bahkan ada sebagian lain yang terhenyak kaget bergegas bangun dari ruang tamu. Karena semalaman habis nonton film akhir pekan andalan TVRI kala itu,  bersama teman dari anak tetangga sebelah.

Maklum rumah kami sudah menjadi langganan dari teman-teman untuk ikut bermalam sekedar ngobrol kemudian terlelap tidur dikursi-kursi tamu. Sebagian lain berselonjor tidur dengan menggelar tikar mendong dilantai. Sebuah pemandangan mirip ketika dibarak-barak pengungsian.

Rumah simbok sejak dari dulu seingat saya sudah menjadi langganan bagi para saudara dan kerabat dekat untuk singgah dan bermalam tiap harinya.  Saya kira ini bukan persoalan karena ada vasilitas TV disitu. 

Maklum diera awal-awal 80 an TV menjadi barang langka dan  berharga. Padahal dirumah sebelah Miliknya  Pak Kajipun juga ada TV. Bahkan dengan ukura inc yang lebih besar. Makhlum karena di sana dikenal sebaga orang terpandang, tokoh sentral dan panutan di kampung kami. Pertanyaanya mengapa orang-orang tidak berbondong bondong kesana. Tapi sebaliknya malah lebih memilih ngedumel dan bercengkerama hingga larut malam di rumah si Mbok..

Bukan cuman itu saja bahkan teman-teman dari tetangga desapun juga menyempatkan dolan dan terkadang ikut bermalam juga.

Ketika masih kecil pertanyaan  tersebut belum sempat mengusik dibenak saya. Belakangan ini saja disaat kami sudah berkeluarga saya mulai menemukan jawabannya. Ternyata itu semua kuncinya tetap kembali pada figur si Mbok. Dari yang saya amati ternyata beliau menerapkan sikap keterbukaan dengan siapapun dengan ketulusan dan keceriaan. Sebuah rasa solidaritas yang begitu dalam dan membekas tanpa batas.

Sikap dan kepribadian yang selalu mengutamakan kekeluargaan (nduluri;bahasa djawanya) yang melekat disetiap tindak tanduk dan perkataannya tersebut yang menjadikan dirinya sering disambangi oleh sekian kalangan.

Yang membuat saya heran sampai sekarang,  teman-teman sekolah bahkan kuliah saya yang sempat dolan kerumah, hampir semuanya terkesan dengan perangai beliau. Itupun juga dialami oleh teman dari adik-adik  juga kakak saya mempunyai kesan yang sama terhadap simbok. Terkdang salah satu diantara mereka juga sempat menanyakan kabar dan kesehatannya beliau.

Konsep rumah tanpa sekat dan batas privasi ini betul-betul dipraktekkan  cukup lama. Dan saya lihat model hubungan guyub-patembayat nirsekat individu inilah yang begitu kental menjadi tradisi turun temurun sampai pada generasi si Mbok. Satu keharmonisan melampaui dari sekedar konsep rumah tangga "harmonis" zaman now. 

Itulah satu kelebihan beliau yang membuat saya iri sampai sekarang.

Ketulusan memadati hati setiap yang mengenalnya.

Tidak hanya berhenti disitu, sampai sekarang kesan mendalam yang tertoreh pada orang-orang kampung masih betul-betul membekas. Rata-rata semua orang dari kerabat dekat beliau mempunyai kesan dan kenangan yang tersendiri dengan si mbok. 

"Mbokmu kuwi ra tau pisah seko luweng. Sopo wae sing teko dijak wedangan". Begitu ujar salah satu karibnya si mbok mengenang. Sanepan (ibarat) dari seseorang yang tidak pernah mrenggangkan tali persaudaraan dan silaturrohmi pada siapapun tanpa pandang bulu.

Faktualnya memang sebuah tungku dapur yang dipakai tersebut tidak pernah padam. Api dalam tungku itu nyaris sebagai "pepesan hidup" yang terus menyala dan hangat serta ceria pada siapapun. Itulah yang membuat heran orang disekitar kampung. 

Anehnya beberapa orang yang berkepentingan dengan si Mbok, lebih terasa nyaman dan hangat ketika ngobrol disekitar tungku tersebut. Sehingga fungsi rumah layaknya tempat untuk menghormati para tamu, harus bergeser tempat kepojok dapur.

Kesadaran saya muncul dari ungkapan jujur beberapa orang sohib beliau yang terus mengenangnya. Terlapas dari yang saya tahu ternyata banyak orang menilai lebih dari yang saya pahami.

Saya masih ingat pada pesan pesan beliau yang seringkali dikatakan disaat makan bersama keluarga." Ojo bosen-bosen ngopeni anak yatim" (Jangan pernah merasa capek dan bosan untuk memelihara anak-anak yatim). 

Ujar simbok disela-sela obrolan keluarga ketika itu. Rasa empati penuh terhadap anak-anak yatim dan juga beberapa anak yang dianggap agak sedikit"terbelakang" cara berfikirnya oleh  orang-orang, juga tidak luput dari rangkulan kasih-sayangnya. Masih segar ingatan saya bagaimana simbok memperlakukan "lebih" kepada anak---anak tersebut. 

Hal ini dibuktikan dengan model aktivitas yang disesuaikan dengan kemampuan si anak. Seperti diberi job perkerjaan membawakan gabah (padi kering sebelum digiling) ke pabrik penggilingan beras. Membawakan hasil panen sayuran dan palawija dari sawah. 

Anak-anak ini selain diberikan bayaran yang memadai juga tips-tips khusus seperti disaat si mbok menawarkan masakannya ataupun jajanan selepas pulang dari pasar. Bahkan disaat  sampai pada moment menjelang hari raya anak --anak ini tidak lepas prioritas dihatinya. Untuk sekedar memberikan bingkisan THR. 

Perjuangan berbuah kemuliaan

Dibalik itu semua, perjuangan beliau untuk menghidupi anak-anaknya sungguh membuat  hati miris mengingatnya. Bagaimana tidak, seringkali baliau mencuri start untuk barangkat ke sawah atau bahkan kebun tanpa spengetahuan keluarga. 

Karena begitu dininya berangkat mendahului anak dan suaminya berangkat kesekolah. Seringkali setiap bergegas kesawah, bawaan bekal nasi dan lauk serta gorengan sebagai persiapan ishoma bagi para pekerja  dibawa sendirian tanpa pernah minta bantuan terhadap anak-anaknya.

Rasa berat dan tidak tega itu musti muncul dikala saya melihat langsung bagaimana simbok disamping menggendong,  kedua tangannya masih membawa bawaan lain yang memang diperlukan disawah. 

Medan serta jalan yang dilalui tidak ringan. Jalan terjal naik turun lewat dipematang sawah yang tidak rata. Karena didaerah Magelang tempat dimana saya tinggal terkenal dengan area persawahan model teras sering perkebunan menyatu dalam topografi dilereng pengunungan.

Tapi apa daya, karena waktu  rutinitas sekolahku yang selalu bertabrakan waktunya  dan memaksa saya berseberangan rute dengan simbok. Sehingga kerinduan untuk selalu dan menyatu untuk membantunya tinggal sebuah cerita dan kenangan. Cuman sesekali ketika hari liburlah "hutang rasa" itu sedikit terbayarkan.

Ternyata Perjuangan yang tertatih-tatih itupun masih bersambung pada urusan lain yang lebih pelik dan rumit. Biarpun simbok adalah istri seorang Pegawai negeri, tapi apalah yang bisa dibanggakan dari gaji Pegawai negeri kala itu. 

Kumpulan keringat dari serapan daya pemikiran sang Suami mengajar dan mengabdi pada Negaranya hanya cukup membantu kebutuhan keluarga dalam hitungan hari saja. Yach itulah Nasib si Umar bakrei. Jadi guru jujur dan berbakti memang makan hati (demikian: penggalan syai'ir dari bang Iwan Fals).

Kondisi inilah yang memaksa simbok memeras dan memutar otak. Gali lubang tutup lubang. Lubang sana ditutup lubang baru dibuka. Langkah seribu ini diambil oleh si mbok karena beratnya menanggung beban Lima anaknya yang masih bersekolah. Walaupun akhirnya Tak terasa rata-rata semua lulus sebagai sajana.

Selaian itu hidup dikampung tidak bisa lepas dasri tradisi kundangan (resepsi kemantin, acara kematian, orang melahirkan samai pada urusan adat dan tradisi setempat) yang semuanya sarat dengan biaya yang tidak ringan.

Tidak hanya behenti disitu, Interdispliner wanita kampung yang satu ini masih menyempatkan untuk mengadu nasib dipasar lokal tradisonal. Beliau terkenal dikampung juga sebagai si penjual pisang. 

Segala jenis pisang dari petani dibeli dengan harga  sepantasnya lalu ketika sudah cukup terkumpul dia bawa barang dagangannya itu kepasar tujuan. Namanya dagang pisang, keuntungan seringkali hanya cukup untuk membeli barang kebutuhan dapur dan rumah tangga. Makhlum karena didorong jiwa sosialnya yang tinggi, terkadang harga "seduluran" lebih berat mengalahkan  harga pisang yang sesungguhnya. 

Ini Artinya selagi harga yang ditawar pembeli tidak membuat rugi, sama simbok sudah begitu saja dilepas. Inilah kelemahan sekligus kistimewaan simbok. Yaitu Berkah teman dan paseduluran lantas melimpah tak terbantah. Karena hampir satu pasar akrab dengannya.

Menurut penuturan Bapak. "mbokmu kuwi umpama sekolahe duwur, iso dadi wong linuwih. Krana dulur konco ngendi wae, kabeh apal jenenge, ra ono sing kliwatan." (Ibumu itu seumpama sekolah tinggi, menjadi orang hebat. Karena hampir semua sanak kadang dan temannya hampir semua hafal tidak terlewat satupun.) tutur bapak sambil mengenang.

Biarpun demikian menurut  kabar dari bapak, sebagian besar tanggungan simbok sudah terlunasi. Hal inilah yang membuat saya begitu lega dan plong rassanya. Karena sebagai si anak semua pasti berharap diakhir perjalanan beliau tidak berkesan minor, apalagi hanya urusan duniawi. 

Karena apapun dan bagaimanapun tanpa sepengetahuan oleh sang suami dan anak-anaknya, kegigihan lahir batin yang diperjuangakan oleh beliau adalah untaian mutiara yang bersinar untuk mengantarkan keluarga menjadi lebih mulia di kehidupan kelak.

Tepatnya pada tanggal 10 Maret 2011 Maret simbok harus berpamitan dengan keluarga tercinta selama-lamanya. Beliau sempat dirawat dirumah sakit karena serangan jantung yang dideritanya sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.   

Ribuan orang dari sanak kadang, teman dan handai-taulan berbondong-bondong hanya untuk memberikan penghormatannya yang terakhir kalinnya. Linangan airmata kasih sayang dan cintanya pada almarhumah mengiringi disemayamkannya jasad beliau.

Mutiara hidup itu terus berkilau sebagai pesan hidup yang terus terukir dihati orang-orang yang ditinggalkannya.

Magelang 12 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun