Setelah itu adikku pergi dan tidak ada yang membahas hal itu lagi.
***
Namun, seminggu kemudian nenek jatuh sakit. Kemungkinan efek operasi itu mengganggu kesehatannya. Jujur saja, aku merasa bersalah karena sepertinya ini semua salahku. Seharusnya aku tidak perlu mengusulkan operasi itu. Berulang kali aku meminta maaf saat menjaga nenek yang sedang sakit.
"Maaf, ya Nek. Cepat sembuh," kataku untuk kesekian kalinya. Saat itu aku telah menyuapkan sendok terakhir makan malamnya.
"Tidak apa, Cu. Nenek tahu, niat kamu baik," balasnya dengan senyum seperti biasanya. Senyum itu mengiris jiwaku. Membuat mataku perih.
"Mungkin ini sudah takdir nenek. Kau dengar suara seruling itu? Ah sudahlah kamu pasti tidak bisa mendengarnya. Suara itu kini mengalun lembut. Berputar-putar di atas sana."
Aku mengelus tangan nenek yang lemah. Aku tahu operasi itu gagal. Nenek masih tetap bisa mendengar suara lengkingan seruling itu. Sekarang aku sudah tidak peduli lagi apakah nenek hanya caper atau benar-benar sungguhan mendengar seruling itu. Aku hanya ingin nenekku kembali sembuh. Tersenyum dan bersenda gurau bersama cucu-cucunya.
Tanpa sadar air mataku berlinang. Sungguh aku tidak ingin kehilangan beliau. Aku akan terima apapun kondisi beliau setelah sembuh nanti. Aku tidak peduli dengan tingkah capernya atau khayalannya. Aku berjanji akan memercayai semuanya asal nenekku sembuh. Bahkan jika beliau berkata telah melihat raksasa di tengah kota aku akan percaya. Asal nenek sembuh.
"Dengar, Cu! Dengar! Suaranya semakin mendekat. Seruling itu. Suaranya semakin keras," katanya tiba-tiba. Suaranya yang lemah karena kurang energi, tiba tiba naik dan menyentak diriku. Â Air mataku langsung terhentu. Kali ini aku mengiyakan kalimatnya tanpa ragu.
"Iya, Nek! Kau benar!"
"Kan, kan! Sudah kuduga suara itu asli. Nenek tidak berbohong kan?" Beliau mengambil posisi duduk. Seakan seluruh energinya telah pulih. Berusaha kabur dari ranjangnya.