Mohon tunggu...
Galih Budi
Galih Budi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Suka renang dan bercita cita menjadi aquaman

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Tumbuh Kembang Cintai Brand Lokal di Tengah Disparitas Fast Fashion dan Sustainable Fashion

20 April 2023   13:44 Diperbarui: 20 April 2023   13:45 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usaha bisnis thrifting yang sudah berjalan puluhan tahun memiliki banyak dampak negatif. Namun usaha ini juga berperan signifikan dalam mengakselerasi transformasi ekonomi masyarakat di era digital. Industri fashion merupakan satu di antara bidang industri yang cukup lama, besar, dan banyak pemainnya. Menurut Laporan BEKRAF tahun 2016 lalu, usaha busana mempunyai kontribusi kedua terbesar setelah bidang kuliner di industri kreatif Indonesia. Di tengah ketetapan persaingan, ada hal unik yaitu adanya anggapan para milenial terkait pakaian bekas sebagai budaya populer.

Cepatnya adopsi modernisasi nilai budaya populer di millennial juga terefleksi dari tingginya kecenderungan anak muda untuk melakukan konsumsi pakaian bekas. Minat kawula muda dalam menyusuri gaya hidup tidak terlepas pada trend fashion yang sedang berkembang. Fesyen adalah gaya berbusana dan dandanan yang sedang naik daun lagi mengikuti zaman. Fesyen dipandang sebagai tolok ukur seseorang di lingkungan tempat ia tinggal. Nilai-nilai ini secara khusus mengidentifikasi karakter seseorang sebagai citra diri dan bagaimana ia mempromosikan dirinya agar tetap eksis.

Eksistensi berbusana membuat seseorang akan lebih percaya diri jika apa yang ia kenakan memiliki nilai yang tinggi di konstruk sosial masyarakat kita. Dalam pemenuhan dan perjalanan seseorang dikatakan mampu memenuhi konstruk sosial, tak jarang ia harus merogoh kocek untuk membeli barang bekas layak pakai. Sesungguhnya banyak sekali faktor yang melatar belakangi seseorang mendayagunakan usahanya dalam memilih produk bekas.

Kekuatan ekonomi lapisan masyarakat kita yang heterogen membuat kebutuhan akan sandang juga majemuk. Masyarakat kita menilai bahwa membeli pakaian bekas juga upaya untuk tetap tangguh di tengah ketidakpastian dan usaha mencukupkan kebutuhan bulanan. Sehingga ekstraksi dalam hal pemenuhan akan urusan sandang bisa dibilang tercukupi. Kekuatan daya beli yang beragam membuat adanya segementasi rinci dan penting bagi pelaku usaha thrifting.

 Bagi pelaku usaha thrifting, segementasi pasar yang ia lakukan tentunya bisa diadu dengan sejumlah brand lokal. Analisis SWOT akan kualitas barang juga tidak kalah dengan barang baru di usaha tekstil dan fesyen dalam negeri. Radiasi trend fesyen membuat sebagian anak muda turut meramaikan kompetisi akan brand lokal versus thrifting. Generasi muda yang ingin tetap on point selalu mengusahakan dirinya berpenampilan menarik sesuai dengan trend fesyen. Paparan ini juga tidak bisa ditolak dan ditahan karena ia adalah produk dari globalisasi dan kemajuan teknologi informasi.  Utamanya gaya hidup selalu digaungkan anak muda untuk mendapatkan nilai validasi yang terbentuk dari tataran konstruk sosial.

Disparitas Fast Fashion dan Sustainable Fashion 

Meningkatnya akses masyarakat terhadap produk pakaian bekas dan sejumlah item aksesoris bekas dimungkinkan karena kemunculan beragam aksebilitas transaksi jual beli. Keterbukaan pasar global bagi pemasok, eksportir, importir, lengahnya pengawasan pintu gerbang internasional dan keabaian stakeholder, adalah sebagian wujud dari hal tersebut.

Peran eksistensi pakaian bekas sebagai budaya populer juga makin terintegrasi di keseharian masyarakat. Hal ini didukung salah satunya oleh tingkat adopsi teknologi yang tinggi, terutama generasi milenial dan Generasi Z (kelahiran 1995-2010) yang merupakan penyumbang demografi terbesar (53,81%) dari total penduduk Indonesia (BPS, 2022).

Pesatnya adopsi teknologi menjadikan generasi muda sebagai pendorong masifnya pakaian bekas yang sangat penting. Dominasi generasi Z dalam pasar fesyen dianggap mampu untuk menjaga eksistensi brand lokal di industri sirkular fesyen Tanah Air.

Mayoritas kawula muda juga memiliki persepsi bahwa fast fesyen menarik karena murah dan tidak ada rasa menyesal kalau sudah bosan. Istilah ini menyuarakan bahwa perputaran mode berlaku secara cepat dan diproduksi secara masal. Dalam industri fashion yang berkembang 20 tahun belakangan ini, ditemukan sejumlah faktor evolusi mode seperti kebutuhan untuk mengurangi biaya produksi, tenaga kerja, dan produk; upaya peningkatan jumlah harapan pelanggan; globalisasi; dan teknologi.

Macam-macam industri menggembar-gemborkan kredensial keberlanjutan (sustain) mereka lebih kuat daripada industri fast fashion. Ragam produk ditemukan mulai dari pakaian renang hingga gaun pengantin dipasarkan dengan klaim organik atau vegan. Sejumlah inovasi hadir melalui model bisnis dengan klaim sustain termasuk daur ulang, penjualan kembali, penyewaan, dan reparasi sebagai upaya konservasi lingkungan.

Dalam pelaporan yang terjadi di lapangan, pemerintah sedang memburu lembaga swadaya internasional yang mengakomodasi nilai ekonomi sirkular. Penemuan ini sangat mengagetkan lantaran beberapa dari mereka adalah biang masuknya gunungan sampah di Indonesia. Mereka menyalahkan izin karena nilai bisnis sosial yang mereka gaungkan adalah sebagai amal. Namun pakaian-pakaian bekas tersebut malah masuk kepada pihak importir yang keselanjutannya memiliki nilai jual di Indonesia.  

Sayangnya, kecepatan budaya populer mempertahankan pakaian bekas sebagai tren berbusana tersebut belum sejalan dengan tingkat literasi ramah lingkungan untuk produk fesyen. Secara keseluruhan, industri fesyen bertanggung jawab atas 8-10% emisi global, hal itu jelas-jelas melampaui dari gabungan emisi penerbangan dan pelayaran. Melalui saran Bank Dunia, penjualan pakaian global dapat meningkat hingga batas 65% pada tahun 2030. Pasalnya batas ini ditentukan karena kapas untuk industri fesyen menggunakan sekitar 2,5% lahan pertanian dunia, bahan sintetis seperti poliester membutuhkan sekitar 342 juta barel minyak setiap tahun, dan proses produksi pakaian seperti sekarat membutuhkan 43 juta ton bahan kimia per tahun.

Disparitas fast fashion dan sustainable fashion ini perlu jadi perhatian seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan transformasi tren berbusana yang ramah lingkungan.

Rendahnya literasi ini menghambat optimalisasi nilai break event point brand lokal dan UMKM di kalangan pengusaha fesyen. Studi Inspigo (2022) menunjukkan bahwa salah satu tantangan mendasar saat ini adalah bentuk perhatian pada para kreatif dan ahli strategi untuk bekerja sama dalam upcaya cepat sadar mengikuti tren yang berubah dengan cepat. Terlebih konsumen selalu menuntut pergantian secara stimultan. Pelbagai faktor hadir ketika menyoal geliat brand lokal dan industri fashion Indonesia. Oleh karena itu untuk bertahan di industri fashion dalam negeri dengan karakter sustainability fashion adalah menjadi PR bersama. Kehadiran banyak brand lokal di Indonesia sendiri pada beberapa tahun terakhir memang mengesankan namun tetap saja butuh dukungan dari semua pihak.

Strategi Membuat Brand Lokal yang Tahan Lama 

Ada lima elemen yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi ini: branding, keterjangkauan, pengetahuan, kemampuan, dan keamanan.

Pertama, percepatan pembangunan identitas di era sosial media. Banyak para konsumen yang mempunyai kesadaran awal berangkat dari sosial media. Penggambaran yang baik dan citra nilai yang tepat sasaran adalah upaya brand awareness kepada konsumen. Dalam lingkup bersosial media, permainan konten sangat memicu konsumen untuk tetap memilih brand ini di hatinya.

Kedua, pemerintah dapat meregulasi persaingan bisnis di sektor fesyen. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi UMKM dan pengusaha fesyen melalui minimisasi pajak, percepatan perizinan, keterjangkauan modal, dan gemar operasi pasar. Hal ini agar akses yang baik dapat dirasakan oleh para kreatif Indonesia, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan literasi awet pakai (sustain) yang sama baiknya.

Ketiga, penguatan pengetahuan dasar ramah lingkungan dalam industri fesyen tanah air. Hal ini menjadi penting agar kaum muda mampu memilih instrumen tata berbusana yang sesuai kebutuhan dan nilai-nilai yang dianut di lingkup sosial. Sehingga mampu memaksimalkan peluang serta mengembangkan aset maupun usahanya. Edukasi dan peningkatan literasi fesyen ini perlu secara multi-channel yang rutin, kreatif, dan terus menerus seperti yang dilakukan oleh Sustaination, perusahaan alat rumah tangga yang fokus pada nilai kebermanfaatan lingkungan.

Keempat, penguatan kemampuan generasi muda melalui stigma positif brand lokal. Saluran-saluran seperti pendampingan dan mentorship, working group (kelompok kerja), serta proses inkubasi. Kolaborasi antara universitas, swasta, pemerintah, dan komunitas dapat diwujudkan dalam program pengabdian masyarakat, program magang, hingga bina lingkungan dan corporate social responsibility. Selanjutnya bisa diperkuat dengan ajang kompetisi fashion talents, entrepreneur, atau beauty pageants.

Terakhir adalah regulasi yang mengatur tentang perlindungan konsumen, khususnya terkait keamanan pangan dan tubuh, keamanan transaksi, dan segenap protokol mitigasi kejahatan digital (cybercrime). Integrasi data kependudukan untuk berbagai kebutuhan administrasi membantu mengurangi duplikasi proses birokrasi maupun risiko kriminalitas di dunia maya.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi merupakan dasar yang baik untuk meningkatkan pelindungan data di dunia digital. Hal ini dapat diikuti dengan protokol data digital dan penanganan kejahatan digital seperti peraturan turunan, sanksi dan mitigasi melalui kampanye dan sosialisasi yang dapat meningkatkan kepedulian dan kehati-hatian masyarakat dalam bertransaksi digital.

Kuncinya Adalah Demokratisasi Akses 

Lima strategi tersebut akan bermuara pada penciptaan lapangan kerja baru, kemampuan mengembangkan aset, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya berkontribusi pada pembangunan nasional yang lebih merata. Dengan begitu industri impor pakaian bekas lenyap dan mari cintai produk lokal. Pajak kita untuk kita bersama!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun