"Iya, nenek tidak berbohong." Aku mencegah tangannya, takut nenek semakin sakit kalau banyak bergerak. "Nenek istirahat saja dulu."
Nenek tertawa senang layaknya anak kecil. Di sela-sela tawanya aku mendengar lengkingan-lengkingan kecil. Lengkingan-lengkingan yang mirip suara seruling rusak.
Kutajamkan indera pendengaranku.
Suara itu semakin mengeras. Bahkan kini mengalahkan suara tawa nenek.
Suara itu memenuhi indera pendengaranku.
Aku dan Nenek saling bertatapan. Kami tidak bisa mendengar suara masing-masing.
Tiba-tiba adikku masuk dengan tergesa-gesa. Menunjuk jendela kamar yang terbuka lebar.
Mataku langsung terbelalak ketika melihat pemandangan yang mengerikan. Matahari dan Bulan sedang bertabrakan di sana. Menciptakan langit jingga yang suram.
Aku semakin tercengang. Kembali memandang adikku. Aku melihat mulutnya terbuka. Meski aku tidak mendengarnya, aku tahu apa yang dia katakan.
"Nenek tidak pernah berbohong. Seruling itu adalah Sangkakala."
Kami semua terdiam. Menyisakan bunyi seruling yang bersiul semakin keras.