Mohon tunggu...
kusnun daroini
kusnun daroini Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati sosial politik dan kebudayaan dan sosial wolker

Pemerhati / penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneladani si Mbok sebagai sumber inspirasi & energi tiada henti.

4 Januari 2018   17:16 Diperbarui: 13 Agustus 2018   05:08 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujar simbok disela-sela obrolan keluarga ketika itu. Rasa empati penuh terhadap anak-anak yatim dan juga beberapa anak yang dianggap agak sedikit"terbelakang" cara berfikirnya oleh  orang-orang, juga tidak luput dari rangkulan kasih-sayangnya. Masih segar ingatan saya bagaimana simbok memperlakukan "lebih" kepada anak---anak tersebut. 

Hal ini dibuktikan dengan model aktivitas yang disesuaikan dengan kemampuan si anak. Seperti diberi job perkerjaan membawakan gabah (padi kering sebelum digiling) ke pabrik penggilingan beras. Membawakan hasil panen sayuran dan palawija dari sawah. 

Anak-anak ini selain diberikan bayaran yang memadai juga tips-tips khusus seperti disaat si mbok menawarkan masakannya ataupun jajanan selepas pulang dari pasar. Bahkan disaat  sampai pada moment menjelang hari raya anak --anak ini tidak lepas prioritas dihatinya. Untuk sekedar memberikan bingkisan THR. 

Perjuangan berbuah kemuliaan

Dibalik itu semua, perjuangan beliau untuk menghidupi anak-anaknya sungguh membuat  hati miris mengingatnya. Bagaimana tidak, seringkali baliau mencuri start untuk barangkat ke sawah atau bahkan kebun tanpa spengetahuan keluarga. 

Karena begitu dininya berangkat mendahului anak dan suaminya berangkat kesekolah. Seringkali setiap bergegas kesawah, bawaan bekal nasi dan lauk serta gorengan sebagai persiapan ishoma bagi para pekerja  dibawa sendirian tanpa pernah minta bantuan terhadap anak-anaknya.

Rasa berat dan tidak tega itu musti muncul dikala saya melihat langsung bagaimana simbok disamping menggendong,  kedua tangannya masih membawa bawaan lain yang memang diperlukan disawah. 

Medan serta jalan yang dilalui tidak ringan. Jalan terjal naik turun lewat dipematang sawah yang tidak rata. Karena didaerah Magelang tempat dimana saya tinggal terkenal dengan area persawahan model teras sering perkebunan menyatu dalam topografi dilereng pengunungan.

Tapi apa daya, karena waktu  rutinitas sekolahku yang selalu bertabrakan waktunya  dan memaksa saya berseberangan rute dengan simbok. Sehingga kerinduan untuk selalu dan menyatu untuk membantunya tinggal sebuah cerita dan kenangan. Cuman sesekali ketika hari liburlah "hutang rasa" itu sedikit terbayarkan.

Ternyata Perjuangan yang tertatih-tatih itupun masih bersambung pada urusan lain yang lebih pelik dan rumit. Biarpun simbok adalah istri seorang Pegawai negeri, tapi apalah yang bisa dibanggakan dari gaji Pegawai negeri kala itu. 

Kumpulan keringat dari serapan daya pemikiran sang Suami mengajar dan mengabdi pada Negaranya hanya cukup membantu kebutuhan keluarga dalam hitungan hari saja. Yach itulah Nasib si Umar bakrei. Jadi guru jujur dan berbakti memang makan hati (demikian: penggalan syai'ir dari bang Iwan Fals).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun