Mohon tunggu...
Galih Apriadi
Galih Apriadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa semester 4 Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Buku "Regulasi dan Implementasi Pegadaian Syariah di Indonesia", karya Jefri Tarantang, at al

11 Maret 2023   20:45 Diperbarui: 11 Maret 2023   20:53 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menimbang bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang untuk jaminan dalam berhutang, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya, serta operasional tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka dengan demikian Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman tentang gadai agar masyarakat luas dapat mengambil manfaatnya.

Pegadaian syariah sendiri juga diterapkan oleh Rasulullah,hal ini semakin memperkuat adanya dalil tentang kebolehan konsep gadai atau rahn,meskipun dalam Al-qur'an sendiri disebutkan bahwa gadai atau rahn ini hanya di perbolehkan dalam keadaan tertentu,akan tetapi dalil tersebut tidak membatasi kebolehan gadai itu sendiri. Hal ini banyak dicontohkan oleh Rasulullah,dimana beliau melakukan rahn tidak dalam kondisi sedang dalam perjalanan atau safr,akan tetapi dalam kondisi bermuamalah. Rasulullah bersabda: "agunan (barang gadai) itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah menggadaikannya, ia berhak atas kelebihan (manfaat) dan wajib menanggung kerugian (penyusutan) (HR as Syafii, al Baihaki, ibn Hibban dan ad Daruqutni).

Sejarah gadai di Indonesia dimulai pada saat kedatangan belanda di indonesia yang ditandai oleh munculnya serikat dagang belanda yang bernama VOC. Pada saat itu pegadaian dipraktikan menggunakan jaminan gadai berupa kain dan lain-lain. Tentu saja konsep gadai yang digunakan adalah menggunakan sistem bisnis konvesional yang lebih memposisikan perusahaan sebagai pihak yang pasif, tidak terlibat dengan aktivitas bisnis nasabah,

Hal ini berbanding terbalik dengan konsep gadai syariah yang mana untuk produk-produk tertentu, mengharuskan perusahaan terlibat dalam menelaah usaha produktif yang ditekuni oleh pihak nasabah. Pegadaian syariah sendiri memiliki tujuan berupa :

  • Misi sosial, yang dalam praktiknya adalah membantu warga masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap sektor keuangan. Pegadaian menjadi sasaran utama yang dicari oleh warga masyarakat, misalnya menjelang perayaan hari raya.
  •  Misi bisnis, yang merupakan perwujudan dasar sebagai lembaga keuangan.

Sedangkan dalam peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 dimaksud, diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000 tentang Pegadaian. Aturan ini memiliki tujuan untuk menandai kedinamisan ruang gerak pegadaian dalam menjalankan usaha yang berstatus Perusahaan Umum dengan misi:

  • Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan bidang keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  •  Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.

Pegadaian syariah memiliki visi dan misi yaitu:

Visi:

  •  Memberikan pembiayaan yang tercepat, termudah, aman dan selalu memberikan pembinaan terhadap usaha golongan menengah kebawah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atas dasar hukum gadai dan fudisia.
  •  Membantu Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah kebawah dan melaksanakan usaha lain dalam rangka optimalisasi sumber daya perusahaan yang baik secara konsisten  
  • Memastikan pemerataan pelayanan dan infrastruktur yang memberikan kemudahan dan kenyamanan di seluruh Pegadaian dalam mempersiapkan diri menjadi pemain regional dan tetap menjadi pilihan utama masyarakat

Sedangkan misi dari pegadaian syariah adalah :

Ditegaskan dalam keputusan Menteri Keuangan No. Kep39/MK/6/1/1971 tanggal 20 Januari 1970 pegadaian syariat memiliki peran dengan tugas pokok:

  • Membina pola perkreditan supaya benar-benar terarah dan bermanfaat dan bila perlu memperluas daerah operasinya.
  • Ikut serta mencegah adanya pemberian pinjaman yang tidak wajar, ijon, pegadaian gelap, dan praktek riba lainnya.
  • Membina perekonomian rakyat kecil dengan menyalurkan kredit atas dasar hukum gadai kepada para petani, nelayan, pedagang kecil, industri kecil, yang bersifat produktif, kaum buruh pegawai negeri yang ekonominya lemah dan bersifat konsumtif.
  •  Disamping menyalurkan kredit, maupun usaha-usaha lainnya yang bermanfaat terutama bagi pemerintah dan masyarakat,
  •  Bertolak dari misi Pegadaian tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya Pegadaian adalah sebuah lembaga dibidang keuangan yang mempunyai visi dan misi bagaimana masyarakat mendapat perlakuan dan kesempatan yang adil dalam perekonomian.

Pengertian gadai sendiri dalam Islam disebut  dengan istilah rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang. Kata rahn menurut bahasa berarti "tetap", "berlangsung" dan "menahan". Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang itu dapat diterima atau bisa dibilang bahwa rahn adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk pinjaman hutang.

Sedangkan pengertian rahn menurut pandangan empat madzhab adalah:

  • Ulama Syafiiyyah mendefinisikan akad ar-rahn adalah: "Menjadikan al-Ain (barang) sebagai watsiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al- Marhuun bihi) ketika pihak al-Madiin (pihak yang berutang, arRaahin) tidak bisa membayar utang tersebut. Maksud dari madzhab syafii adalah tidak memperbolehkan gadai atau rahn hanya dengan barang yang dapat dimanfaatkan saja terlebih jika manfaat barang tersebut bisa habis.
  • Ulama Hanabilah mendefinisikan ar-Rahn adalah: "Harta yang dijadikan sebagai watsiqah (jaminan) utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan watsiqah (jaminan) tersebut maka secara tidak langsung ulama madzhab hanabilah menjadikan barang jaminan tersebut sebagai ganti  dari hutangnya apabila pemilik barang tidak dapat melunasi hutangnya dengan tunai.
  • Menurut madshab maliki,rahn adalah sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watsiqah (jaminan) utang yang lazim (keberadaannya sudah positif dan mengikuti) atau yang akan menjadi laazim.
  • Dan definisi rahn yang terakhir yaitu dari madzhab hanafiah yang menjelaskan rahn adalah menjadikan sesuatu untuk dijaminkan dan dapat membayar utang tersebut dengan jaminan tersebut. Bisa disimpulkan bahwa madzhab ini memiliki sedikit kesamaan dengan madzhab hanabilah atau madzhab imam hambal,yang memperbolehkan jika barang jaminan digunakan untuk membayar hutang tersebut. (Galih Apriadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun